Abstrak:
Hukum diciptakan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di
dalam masyarakat. Dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus
diperhatikan yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Negara hukum
bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Negara hukum
adalah negara yang berlandaskan hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya.
Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara
atau penguasa semata-mata harus berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur
oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan dan kepastian hukum
dalam pergaulan seluruh warganya.
A.
Pendahuluan
Plato dan Aristoteles
berpendapat bahwa kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang
sepatutnya. Individu akan
menjadi liar, tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang
besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral yang
rasional.[1] Sebaliknya kekuasaan negara harus pula
dibatasi agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap warganya. Adapun yang
dapat membatasi kekuasaan negara adalah hukum. Inilah yang disebut dengan
negara hukum. Negara hukum dalam sejarahnya berjalan sesuai dengan perkembangan
masyarakat.[2] Negara hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar
manusia, yakni menjamin prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah
bahwa hak yang terkuat yang berlaku.[3]
Pengelolaan bernegara dalam
suatu negara tidak terlepas dari konsep kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
yang dianut oleh negara tersebut. Dalam berbagai kajian tentang teori kedaulatan dalam bernegara, dikenal
beberapa teori kedaulatan yaitu: teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Raja,
teori kedaulatan Negara, teori kedaulatan Rakyat dan teori kedaulatan Hukum.
Konsep kedaulatan suatu negara tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) atau
konstitusi negara bersangkutan. Menurut Ismail Sunny UUD1945 menganut teori kedaulatan Tuhan, teori
kedaulatan Rakyat dan teori kedaulatan hukum.[4]
Teori kedaulatan hukum tidak
dapat dilepaskan dari instrumen teori negara hukum. Hal ini karena menurut
pandangan teori kedaulatan hukum bahwa yang berdaulat dalam suatu negara adalah
hukum itu sendiri. Selanjutnya dalam perkembangan hubungan antara hukum dan negara hukum saat ini, teori negara
hukum merupakan pilar utama dari kedaulatan hukum. Menurut Stahl, suatu negara
hukum haruslah memenuhi empat unsur penting, yakni:[5]
b.
Adanya pembagian kekuasaan;
c.
Pemerintahan haruslah
berdasarkan atas peraturan-peraturan hukum;
d.
Adanya peradilan administrasi.
Hukum diciptakan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau
ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Dalam menegakkan hukum, ada
tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian
hukum.
Kepastian hukum merupakan
perlindungan justisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Setiap orang mengharapkan dapat
diterapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit, bagaimana hukumnya itulah yang
berlaku. Pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang dari ketentuan yang telah
ada. Itulah yang diinginkan kepastian hukum.[6] Pada hakekatnya negara yang berdasar atas hukum adalah negara hukum.[7] Negara hukum adalah negara yang
berlandaskan hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah
segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa
semata-mata harus berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum.
Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan dan kepastian hukum dalam pergaulan seluruh warganya.[8]
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat
dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan.
Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi,
karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi
tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai
kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara
mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang
bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Konsep seperti inilah yang disebut
dengan negara moderen, yakni negara yang berdasarkan pada hukum, menjamin
hak-hak asasi warganya sebagai bentuk penjaminan dan penghormatan harkat dan
martabat manusia serta pelaksanaan berjalannya negara tersebut tertuang dalam
konstitusi/UUD negara yang bersangkutan. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak
inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh
sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[9]
Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang
sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam
interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam
komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai
tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya,
muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi
sosial tersebut.[10]
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam
perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah
negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum
dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada
konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya
supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari
konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena
konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[11]
B.
Permasalahan
Adapun yang menjadi topik permasalahan
dalam makalah ini adalah bagaimana konstitusi dalam perpektif Hak Asasi Manusia
di Indonesia.
C.
Transformasi Norma Hukum HAM Untuk
Mewujudkan Negara Demokrasi Yang Konstitusional
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM serta menghormati
kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-ulang,
diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam
memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan
kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis
kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian
ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
1.
Instrumen Hukum yang Mengikat
a.Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang diambil oleh
masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM
merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara
di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan
HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua
instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang
terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam
Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10
dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup;
hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan
penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas
keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; serta
pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM merupakan pedoman
bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
b. Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan
rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai
berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
-
Hak hidup;
-
Hak untuk
tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau
direndahkan martabat;
-
Hak
atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
-
Hak
untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban
kontraktual;
-
Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
-
Hak
untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh
lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya atau
pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat
pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak
Asasi Manusia.
c. Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada
Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan
perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
-
Hukum berlaku
tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya
tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
-
Asumsi bahwa
hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari
adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi
dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
-
Hak-hak yang
dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling
terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak
Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu
Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
d.
Konvensi Genosida (Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi ini mulai
berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat.
Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan
perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan
genosida.
e.
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia
(Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia
mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih
lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.
Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil
langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif
lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang
cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya
(karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang
menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum
mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera
oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang
yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau
intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4)
menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi
yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat
didalamnya.
f.
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination)
Konvensi
ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No. 29
tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga
menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa
membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga
membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi
pelaksanaannya.
g.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women)
Kovensi
ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU
No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen
internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar
negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk
menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan
serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan
dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam
pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
h.
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi
Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia melalui
Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan
menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan,
asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status
lain. Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan
bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang
didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan
orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga
membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
i.
Konvensi Mengenai Status Pengungsi
(Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi
ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini
walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan
istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah
daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai
mereka yang meninggalkan negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama,
kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa
atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi menentukan empat
prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya
pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta
hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
2.
Instrumen Hukum
yang Tidak Mengikat
a.
Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code
of Conduct for Law Enforcement Officials)
Majelis
Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman
Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai
tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM, penggunaan kekerasan,
penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, perlindungan
kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan
undang-undang.
b.
Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan
dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law
Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip
ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan kekerasan
dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas
pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.
c.
Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance)
Deklarasi
ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya terdapat 21
(dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan
tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi,
hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan
tindakan penghilangan paksa.
d.
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration
on the Elimination of Violence against Women)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil
langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini dasar
penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
e. Deklarasi
Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1998. Deklarasi Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM
dalam melakukan kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru
tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan
pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga
menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan
agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai.
f.
Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati
yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir
(Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,
Arbitrary and Summary Executions )
Prinsip-prinsip
tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang Tidak
Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang
direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003.
Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para
pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan
(termasuk kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak
hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan
terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
Namun demikian kesemua hak-hak yang diatur dalam declaration of human right merupakan
induk dari hak-hak dasar yang mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
masyararakat. Hak dasar tersebut juga harus dijunjung oleh setiap negara,
terlebih bagi negara-negara yang ikut menandatangani declaration of human right tersebut. Ketentuan ini bukanlah menempatkan
hak asasi manusia pada posisi yang tertinggi dalam suatu negara, akan tetapi
HAM merupakan satu dari bagian kewajiban negara.
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki
manusia, hal tersebut sangat mendasar sehingga harus dihormati dan dijunjung
tinggi oleh negara. Pancasila sebagai falsapah bangsa Indonesia secara tersirat
telah merumuskan perlindungan HAM dalam sila-silanya, yaitu sila ke 2 dan sila
ke 5, selanjutnya dicantumkan di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada
alinea ke 4 yang kemudian dijabarkan pada pasal-pasal dalam UUD1945 sebelum di amandemen yaitu
Pasal, 27, 28, 29, 30, 31 dan Pasal 33 setelah diamandemen lebih terperinci
lagi pengaturan perlindungan HAM tersebut dalam BAB XA yang terdiri dari Pasal
28A sampai dengan Pasal 28J.[12]
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1
ayat 1 menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap bangsa demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Menurut Kunarto hak asasi manusia adalah hal-hal
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut karena bersifat kodrati, artinya hak
itu ada yang berakar pada eksistensi manusia dimana hal itu bertujuan untuk
menjamin harkat dan martabat setiap manusia.[13]
Sedangkan menurut H.A. Masykur Effendi, hak asasi manusia adalah setiap manusia
individu dapat menikmati hak asasi manusianya. Manusia merupakan satu pribadi
utuh dan dalam masyarakat adalah harkat/tidak hilang jati diri/kepribadian
sebagai manusia, ia mempunyai hak atas dirinya sendiri lepas dari orang lain.[14]
Van Boven menyatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan suatu manifestasi dari tatanan masyarakat internasional, dan dengan
demikian menyiratkan bahwa eksistensi hak-hak termasuk hak supra positif,
mempunyai dasar kemasyarakatan seperti dikatakannya, “hak-hak ini melandasi
rutinitas internasional”.[15]
Dengan berpedoman pada pengertian dari beberapa
piagam internasional dan pendapat beberapa orang sarjana dan UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah
hak yang hakiki dan tidak dapat dilanggar orang lain maupun negara.
Dari penjelasan di atas tersimpul adanya 2
pengertian dasar HAM, Pertama, HAM
adalah hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut karena bersifat kodrati,
artinya hak itu sendiri ada karena ia adalah manusia. Hak-hak itu adalah
hak-hak moral yang berakar pada eksistensi manusia, dimana hak itu bertujuan
untuk menjamin harkat setiap manusia. Kedua,
HAM disini juga bermakna hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses
pembentukannya yang dianut oleh masyarakat itu sendiri baik dalam lingkup
nasional maupun internasional. Dasar dari proses itu adalah kesepakatan dari
yang diperintah, atau kesepakatan para warga, yang tunduk kepada hak-hak tersebut.
Pada banyak bangsa dan/atau masyarakat, definisi
dan pengertian tentang hak-hak semacam itu belum dapat diterima dalam lingkup
substansi hukum mereka, karena mereka menganggap banyak masalah yang paling
mendasar belum menerima jawaban yang final; apakah HAM sebagai pemberian Tuhan,
moral atau hukum? Apakah akan disahkan berdasarkan intuisi, kebiasaan, teori
kontrak sosial, asas keadilan distributif, atau sebagai prasyarat kebahagiaan
saja. Apakah HAM dapat ditarik kembali, diubah seluruhnya atau sebagian, apakah
berlaku luas atau terbatas saja?
Isu semacam itu selalu berkembang luas,
diperdebatkan secara berkepanjangan dan terus menerus dan cenderung akan tetap
begitu, sepanjang pendekatan-pendekatan yang bertentangan terhadap ketertiban
umum masih ada. Pertentangan itu pada dasarnya dilandasi oleh tarik menariknya
kekuasaan dan kekuatan antara yang kuat dan yang lemah yang disebabkan oleh
tingkatan pemahaman atas keadilan dan kebenaran yang tidak sama, yang bersumber
daya yang bersifat politis, ekonomis, sosiologis dan kultural.
Sejarah membuktikan bahwa semakin maju peradaban
suatu bangsa maupun kehidupan warganya, maka pemahaman atas HAM akan semakin
baik, karena mereka membutuhkan diletakkannya hak-hak dan kewajiban yang pasti
dan memenuhi tuntutan kebenaran serta keadilan. Demikian juga halnya dengan HAM
yang ada di Indonesia sejarah telah membuktikan perjalanan HAM sudah dimulai
sejak awal kemerdekaan Republik
Indonesia sampai dengan saat ini.
Pasal 1 ayat (3) UUD1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Terlepas dari negara hukum dalam konsep rechtssaat maupun rule of law, pada dasrnya kedua konsep negara hukum tersebut
berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan sipil dari warga
negara, berkenaan dengan perlindungan
terhadap hak-hak dasar.[16] Konsekuensi
lain dari negara hukum adalah negara tersebut merupakan negara demokrasi.
Prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan
ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan
secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini
bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang
dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische
rechtsstaat.[17]
Sebagaimana
telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar
ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya,
yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang
sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi
berikut:
2.
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.[19]
3.
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[20]
4.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.[21]
5.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.[22]
6.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.[23]
8.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[25]
9.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.[26]
10. Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.[27]
11. Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.[28]
12. Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.[29]
13. Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat.[30]
14. Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun.[31]
15. Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.[32]
16. Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.[33]
17. Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.[34]
18. Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[35]
20. Negara, dalam keadaan
apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.[37]
21. Negara menjamin
penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras
dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.[38]
22. Negara menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama,
dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan
ajaran agamanya.[39]
23. Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.[40]
24. Untuk memajukan,
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.[41]
25. Untuk menjamin pelaksanaan
Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan
undang-undang.[42]
26. Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
27. Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[43]
Jika ke-27
ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan
memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu
dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum
dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar
dapat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.
Kelompok
Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat kemanusiaan.
c.
Setiap orang berhak untuk bebas
dari segala bentuk perbudakan.
d.
Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya.
e.
Setiap orang berhak untuk bebas
memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.
Setiap orang berhak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g.
Setiap orang berhak atas
perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h.
Setiap orang berhak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.
Setiap orang berhak untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j.
Setiap orang berhak akan status
kewarganegaraan.
k.
Setiap orang berhak untuk bebas
bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.
Setiap
orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala
bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun
atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan
dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak
dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk
membebaskan seseorang dari penuntutan atas
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan
hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan
bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak
yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak
kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945
disahkan beberapa waktu yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya
a.
Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b.
Setiap warga
negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat.
c.
Setiap warga
negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d.
Setiap orang
berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan,
dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial
yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya
sebagai manusia yang bermartabat.
h.
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i.
Setiap orang berhak untuk
memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j.
Setiap orang berhak
mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia.
k.
Negara menjamin penghormatan
atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan
zaman dan tingkat peradaban bangsa.
l.
Negara mengakui setiap budaya
sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m.
Negara menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran
agamanya.
3. Kelompok Hak-Hak Khusus
dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial,
termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan
terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai
kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang
dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian
dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan
fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.
e.
Setiap warga
negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.
Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g.
Kebijakan, perlakuan atau
tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan
yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan
Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan
nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia,
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan
undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi
manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok
dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi
manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan
tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak
sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Pembentukan
negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan
prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu,
jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai
warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak
dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga
wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri
penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Bangsa
Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration
of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang
mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu,
bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration
of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung
nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal
Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan
kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi
Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang
Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh
bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini
mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan
mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di
masa-masa yang akan datang.
D.
Penutup
Dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum telah melaksanakan
perlindungan terhadap hak-hak asasi warganya, baik secara konseptual maupun
secara aplikatif. Hal ini tergambar jelas dalam UUD1945 sebagai konstitusi
negara Indonesia, maupun dalam turunannya dalam bentuk Undang-undang.
Keberadaan HAM bukan merupakan kebebasan tanpa batas, akan tetapi kebebasan HAM
tersebut dibatasi oleh negara melalui instrumen Undang-undang. HAM bukanlah
diatas segala-galanya akan tetapi perlindungan HAM merupakan bukti eksistensi suatu negara hukum
E.
Daftar Pustaka
Abu Daud Busroh dan
Abubakar Busro, Asas-Asas
Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
Bambang Sunggono dan Aries
Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusi, Mandar Maju, Bandung, 2001
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1999
H.A. Masykur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta, 1993
Hariyono dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat,
Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans), Malang, 2013
Jean-Jaques Rosseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip
Hukum Politik (diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat),
Dian Rakyat, Jakarta, 1989
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005
J.J. von, Schmid, Ahli-ahli Besar Tentang Negara dan Hukum,
Pustaka Sardjana, Jakarta, 1985
Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial. Seri Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, Rajawali, Jakarta, 1995
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (diterjemahkan oleh
A. Hadyana Pudjaatmaka) PT. Pustaka Utama Grafindo, Jakarta, 1994
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) edisi
keempat, Liberty, Yogyakarta, 2002
Yonatan Wiyoso dan Prawoto, Manifestasi Pancasila Dalam Pasang Surut Stabilitas dan Partisipasi
Politik di Indonesia, Fokusmedia, Bandung, 2013
[1] J.J. von, Schmid, Ahli-ahli Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana,
Jakarta, 1985, hal. 26
[2] Ibid.
[3] Untuk mewujudkan tujuan, negara tersebut harus memnuhi unsur
petugas, kewenangan (tugas), menurut teori yang dikemukakan oleh Montesquieu (trias Politica) agar suatu pemerintahan
berjalan dengan baik harus melakukan pemisahan kekuasaan, dan masing-masing
kekuasaan harus mengawasi kekuasaan yang lainnya sehingga tiap kekuasaan
tersebut menjadi balance.
[4] Hariyono
dkk, Membangun Negara Hukum Yang
Bermartabat, Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans), Malang, 2013, hal.
252-257
[5] Stahl, dalam Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia ,
Jakarta , 1982,
hal.112-113
[6] Ibid., hal 145
[7] Indonesia adalah negara hukum hal ini dapat dilihat Pasal. 1 Ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945
[8] B. Arief Sidharta, Rule of
Law (kajian kefilsafatan tentang negara hukum), Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia , Jakarta,
2004, hal. 123
[9] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[10] Jean-Jaques Rosseau, Perihal
Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (diterjemahkan oleh Ida
Sundari Husen dan Rahayu Hidayat), Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hal. 36-38
[11] Jimly Asshiddiqie, op cit, hal. 152-162
[12] Undang-undang Dasar 1945 dan
Amandemen Lengkap, Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 38-43
[13]
Ibid.
[14] H.A. Masykur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47
[15] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, ( diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka )
PT. Pustaka Utama Grafindo, Jakarta, 1994, hal. 2
[16] Anwar, Konsepsi Kedaulatan Dalam Membangun Negara Hukum Yang Demokratis dan
Berketuhanan, Setara Press, Malang, 2013, hal. 259
[18] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[20] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[21] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[22] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[23] Pasal 28E ayat (2) Perubahan
Kedua.
[24] Pasal 28E ayat (3) Perubahan
Kedua.
[25] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[26] Ayat (5) ini berasal dari Pasal
28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[27] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[28] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat
(1) Perubahan Kedua.
[29] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[30] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[31] Pasal 28H ayat (4) Perubahan
Kedua.
[32] Ayat (5) ini berasal dari Pasal
28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[33] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[34] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat
(1) Perubahan Kedua.
[35] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat
(2) Perubahan Kedua.
[36] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4)
Perubahan Kedua.
[37] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1)
Perubahan Kedua
[38] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan
dengan sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam
hubungannya dengan warga negara.
[39] Ini adalah ayat tambahan yang diambil
dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4
dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi,
khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi
penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”,
sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk
menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa
juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap
tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public
domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu
kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham
yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[40] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat
(4) Perubahan Kedua.
[41] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua
dengan menambahkan perkataan “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk
memajukan, menegakkan, dan melindungi....”
[42] Komnas HAM memang telah dikukuhkan
keberadaannya dengan undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam
UUD.
0 komentar:
Posting Komentar