Sabtu, 21 Juni 2014

DESENTRALISASI SIMETRIS ATAU ASIMETRIS DALAM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

Oleh :
Johansyah, SH., MH.


A.    PENDAHULUAN
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen II pasal 18, 18 A dan 18 B yang pada hakikatnya merupakan de jure atau landasan hukum bagi pembentukan pemerintahan di daerah yang berlaku dalam wilayah NKRI. Karena itu, sebagai suatu negara yang memiliki wilayah dan geografi yang sangat luas serta berlatarbelakang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya yang beraneka ragam merupakan de facto atau sebagai fakta fisik sesungguhnya dari unsur negara Indonesia perlu diakomodasi dan diinterintegrasikan melalui pasal 18 tersebut. Artinya bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memperhatikan dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota sehingga menimbulkan konsekuensi logis terhadap sistem pemerintahan yang khas Indonesia, atau yang dikenal sebagai pemerintah daerah dengan sistem desentralisasi.
 Kondisi wilayah geografis Indonesia yang strategis dan unik  tersebut berimplikasi juga terhadap upaya percepatan proses pencapaian tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah yang efektif dan efisien yang berasaskan sentralisasi dan desentralisasi. Tetapi kedua sistem ini bukan merupakan dikotomi/pemisahan, melainkan lebih kepada kontinum/satu kesatuan dalam rangka untuk melaksanakan program pembangunan nasional itu.
Pada suatu negara yang besar dan luas seperti Indonesia dalam rangka mengejawantahkan pasal 18 tersebut melalui pemerintahan daerah memerlukan asas desentralisasi. Karenan itu, menurut pendapat dari Safri Nugraha dkk. (2007) bahwa:
Suatu negara yang menganut asas desentralisasi tidak berarti negara tersebut tidak menganut  asas sentralisasi dan atau dekonsentrasi. Pelaksanaan kedua asas tersebut (sentralisasi-desentralisasi) tidak bisa dipilih salah satu, tetapi dilaksanakan secara bersama-sama atau kontinum, bukan dikotomis (mempertentangkan). Pilihan salah satu melaksanakan desentralisasi secara penuh akan berakibat pada disintegrasi dari negara tersebut. Pemberian desentralisasi pemerintahan kepada daerah harus diikuti dengan pembinaan dan pengawasan, karena sesungguhnya daerah yang diberikan desentralisasi tersebut tetap merupakan bagian dari negara pemberi, yang diberikan hanya sebagian kewenangan pemerintahan dan bukan kedaulatan negara.         Sentralisasi lebih mencerminkan kepada pendekatan negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi negara kesatuan (NKRI), sementara itu, desentralisasi merupakan pendekatan yang mempresentasikan kepada kemajemukan masyarakat (bhinneka tunggal ika) serta sekaligus pula sebagai wacana pendidikan politik berdemokrasi.[1]

Pengalaman Indonesia melaksanakan desentralisasi selama lebih kurang dua belas tahun terakhir ini, begitu menarik untuk dikaji terutama hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi di Indonesia selama ini dilaksanakan bukan karena keinginan pemerintah pusat secara sukarela membagi kewenangannya kepada daerah dalam rangka membuat pemerintah menjadi lebih partisipatif dan responsif. Akan tetapi, penerapan desentralisasi lebih karena tekanan publik yang tidak dapat dihindari. Runtuhnya rezim pemerintah Orde Baru yang otoriter dan sentralistis pada Mei 1998 telah memaksa pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi yang radikal.
  Isu dengan wacana desentralisasi secara historis formal sudah ada sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai pada puncaknya dengan momentum  gerakan reformasi pada tahun 1998 dengan salah satu agendanya  adalah tentang tuntutan otonomi daerah yang hingga saat ini masih terus bergulir.
Sejak memasuki era reformasi saat ini, bangsa Indonesia telah mengalami banyak kemajuan walaupun belum tercapai secara signifikan. Berbagai tantangan dalam upaya mewujudkan sistem pemerintah yang demokratis dan tidak sentralistik serta otoriter sudah diimplementasikan sejak tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrumen utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi kondisi sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan.
Selain daripada  itu, implementasi terhadap desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan otonomi daerah masih memiliki sejumlah kelemahan, seperti: otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institusional saja; perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan itu, otonomi tidak disertai dengan upaya peningkatan kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai dengan alam demokrasi.
Dalam perjalanan sejarah  pemerintahan daerah di Indonesia dengan mengimplementasikan kebijakan asas desentralisasi dengan wujud otonomi daerah tersebut sudah mengalami tujuh kali perubahan melalui peraturan perundang-undangan seperti berikut ini:
1.      UU Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pemerintahan Daerah.
2.      UU Nomor 22 Tahun 1948, tentang Susunan Pemerintahan Daerah yang Demokratis.
3.      UU Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pemerintahan Daerah
4.      UU Nomor 18 Tahun 1965, tentang Pemerintahan Daerah, yang menganut otonomi yang seluas-luasnya.
5.      UU Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah.
6.      UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Jadi sebenarnya penyelengaraan pemerintah daerah selama ini sampai dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 saat ini sudah mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dengan bercirikan simetris atau setara di setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kecuali NAD, DKI Jakarta, DIY dan Papua/Papua Barat sebagai daerah yang berstatus otonomi khusus yang merefleksikan asas desentralisasi asimetris.
Tapi ironisnya, sebagian pakar dan akademisi menilai desentralisasi tersebut ternyata tidak selamanya  merupakan formula yang efektif untuk memberi solusi terhadap masalah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan problem sosial yang kompleks di Indonesia. Sebab ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan masih sering terjadi konflik kepentingan yang kontroversial dalam tataran implementasinya.
Bahkan realita yang ada di tengah masyarakat juga sering kali persoalan desentralisasi yang kontroversial itu menimbulkan opini dan polemik antara yang pro dan kontra. Menurut dari pihak yang menyetujui, perlu adanya desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai kearifan lokal adalah dalam rangka upaya untuk percepatan proses pembangunan di wilayahnya masing-masing.  Sedangkan di pihak lain yang kontra, atau kurang sependapat dengan asas desentralisasi, beralasan karena mengkhawatirkan akan semakin tajamnya masalah disintegrasi bangsa, karena itu diperlukan adanya sistem pemerintahan yang tetap terintegrasi, dengan kata lain mementingkan asas sentralisasi (terpusat) sebagai perwujudan untuk menjaga dan memelihara eksistensi keutuhan wilayah NKRI.
Problem lain dari implementasi kebijakan asas desentralisasi adalah masih dihadapkannya dengan berbagai kendala seperti adanya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, antara wilayah barat dan timur Indonesia, serta adanya jarak yang jauh baik secara fisik maupun emosi antara penguasa (pemerintah) dengan rakyatnya, ditambah pula dengan semakin banyaknya kasus tindak pidana korupsi di daerah sebagai dampak negatif dari sistim pilkada langsung yang berbiaya politik tinggi.
Hal tersebut semakin diperkeruh dengan isu yang paling aktual pada beberapa waktu yang lalu, ketika keluar kebijakan yang kontroversial dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa masalah pemekaran daerah yang semakin marak karena berkesan emosional dan ambisius sehingga agar perlu secepatnya ditanggulangi, karenanya program itu  harus dimoratorium/dihentikan sementara. Fenomena atau eforia pemekaran daerah yang kebablasan  muncul dikarenakan ada pihak kontestan yang kalah pilkada.Kemudian  dari pihak yang kalah biasanya melemparkan isu sebagai “bola panas” untuk membentuk provinsi atau kabupaten/kota yang baru memisahkan diri dari daerah induknya, akibatnya sering kali terjadi tindakan anarkis sebagai konflik horizontal.
Masalah lain yang yang juga tidak kalah kontroversialnya adalah ketika rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyinggung masalah status keistimewaan pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya masalah wacana pemilihan gubernur secara demokratis, dengan alasan bahwa tidak ada sistem monarki dalam NKRI. Hal ini merupakan salah satu masalah desentralisasi yang paling menarik perhatian semua kalangan khususnya bagi rakyat Yogyakarta. Belum lagi berbagai kendala dalam pelaksanaan status otonomi khusus yang dialami oleh Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
 Padahal hakikatnya, asas desentralisasi itu diimplementasikan adalah dimaksudkan untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan sehingga upaya percepatan proses pembangunan di daerah khususnya dapat terealisasi yaitu dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adanya perbedaan pandangan seperti di atas adalah lumrah dan bukanlah tanpa alasan, sebab bagaimanapun juga tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk juga dengan wacana sistem pemerintahan dengan asas desentralisasi apa yang ideal bagi Indonesia pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sampai dengan ditemukannya format yang tepat untuk diimplementasikan sehingga diharapkan akan tercapai dan terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. 
Terlepas dari adanya yang pro dan kontra terhadap wacana desentralisasi yang bagaimana idealnya seperti tersebut di atas, menurut pendapat penulis tentang masalah sistem pemerintahan yang ada, diperlukan adanya sikap yang bijaksana, belajar dari pengalaman sejarah pernah berlakunya UU tentang pemerintahan daerah sudah yang ketujuh kali itu, maka asas desentralisasi apa yang ideal, sangat ditentukan paling tidak oleh empat faktor berikut ini; pertama, rezim pemerintah yang berkuasa, kedua, situasi dan kondisi, serta ketiga, aspirasi apa yang berkembang dalam masyarakat di daerah sangat  dominan, dan keempat, kearifan lokal yang tidak dapat diingkari sebagai suatu realita sosial budaya bangsa ini.
Sampai kapanpun, sistem pemerintahan akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan sikon dan tuntutan zaman serta latar belakang bangsa Indonesia yang memang unik dan majemuk yang seharusnya dapat dijadikan sebagai salah satu modal pembangunan nasional secara optimal dengan melalui pelaksanaan asas desentralisasi yang aspiratif dan partisipatif sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi dalam menentukan asas desentralisasi mana yang ideal bagi bangsa Indonesia dalam rangka penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah yang efisien dan efektif, yang perlu diingat dan dipertimbangka serta digarisbawahi sebagai prioritas utama adalah agar tetap terjagannya persatuan dan kesatuan nasional di atas segala kepentingan. Selanjutnya adalah penerapan asas desentralisasi yang simetris saat ini, berdasarkan pada beberapa contoh kasus tersebut di atas, bahwa desentralisasi simetris harus dievaluasi dalam hal ini adalah UU No. 32 Tahun 2004 , untuk kemudian dicari format yang mungkin saja ideal misalnya dengan merumuskan dan menetapkan desentralisasi asimetris.
Dari berbagai masalah desentralisasi tersebut, yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Apakah asas desentraliasi simetris sudah tidak lagi dianggap yang paling ideal untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia saat ini ?
2.   Apakah asas desentralisasi asimetris  yang paling ideal dan realistis untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia ?

B.     PEMBAHASAN
Dari berbagai kasus tentang isu asas desentralisasi dan otonomi daerah, serta otonomi khusus seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Papua Barat, serta keistimewaan DI Yogyakarta yang menimbulkan polemik wacana tentang konsep antara Sentralisasi, Desentralisasi Simetris dan Desentralisasi Asimetris.
Atas pertimbangan sudah tidak efektifnya lagi penerapan asas desentralisasi simetris atau yang setara dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena faktor kemajemukan dan ditambah dengan banyaknya konflik sosial yang terjadi baik vertikal maupun horizontal , maka paling tidak ada tiga alasan mengapa kebijakan desentralisasi sismteris harus dikaji ulang, yang menurut pendapat Agus Dwiyanto adalah:
Melihat besarnya keragaman antar daerah, pilihan kebijakan desentralisasi seragam yang telah dilaksanakan selama satu dekade terakhir ini perlu ditinjau kembali. Pertama, model desentralisasi yang seragam dalam keanekaragaman daerah yang mencolok bertentangan dengan hukum alam dan nilai yang terkandung dalam desentralisasi itu sendiri.....
Kedua, desentralisasi yang seragam mengabaikan kenyataan bahwa daerah memiliki tingkat kematangan, cakupan wilayah, potensi daerah, dan jumlah penduduk yang berbeda antara satu dengan lainnya.....
Ketiga, model desentralisasi seragam yang sekarang berlaku juga mempersulit daerah dalam pengembangan struktur birokrasi yang efisien dan aparatur yang profesional, mengingat kompetensi dan kebutuhan mereka yang berbeda-beda....[2] 
   
Perlu untuk disadari dan dipahami serta digarisbawahi, bahwa pada dasarnya secara filosofis asas sistem pemerintahan daerah apa pun, baik itu sentralisasi, desentralisasi simetris, atau pun desentralisasi asimetris pada akhirnya juga adalah untuk kesejahteraan rakyat khususnya bangsa Indonesia. Seperti yang pernah dikemukan oleh Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dikuti oleh Bambang Istianto (2011) berikut ini:
Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi bicara mengenai Grass Roots, Wards and village sebagai unit pemerintahan yang utama karena disanalah terletak keinginan dan kesejahteraan masyarakat.[3]
    Berdasarkan pendapat dari Cornelis dalam Bayu Dardias Kurniadi (2012) bahwa:
Desentralisasi di Indonesia, baik simetris maupun  asimetris, sangat penting untuk melihat hubungan dan proses yang berlangsung dalam rangka menemukan format pengelolaan pemerintahan yang efektif terkait hubungan pusat dan daerah. Desentralisasi sudah berlangsung di wilayah Indonesia sejak masa kolonial yang lebih bertujuan untuk pengaturan administratif demi memaksimalisasi keuntungan ekonomi kolonialis. Artinya berbicara desentralisasi simetris dan asimetris tidak hanya cukup untuk mundur ke belakang di kisaran tahu 2001 pada saat UU 22/1999 diberlakukan, tetapi harus melihat secara lebih menyeluruh serangkaian proses desentralisasi. Walaupun 2001 merupakan momen penting desentralisasi di Indonesia, pengaturan dalam regulasi tersebut tak terlepas dari faktor kesejarahan hubungan pusat-daerah yang panjang dimulai pada 23 Juli 1903 (Cornelis 2009).[4]

Secara historis sebenarnya konsep dan istilah desentralisasi simetris dan asimetris ternyata sudah ada sejak masa kolonial Belanda dahulu. Artinya asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia bukan lagi merupakan suatu benda asing  yang tak dikenal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang efetif dan efisien di Indonesia.
Dengan demikian bahwa asas desentralisasi asimetris tersebut secara teoritis sudah merupakan pilihan dalam hal ini suatu  format desentralisasi yang ideal dan realistis terhadap situasi dan kondisi serta latar belakang sejarah bangsa Indonesia dengan pengelolaan pemerintahannya yang bedasarkan konstitusional UUD 1945 serta falsafah dan ideologi Pancasila.
Selanjutnya untuk memahami konsep dan pengertian seperti apa yang sebenarnya dari  desentralisasi itu adalah sangat urgen dan krusial dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah yang berasaskan desentralisasi yang asimetrik , jika tidak maka kita akan terjebak pada praktik federalistik dalam wilayah NKRI atau sebaliknya sentralistik, seperti menurut pendapat Ferrazi (2000) dalam Bayu Dardias Kurniadi (2012) berikut ini:
Desentralisasi merupakan bentuk relasi pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, seluruh bagian negara dikelola oleh pemerintah pusat. Karena luas wilayah dan karakter daerah yang luas, disamping keterbatasan pemerintahpusat untuk menangani seluruh urusan pemerintahan yang menjamin pelayanan publik, maka beberapa urusan diserahkan ke pemerintah daerah. Hal ini berbeda dengan bentuk federal dimana bagian dari negara federal pada dasarnya adalah negara-negara bagian yang menyatu  menjadi satu negara. Urusan yang tidak bisa dilakukan negara bagian, misalnya yang menyangkut hubungan lintas negara bagian, diserahkan ke pemerintah federal. Jika pada negara kesatuan kewenangan yang diberikan ke daerah merupakan pemberian pemerintah pusat, dalam negara federal urusan pemerintah federal disepakati diantara negara-negara bagian. Konsepsi ini perlu difahami karena muncul kritikan, terutama saat UU 22/1999 diberlakukan bahwa Indonesia secara de facto, waktu itu adalah federal karena begitu sedikitnya urusan yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.[5] 
      
Kata kunci dari konsep desentralisasi tersebut adalah adanya pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dari pengalaman sejarah praktik ketatanegaraan di Indonesia dengan wacana desentralisasi merupakan modal dasar yang sangat penting untuk merekayasa atau mendisain format desentralisasi yang bagaimana idealnya akan diterapkan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, wacana desentralisasi dalam pemerintahan daerah adalah urgen dan krusial untuk dianalisis dan selanjutnya diimplementasikan sebagai suatu kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap berprinsip dalam konteks menjaga persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI.
Dari berbagai pendapat pakar hukum dan pemerintahan yang  merekomendasikan, bahwa konsep dari asas desentralisasi yang diterapkan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, dianggap yang paling akomodatif dan ideal, karena dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.
Apa urgensinya dari asas desentralisasi itu di Indonesia, berdasarkan kajian dari Tim ICCE UIN Jakarta adalah:
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan  berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta sentris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah laindilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dan yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunandi banyak daerah lamban dan bahkan terbengkalai.[6]

Kajian ilmiah terhadap masalah asas desentralisasi dan otonomi daerah yang bagaimana idealnya bagi Indonesia sangat penting sebagai argumentasi namun harus tetap dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana pula dikemukakan oleh Syaukani (2002) dalam Tim ICCE UIN Jakarta berikut ini:  
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Diantara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu:
1)      Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.....
2)      Sebagai sarana pendidikan politik.....
3)      Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan....
4)      Stabilitas politik.....
5)      Kesetaraan politik (political equality).....
6)      Akuntabilitas publik.....[7]
    
Secara teoritis maupun empiris penyelengaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang sering kali diposisikan kepada pilihan alternatif yang sulit terhadap penerapan asas desentralisasi. Kalaupun nantinya dapat dipilih dan ditetapkan sebagai kebijakan asas desentralisasi yang digunakan, tidak berarti masalahnya selesai begitu saja. Sebab pengalaman senantiasa memberikan fakta bahwa dalam tataran implementasinya juga seringkali banyak mengalami kendala, seperti tetap adanya campur tangan atau intervensi pemerintah pusat terhadap urusan pemerintahan yang nyata-nyata secara konstitusional dan legal formal sudah sah memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sendiri dan kemudian mengimplementasikannya sendiri atau dengan kata lain sebagai daerah otonom yang memiliki hak otonomi daerah.
Contoh kasus dalam hal ini adalah, seperti yang ditulis Bayu Dardias Kurniadi berikut ini:
Sebagai contoh misalnya Permendagri 20/2008 yang merujuk pada PP 41/2007 dan UU 32/2004 yang mengatur tentang salah satu struktur organisasi pemerintahan perijinan terpadu. Permendagri ini mengatur bahwa perangkat daerah yang mengurusi perijinan haruslah berbentuk Badan/Kantor dan tidak boleh berbentuk Dinas atau bentuk yang lain. Hal ini jelas tidak masuk akal karena tingginya disparitas arntar daerah dan peluang investasi yang berbeda. Bahkan denganberbentuk Dinas Perijinan, seperti di Kota Yogyakarta dan Kota Denpasar, selalu mendapatkan penghargaan sebagai daerah dengan pelayanan perijinan terbaik.[8]

Dalam rangka untuk menentukan atas pilihan asas desentralisasi mana sebagai alternatif yang terbaik, menurut pendapat Rondinelli yang dikutip oleh Teguh Wiyono (2001) dalam TIM ICCE UIN Jakarta bahwa:
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration, (2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local governments, dan (4) nongovernment institutions.[9]  

Model desentralisasi yang ditawarkan oleh Rondinelli tersebut sangat tepat untuk dijadikan bahan pertimbangan dan kajian terhadap bagaimana menentukan asas desentralisasi yang ideal untuk Indonesia.
Berdasarkan pendapat Rondinelli dalam Srijanti dkk. (2009), maka dapat disimpulkan bahwa model desentralisasi ada empat macam, sebagai berikut:
1.    Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
2.    Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi, yang secara tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
3.    Devolusi adalah transfer kewenangan untuk pengembilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah.
4.    Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat.[10]   

Berdasarkan pendapat Rondinelli tersebut mengenai model asas desentralisasi dengan empat macam desentralisasi maka dapat diketahui bahwa devolusi merupakan bentuk yang paling ideal dari asas desentralisasi, karena ia mengkombinasikan janji demokrasi lokal dan efesiensi teknikal-manajerial.
Sedangkan pendapat Mawhood yang dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang melekat pada devolusi yaitu:
1.    Adanya sebuah badan lokal yang secara konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggungjawab pada pelayanan lokal yang signifikan;
2.    Pemerintah daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya;
3.    Harus mengembangkan potensi staf;
4.    Anggota dewan yang terpilih, yang beroperasi pada garis partai, harus      menentukan kebijakan dan prosedur internal;
5.    Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagai penasehat dan evaluator (external advisors & evaluators) yang tidak memiliki peranan apa pundi dalam otoritas lokal. [11]

Dengan demikian, berdasarkan konsep dan teori devolusi di atas dapat ditentukan atas pilihan apa terhadap asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah asas desentralisasi atas dasar pertimbangan kedekatan antara pemda  dengan rakyatnya, kebutuhan dan kompetensi daerah  sehingga percepatan proses pembangunan dapat diimplementasikan sesuai dengan aspirasi dan rencana rakyat daerah. Namun demikian, persoalan selanjutnya adalah asas desentralisasi mana yang juga harus diterapkan, apakah simetris (setara) bagi semua provinsi/daerah ataukah  asimetris (otonomi khusus/keistimewaan seperti di NAD, DKI Jakarta, DIY, Papua/Papua Barat. 
Belajar dari pengalaman sejarah atas penerapan dari asas desentralisasi di Indonesia yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda sampai dengan saat ini masih sering terjadi tarik ulur  atau tawar-menawar  antara pemerintah dengan masyarakat, apakah asas desentralisasi sudah selayaknya segera dilaksanakan, dan bagaimana bentuk asas desentralisasi itu, apakah desentralisasi simetris atau asimetris ?  
Untuk menjawab pertanya tersebut, berdasarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (JPP UGM:  2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa desentralisasi asimetris harus dilakukan di Indonesia:
Pertama, alasan konflik dan tuntutan separatisme.....
Kedua, alasan ibukota negara.....
Ketiga, alasan sejarah dan budaya.....
Keempat, alasan perbatasan.....
Kelima, pusat pengembangan ekonomi..... [12]

Berbeda dari pendapat JPP Fisipol UGM di atas, bahwa ada juga pihak yang merasa kurang berminat terhadap wacana desentralisasi asimetris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah , paling tidak ada tiga alasan seperti yang diungkapkan oleh Agus Dwiyanto berikut ini:
Ada beberapa alasan mengapa model desentralisasi asimetris kurang memperoleh perhatian. Setidaknya terdapat tiga alasan penting, yaitu persepsi yang salah tentang konsep negara kesatuan yang seringkali dipahami secara sempit sebagai penyeragaman urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah, kekhawatiran berlebihan para pembuat kebijakan tentang ketidakmampuan daerah untuk secara bertanggungjawab memutuskan urusan yang akan dikelola, serta keengganan pemerintah untuk bekerja keras merumuskan kembali formula desentralisasi fiskal terkait dengan implikasi dari penerapan kebijakan desentralisasi asimetris.[13] 

Dari berbagai pendapat,konsep dan teori yang mendukung asas desentralisasi khususnya yang simetris (setara) atau asimetris (otonomi khusus/keistimewaan daerah) seperti tersebut di atas, tidak otomatis dapat disetujui oleh semua pihak, sebab ada juga yang kontra  atau tidak sependapat dengan sudut pandang yang beda.Namun menurut hemat penulis pada dasarnya tujuannya tetap sama yaitu untuk kepentingan rakyat juga. Seperti yang diusulkan oleh James Madison dalam Bambang Istianto (2011) berikut ini:
Madison menyatakan bahwa kepentingan rakyat atau masyarakat akan terlindungi apabila unit pemerintahan tersebut jauh dari masyarakat itu sendiri.Makin dekat ke masyarakat akan makin timbul kecenderungan factionalism. Pemerintahan dilakukan melalui perwakilan kepentingan masyarakat luas. Menurut Madison Pemerintah Daerah akan menyebabkan tekanan kepada golongan minoritas.[14]

Adanya polemik dan perbedaan pendapat tersebut dapat dinetralisir  atau memberikan satu solusi sebagai jalan tengah untuk menghubungkan kedua konsep yang berbeda itu menjadi suatu kesepahaman ilmiah secara toritis, seperti yang dianjurkan oleh De Tocqueville dalam Bambang Istianto (2011) berikut ini:
De tocqueville menganjurkan jalan tengah dari situasi preferensi yang diametrik antara sentralisasi dan desentralisasi. Lebih lanjut De tocqueville mengusulkan adanya dua values yaitu; keseimbangan antara individual liberty  dan sufficient government power untuk menciptakan kemakmuran dan keutuhan masyarakat[15]

Melihat fenomena yang terjadi dari sejak diberlakukannya otonomi daerah dengan asas desentralisasi simetris melalui kebijakan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang berimplikasi kepada banyak kejadian yang sangat tidak kondusif terhadap stabilitas politik nasional, seperti eforia pemekaran daerah,tuntutan merdeka, tuntutan keadilan akan hasil pengeloaan sumber daya alam. Maka sangat logis dan sudah waktunya untuk mulai merumuskan dan menetapkan kebijakan desentralisasi asimetris. Untuk itu Djohermansyah Djohan (2010) lebih spesifik lagi menjelaskan bahwa:
Desentralisasi asimetris (asymetric decentrlization) bukanlah pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik ia merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan desentralisasi asimetris dicoba diakomodasituntutan dari identitas lokal ke  dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas.[16] 


C.    KESIMPULAN
Akhirnya sebagai asumsi terhadap pertayaan apakah asas desentralisasi asimetris sudah selayaknya untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia ? Maka dapat dijawab berdasarkan dari konsep dan teori tersebut di atas serta ditambah dengan fenomena yang ditimbulkan akibat dari implikasi kebijakan UU No. 32 Tahun2004 terhadap stabilitas politik nasional dan demi untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI dengan mengakomodasi kemajemukan bangsa Indonesia, bahwa asas desentralisasi asimetris sudah selayaknya untuk segera dirumuskan, ditetapkan dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini adalah antara Presiden dan DPR untuk membuat kebijakan desentralisasi yang asimetris dengan UU baru yang demokratis.
Pertimbangan atau alasanya perlu diberlakukan asa desentralisasi asimetris di Indonesia berdsarkan konsep dan teori di atas adalah konflik dan tuntutan separatisme, letak ibu kota negara, sejarah budaya, perbatasan wilayah, pusat pengembangan ekonomi, bersifat Jakarta sentris, pembagian kekayaan seeara tidak adil dan merata, serta adanya kesenjangan sosial.  
Sedangkan untuk pertanyaan apakah asas desentralisasi asimetris merupakan yang paling ideal dan realistis ? Maka berdasarkan fakta, konsep dan teori seperti yang dijelaskan di atas tadi, dapat dijelaskan pada hakikatnya asas desentralisasi asimetris adalah ideal, karena secara filosofis bahwa bangsa dan negara Indonesia ini terbentuk  adalah berdasarkan pada atas kesepakatan bersama antar komponen bangsa yang heterogen sehingga nantinya dapat dimplementasikan adanya suatu sistem pemerintahan daerah yang akomodatif, aspiratif dan partisipatif dalam rangka untuk semakin meningkatkan kesejahteraan sosial.
Masih menurut  analisa penulis, bahwa asas desentralisasi asimetris itu idealis karena ia berdasarkan pada falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara khususnya dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Desentralisasi asimetris dikatakan selain idealis juga realistis, karena melihat fakta sejarah, kebudayaan, karakteristik dan watak dari bangsa dan negara Indonesia yang beraneka ragam tercermin dalam bhinneka tunggal ika merupakan suatu identitas nasional yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan di daera sesuai dengan karakternya masing-masing maka upaya percepatan pembangunan nasional maupun daerah akan semakin mendekatkan kepada pencapaian tujuan negara seperti yang diamanatkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

D.    PENUTUP
Penerapan kebijakan antara asas desentralisasi simetris ataukah asimetris dalam rangka untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah dalam wilayah kedaulatan NKRI yang menjadi polemik pada dasarnya adalah untuk mencari solusi dan sekaligus mengevaluasi kebijakan tersebut sehingga diharapkan akan dapat memilih, merumuskan dan menetapkan untuk segera diimplementasikan pada tataran yang lebih nyata pada tingkat daerah dalam wilayah pemerintahan nasional.
Jadi implementasi kebijakan asas desentralisasi asimetris itu ideal dan realistis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sebagai akselerasi dan berkedudukan strategis yang bertujuan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan pembangunan daerah dan nasional dengan tetap memelihara prinsip persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga dapat diantisipasinya kemungkinan ada gerakan separatis di daerah-daerah yang rawan konflik yang ingin memisahkan diri. Sebab jika tidak maka akan mengancam dan mengganggu stabilitas politik nasional dan ketahanan nasional. Artinya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien berasaskan desentralisasi asimetris, maka ancaman disintegrasi nasional dapat dicegah sehingga akan terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa semakin kondusif sebagai salah modal pembangunan yang  berdampak positif  terhadap terjaminnya keutuhan wilayah NKRI.  















DAFTAR PUSTAKA

Djohan, Djohermasnyah. 2010, Dessentralisasi Asimetris Aceh, Jurnal Sekretariat RI No. 15, Februari 2010.
Istianto, Bambang. 2011, Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Jakarta: Mitra Wacana Media.
Kumorotomo, Wahyudi dan Widaningrum,Ambar. 2010, Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali, Yogyakarta: Gava Media dan JMKP & MAP UGM.
Kurniadi, Bayu Dardias. Desentralisasi Asimetris Di Indonesia, Seminar di LAN Jatinagor, 26 November 2012.
Nugraha, Safri dkk. 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: CLGS-FH UI.
Srijanti, HI. A. Rahman. SK. Purwato. 2009, Pendidikan Kewrganegaraan Di Perguruan Tinggi Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Jakarta : Salemba Empat.
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media. 


 




      





[1] Safri Nugraha dkk., Hukum Administrasi Negara,Edisi Revisi, Centre For Law And Good Governance Studies (CLGS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 226-227. 
[2] Agus Dwiyanto dalam Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, Reformasi  Aparatur Negara Ditinjau Kembali, Penerbit: Gava Media,Yogyakarta,2010, hlm. 188-189.
[3]Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dalam Bambang Istianto, Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Penerbit: Mitra Wacana Media, jakarta, 2011, hlm. 36.
[4] Cornelis dalam Bayu Dardias Kurniadi, Desentralisasi Asimetris Di Indonesia, Makalah seminar di LAN Jatinagor 26 November 2012, hlm. 2.
[5] Ferrazi dalam ibid. hlm.3 
[6] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 152-153.
[7] Syaukani dalam ibid. hlm. 154 
[8] Loc. Cit., hlm. 7.
[9] Rondinelli dalam Op. Cit., hlm. 159.
[10] Rondinelli dalam Srijanti dkk.,Pendidikan Kewarganegraan Di Perguruan Tinggi Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit: Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 191-192.

[11] Mawhood  dalam Op. Cit., hlm. 163-164.
[12] JPP Fisipol UGM dalam Bayu Dardias Kurniadi, Op. Cit., hlm. 8-9.
[13] Agus Dwiyanto Op. Cit.,hlm. 187.  
[14] James Madison dalam Bambang Istianto,Op. Cit., hlm. 36. 
[15] De Tocqueville dalam ibid., hlm. 37. 
[16] Djohermansyah Djohan, Desentralisasi Asimetris Aceh, Jurnal Sekretariat RI No. 15, Februari 2010.

0 komentar:

Posting Komentar