Oleh :
Johansyah, SH., MH.
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen II
pasal 18, 18 A dan 18 B yang pada hakikatnya merupakan de jure atau landasan
hukum bagi pembentukan pemerintahan di daerah yang berlaku dalam wilayah NKRI.
Karena itu, sebagai suatu negara yang memiliki wilayah dan geografi yang sangat
luas serta berlatarbelakang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya yang
beraneka ragam merupakan de facto atau sebagai fakta fisik sesungguhnya
dari unsur negara Indonesia perlu diakomodasi dan diinterintegrasikan melalui
pasal 18 tersebut. Artinya bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memperhatikan dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa. Seperti Provinsi, Kabupaten dan Kota sehingga menimbulkan
konsekuensi logis terhadap sistem pemerintahan yang khas Indonesia, atau yang
dikenal sebagai pemerintah daerah dengan sistem desentralisasi.
Kondisi wilayah geografis Indonesia yang
strategis dan unik tersebut berimplikasi
juga terhadap upaya percepatan proses pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan pusat dan
daerah yang efektif dan efisien yang berasaskan sentralisasi dan
desentralisasi. Tetapi kedua sistem ini bukan merupakan dikotomi/pemisahan,
melainkan lebih kepada kontinum/satu kesatuan dalam rangka untuk melaksanakan
program pembangunan nasional itu.
Pada suatu negara yang besar dan luas
seperti Indonesia dalam rangka mengejawantahkan pasal 18 tersebut melalui
pemerintahan daerah memerlukan asas desentralisasi. Karenan itu, menurut
pendapat dari Safri Nugraha dkk. (2007) bahwa:
Suatu
negara yang menganut asas desentralisasi tidak berarti negara tersebut tidak
menganut asas sentralisasi dan atau
dekonsentrasi. Pelaksanaan kedua asas tersebut (sentralisasi-desentralisasi)
tidak bisa dipilih salah satu, tetapi dilaksanakan secara bersama-sama atau
kontinum, bukan dikotomis (mempertentangkan). Pilihan salah satu melaksanakan
desentralisasi secara penuh akan berakibat pada disintegrasi dari negara
tersebut. Pemberian desentralisasi pemerintahan kepada daerah harus diikuti
dengan pembinaan dan pengawasan, karena sesungguhnya daerah yang diberikan
desentralisasi tersebut tetap merupakan bagian dari negara pemberi, yang
diberikan hanya sebagian kewenangan pemerintahan dan bukan kedaulatan
negara. Sentralisasi lebih
mencerminkan kepada pendekatan negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi
negara kesatuan (NKRI), sementara itu, desentralisasi merupakan pendekatan yang
mempresentasikan kepada kemajemukan masyarakat (bhinneka tunggal ika) serta
sekaligus pula sebagai wacana pendidikan politik berdemokrasi.[1]
Pengalaman Indonesia melaksanakan
desentralisasi selama lebih kurang dua belas tahun terakhir ini, begitu menarik
untuk dikaji terutama hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Desentralisasi di Indonesia selama ini dilaksanakan bukan karena keinginan
pemerintah pusat secara sukarela membagi kewenangannya kepada daerah dalam
rangka membuat pemerintah menjadi lebih partisipatif dan responsif. Akan
tetapi, penerapan desentralisasi lebih karena tekanan publik yang tidak dapat
dihindari. Runtuhnya rezim pemerintah Orde Baru yang otoriter dan sentralistis
pada Mei 1998 telah memaksa pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi
yang radikal.
Isu dengan wacana desentralisasi secara historis formal sudah ada sejak
Indonesia merdeka tahun 1945 sampai pada puncaknya dengan momentum gerakan reformasi pada tahun 1998 dengan
salah satu agendanya adalah tentang
tuntutan otonomi daerah yang hingga saat ini masih terus bergulir.
Sejak memasuki era reformasi saat ini,
bangsa Indonesia telah mengalami banyak kemajuan walaupun belum tercapai secara
signifikan. Berbagai tantangan dalam upaya mewujudkan sistem pemerintah yang demokratis
dan tidak sentralistik serta otoriter sudah diimplementasikan sejak tahun 1999.
Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah
merupakan instrumen utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi
kondisi sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan.
Selain daripada itu, implementasi terhadap desentralisasi
kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan
demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan otonomi daerah masih memiliki
sejumlah kelemahan, seperti: otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan
yang bersifat institusional saja; perhatian dalam otonomi daerah hanya pada
masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan esensi
dan tujuan kebijakan itu, otonomi tidak disertai dengan upaya peningkatan
kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai dengan alam demokrasi.
Dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia dengan
mengimplementasikan kebijakan asas desentralisasi dengan wujud otonomi daerah
tersebut sudah mengalami tujuh kali perubahan melalui peraturan
perundang-undangan seperti berikut ini:
1. UU
Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pemerintahan Daerah.
2. UU
Nomor 22 Tahun 1948, tentang Susunan Pemerintahan Daerah yang Demokratis.
3. UU
Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pemerintahan Daerah
4. UU
Nomor 18 Tahun 1965, tentang Pemerintahan Daerah, yang menganut otonomi yang
seluas-luasnya.
5. UU
Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 22
Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah.
6. UU
Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Jadi sebenarnya penyelengaraan
pemerintah daerah selama ini sampai dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 saat
ini sudah mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dengan bercirikan
simetris atau setara di setiap Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kecuali NAD, DKI
Jakarta, DIY dan Papua/Papua Barat sebagai daerah yang berstatus otonomi khusus
yang merefleksikan asas desentralisasi asimetris.
Tapi ironisnya, sebagian pakar dan
akademisi menilai desentralisasi tersebut ternyata tidak selamanya merupakan formula yang efektif untuk memberi
solusi terhadap masalah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan problem
sosial yang kompleks di Indonesia. Sebab ada kesenjangan antara harapan dengan
kenyataan masih sering terjadi konflik kepentingan yang kontroversial dalam
tataran implementasinya.
Bahkan realita yang ada di tengah
masyarakat juga sering kali persoalan desentralisasi yang kontroversial itu
menimbulkan opini dan polemik antara yang pro dan kontra. Menurut dari pihak
yang menyetujui, perlu adanya desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai
kearifan lokal adalah dalam rangka upaya untuk percepatan proses pembangunan di
wilayahnya masing-masing. Sedangkan di
pihak lain yang kontra, atau kurang sependapat dengan asas desentralisasi,
beralasan karena mengkhawatirkan akan semakin tajamnya masalah disintegrasi
bangsa, karena itu diperlukan adanya sistem pemerintahan yang tetap terintegrasi,
dengan kata lain mementingkan asas sentralisasi (terpusat) sebagai perwujudan
untuk menjaga dan memelihara eksistensi keutuhan wilayah NKRI.
Problem lain dari implementasi kebijakan
asas desentralisasi adalah masih dihadapkannya dengan berbagai kendala seperti
adanya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, antara wilayah barat
dan timur Indonesia, serta adanya jarak yang jauh baik secara fisik maupun
emosi antara penguasa (pemerintah) dengan rakyatnya, ditambah pula dengan
semakin banyaknya kasus tindak pidana korupsi di daerah sebagai dampak negatif
dari sistim pilkada langsung yang berbiaya politik tinggi.
Hal tersebut semakin diperkeruh dengan
isu yang paling aktual pada beberapa waktu yang lalu, ketika keluar kebijakan
yang kontroversial dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa masalah
pemekaran daerah yang semakin marak karena berkesan emosional dan ambisius
sehingga agar perlu secepatnya ditanggulangi, karenanya program itu harus dimoratorium/dihentikan sementara.
Fenomena atau eforia pemekaran daerah yang kebablasan muncul dikarenakan ada pihak kontestan yang
kalah pilkada.Kemudian dari pihak yang
kalah biasanya melemparkan isu sebagai “bola panas” untuk membentuk provinsi
atau kabupaten/kota yang baru memisahkan diri dari daerah induknya, akibatnya
sering kali terjadi tindakan anarkis sebagai konflik horizontal.
Masalah lain yang yang juga tidak kalah
kontroversialnya adalah ketika rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ketika menyinggung masalah status keistimewaan pemerintah daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya masalah wacana pemilihan gubernur secara
demokratis, dengan alasan bahwa tidak ada sistem monarki dalam NKRI. Hal ini
merupakan salah satu masalah desentralisasi yang paling menarik perhatian semua
kalangan khususnya bagi rakyat Yogyakarta. Belum lagi berbagai kendala dalam
pelaksanaan status otonomi khusus yang dialami oleh Nanggroe Aceh Darussalam
dan Papua.
Padahal hakikatnya, asas desentralisasi itu
diimplementasikan adalah dimaksudkan untuk terciptanya efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan sehingga upaya percepatan proses
pembangunan di daerah khususnya dapat terealisasi yaitu dalam rangka untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adanya perbedaan pandangan seperti di
atas adalah lumrah dan bukanlah tanpa alasan, sebab bagaimanapun juga tidak ada
yang sempurna di dunia ini, termasuk juga dengan wacana sistem pemerintahan
dengan asas desentralisasi apa yang ideal bagi Indonesia pasti memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing sampai dengan ditemukannya format
yang tepat untuk diimplementasikan sehingga diharapkan akan tercapai dan
terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Terlepas dari adanya yang pro dan kontra
terhadap wacana desentralisasi yang bagaimana idealnya seperti tersebut di
atas, menurut pendapat penulis tentang masalah sistem pemerintahan yang ada,
diperlukan adanya sikap yang bijaksana, belajar dari pengalaman sejarah pernah
berlakunya UU tentang pemerintahan daerah sudah yang ketujuh kali itu, maka
asas desentralisasi apa yang ideal, sangat ditentukan paling tidak oleh empat
faktor berikut ini; pertama, rezim pemerintah yang berkuasa, kedua,
situasi dan kondisi, serta ketiga, aspirasi apa yang berkembang dalam
masyarakat di daerah sangat dominan, dan
keempat, kearifan lokal yang tidak dapat diingkari sebagai suatu realita
sosial budaya bangsa ini.
Sampai kapanpun, sistem pemerintahan
akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan sikon dan tuntutan zaman serta
latar belakang bangsa Indonesia yang memang unik dan majemuk yang seharusnya
dapat dijadikan sebagai salah satu modal pembangunan nasional secara optimal
dengan melalui pelaksanaan asas desentralisasi yang aspiratif dan partisipatif
sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi dalam menentukan
asas desentralisasi mana yang ideal bagi bangsa Indonesia dalam rangka
penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah yang efisien dan efektif, yang perlu
diingat dan dipertimbangka serta digarisbawahi sebagai prioritas utama adalah
agar tetap terjagannya persatuan dan kesatuan nasional di atas segala
kepentingan. Selanjutnya adalah penerapan asas desentralisasi yang simetris
saat ini, berdasarkan pada beberapa contoh kasus tersebut di atas, bahwa
desentralisasi simetris harus dievaluasi dalam hal ini adalah UU No. 32 Tahun
2004 , untuk kemudian dicari format yang mungkin saja ideal misalnya dengan
merumuskan dan menetapkan desentralisasi asimetris.
Dari berbagai masalah
desentralisasi tersebut, yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah
asas desentraliasi simetris sudah tidak lagi dianggap yang paling ideal untuk
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia saat ini ?
2. Apakah
asas desentralisasi asimetris yang
paling ideal dan realistis untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah di Indonesia ?
B. PEMBAHASAN
Dari berbagai kasus
tentang isu asas desentralisasi dan otonomi daerah, serta otonomi khusus
seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Papua Barat, serta
keistimewaan DI Yogyakarta yang menimbulkan polemik wacana tentang konsep
antara Sentralisasi, Desentralisasi Simetris dan Desentralisasi
Asimetris.
Atas pertimbangan sudah
tidak efektifnya lagi penerapan asas desentralisasi simetris atau yang setara
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena faktor kemajemukan dan
ditambah dengan banyaknya konflik sosial yang terjadi baik vertikal maupun
horizontal , maka paling tidak ada tiga alasan mengapa kebijakan desentralisasi
sismteris harus dikaji ulang, yang menurut pendapat Agus Dwiyanto adalah:
Melihat besarnya
keragaman antar daerah, pilihan kebijakan desentralisasi seragam yang telah
dilaksanakan selama satu dekade terakhir ini perlu ditinjau kembali. Pertama,
model desentralisasi yang seragam dalam keanekaragaman daerah yang mencolok
bertentangan dengan hukum alam dan nilai yang terkandung dalam desentralisasi
itu sendiri.....
Kedua,
desentralisasi yang seragam mengabaikan kenyataan bahwa daerah memiliki tingkat
kematangan, cakupan wilayah, potensi daerah, dan jumlah penduduk yang berbeda
antara satu dengan lainnya.....
Ketiga, model
desentralisasi seragam yang sekarang berlaku juga mempersulit daerah dalam
pengembangan struktur birokrasi yang efisien dan aparatur yang profesional,
mengingat kompetensi dan kebutuhan mereka yang berbeda-beda....[2]
Perlu untuk disadari
dan dipahami serta digarisbawahi, bahwa pada dasarnya secara filosofis asas
sistem pemerintahan daerah apa pun, baik itu sentralisasi, desentralisasi
simetris, atau pun desentralisasi asimetris pada akhirnya juga adalah untuk
kesejahteraan rakyat khususnya bangsa Indonesia. Seperti yang pernah dikemukan
oleh Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dikuti oleh Bambang Istianto (2011)
berikut ini:
Thomas
Jefferson dan Mahatma Gandhi bicara mengenai Grass Roots, Wards and village
sebagai unit pemerintahan yang utama karena disanalah terletak keinginan dan
kesejahteraan masyarakat.[3]
Berdasarkan pendapat dari Cornelis dalam
Bayu Dardias Kurniadi (2012) bahwa:
Desentralisasi
di Indonesia, baik simetris maupun
asimetris, sangat penting untuk melihat hubungan dan proses yang berlangsung
dalam rangka menemukan format pengelolaan pemerintahan yang efektif terkait
hubungan pusat dan daerah. Desentralisasi sudah berlangsung di wilayah
Indonesia sejak masa kolonial yang lebih bertujuan untuk pengaturan
administratif demi memaksimalisasi keuntungan ekonomi kolonialis. Artinya
berbicara desentralisasi simetris dan asimetris tidak hanya cukup untuk mundur
ke belakang di kisaran tahu 2001 pada saat UU 22/1999 diberlakukan, tetapi
harus melihat secara lebih menyeluruh serangkaian proses desentralisasi.
Walaupun 2001 merupakan momen penting desentralisasi di Indonesia, pengaturan
dalam regulasi tersebut tak terlepas dari faktor kesejarahan hubungan
pusat-daerah yang panjang dimulai pada 23 Juli 1903 (Cornelis 2009).[4]
Secara historis
sebenarnya konsep dan istilah desentralisasi simetris dan asimetris ternyata
sudah ada sejak masa kolonial Belanda dahulu. Artinya asas desentralisasi dalam
sistem pemerintahan daerah di Indonesia bukan lagi merupakan suatu benda
asing yang tak dikenal dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang efetif dan efisien di Indonesia.
Dengan demikian bahwa
asas desentralisasi asimetris tersebut secara teoritis sudah merupakan pilihan
dalam hal ini suatu format
desentralisasi yang ideal dan realistis terhadap situasi dan kondisi serta
latar belakang sejarah bangsa Indonesia dengan pengelolaan pemerintahannya yang
bedasarkan konstitusional UUD 1945 serta falsafah dan ideologi Pancasila.
Selanjutnya untuk
memahami konsep dan pengertian seperti apa yang sebenarnya dari desentralisasi itu adalah sangat urgen dan
krusial dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah yang
berasaskan desentralisasi yang asimetrik , jika tidak maka kita akan terjebak
pada praktik federalistik dalam wilayah NKRI atau sebaliknya sentralistik,
seperti menurut pendapat Ferrazi (2000) dalam Bayu Dardias Kurniadi (2012)
berikut ini:
Desentralisasi
merupakan bentuk relasi pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam
negara kesatuan, seluruh bagian negara dikelola oleh pemerintah pusat. Karena
luas wilayah dan karakter daerah yang luas, disamping keterbatasan
pemerintahpusat untuk menangani seluruh urusan pemerintahan yang menjamin
pelayanan publik, maka beberapa urusan diserahkan ke pemerintah daerah. Hal ini
berbeda dengan bentuk federal dimana bagian dari negara federal pada dasarnya
adalah negara-negara bagian yang menyatu
menjadi satu negara. Urusan yang tidak bisa dilakukan negara bagian,
misalnya yang menyangkut hubungan lintas negara bagian, diserahkan ke
pemerintah federal. Jika pada negara kesatuan kewenangan yang diberikan ke
daerah merupakan pemberian pemerintah pusat, dalam negara federal urusan
pemerintah federal disepakati diantara negara-negara bagian. Konsepsi ini perlu
difahami karena muncul kritikan, terutama saat UU 22/1999 diberlakukan bahwa
Indonesia secara de facto, waktu itu adalah federal karena begitu
sedikitnya urusan yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.[5]
Kata kunci dari konsep
desentralisasi tersebut adalah adanya pengaturan hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Dari pengalaman sejarah praktik ketatanegaraan
di Indonesia dengan wacana desentralisasi merupakan modal dasar yang sangat
penting untuk merekayasa atau mendisain format desentralisasi yang bagaimana
idealnya akan diterapkan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, wacana
desentralisasi dalam pemerintahan daerah adalah urgen dan krusial untuk
dianalisis dan selanjutnya diimplementasikan sebagai suatu kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap berprinsip dalam konteks
menjaga persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI.
Dari berbagai pendapat
pakar hukum dan pemerintahan yang
merekomendasikan, bahwa konsep dari asas desentralisasi yang diterapkan
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, dianggap yang
paling akomodatif dan ideal, karena dapat menjawab tuntutan pemerataan,
pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab desentralisasi menjamin penanganan
tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.
Apa urgensinya dari
asas desentralisasi itu di Indonesia, berdasarkan kajian dari Tim ICCE UIN
Jakarta adalah:
Ada beberapa
alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini
dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat
terpusat di Jakarta (Jakarta sentris). Sementara itu, pembangunan di
beberapa wilayah laindilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak
adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah,
seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak
menerima perolehan dan yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga,
kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan
daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat
sekali, sedangkan pembangunandi banyak daerah lamban dan bahkan terbengkalai.[6]
Kajian ilmiah terhadap
masalah asas desentralisasi dan otonomi daerah yang bagaimana idealnya bagi
Indonesia sangat penting sebagai argumentasi namun harus tetap dapat
dipertanggungjawabkan. Sebagaimana pula dikemukakan oleh Syaukani (2002) dalam
Tim ICCE UIN Jakarta berikut ini:
Pilihan terhadap
desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik
ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan
sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat
dipertanggungjawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Diantara
berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu:
1)
Untuk terciptanya
efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.....
2)
Sebagai sarana pendidikan
politik.....
3)
Pemerintahan daerah sebagai
persiapan untuk karir politik lanjutan....
4)
Stabilitas politik.....
5)
Kesetaraan politik (political
equality).....
6)
Akuntabilitas publik.....[7]
Secara teoritis maupun
empiris penyelengaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia sejak dahulu
hingga sekarang sering kali diposisikan kepada pilihan alternatif yang sulit
terhadap penerapan asas desentralisasi. Kalaupun nantinya dapat dipilih dan
ditetapkan sebagai kebijakan asas desentralisasi yang digunakan, tidak berarti
masalahnya selesai begitu saja. Sebab pengalaman senantiasa memberikan fakta
bahwa dalam tataran implementasinya juga seringkali banyak mengalami kendala,
seperti tetap adanya campur tangan atau intervensi pemerintah pusat terhadap
urusan pemerintahan yang nyata-nyata secara konstitusional dan legal formal
sudah sah memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sendiri dan kemudian
mengimplementasikannya sendiri atau dengan kata lain sebagai daerah otonom yang
memiliki hak otonomi daerah.
Contoh kasus dalam hal
ini adalah, seperti yang ditulis Bayu Dardias Kurniadi berikut ini:
Sebagai contoh
misalnya Permendagri 20/2008 yang merujuk pada PP 41/2007 dan UU 32/2004 yang
mengatur tentang salah satu struktur organisasi pemerintahan perijinan terpadu.
Permendagri ini mengatur bahwa perangkat daerah yang mengurusi perijinan
haruslah berbentuk Badan/Kantor dan tidak boleh berbentuk Dinas atau bentuk
yang lain. Hal ini jelas tidak masuk akal karena tingginya disparitas arntar
daerah dan peluang investasi yang berbeda. Bahkan denganberbentuk Dinas
Perijinan, seperti di Kota Yogyakarta dan Kota Denpasar, selalu mendapatkan
penghargaan sebagai daerah dengan pelayanan perijinan terbaik.[8]
Dalam rangka untuk
menentukan atas pilihan asas desentralisasi mana sebagai alternatif yang
terbaik, menurut pendapat Rondinelli yang dikutip oleh Teguh Wiyono (2001)
dalam TIM ICCE UIN Jakarta bahwa:
Rondinelli
membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration, (2)
delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local
governments, dan (4) nongovernment institutions.[9]
Model desentralisasi
yang ditawarkan oleh Rondinelli tersebut sangat tepat untuk dijadikan bahan
pertimbangan dan kajian terhadap bagaimana menentukan asas desentralisasi yang
ideal untuk Indonesia.
Berdasarkan pendapat
Rondinelli dalam Srijanti dkk. (2009), maka dapat disimpulkan bahwa model
desentralisasi ada empat macam, sebagai berikut:
1.
Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
2.
Delegasi adalah pelimpahan pengambilan
keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada
suatu organisasi, yang secara tidak langsung berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat.
3.
Devolusi adalah transfer kewenangan
untuk pengembilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi
pemerintah daerah.
4.
Privatisasi adalah tindakan pemberian
kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya
masyarakat.[10]
Berdasarkan
pendapat Rondinelli tersebut mengenai model asas desentralisasi dengan empat
macam desentralisasi maka dapat diketahui bahwa devolusi merupakan bentuk yang
paling ideal dari asas desentralisasi, karena ia mengkombinasikan janji
demokrasi lokal dan efesiensi teknikal-manajerial.
Sedangkan
pendapat Mawhood yang dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang melekat
pada devolusi yaitu:
1.
Adanya sebuah badan lokal yang secara
konstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggungjawab pada
pelayanan lokal yang signifikan;
2.
Pemerintah daerah harus memiliki
kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk
meningkatkan pendapatannya;
3.
Harus mengembangkan potensi staf;
4.
Anggota dewan yang terpilih, yang
beroperasi pada garis partai, harus
menentukan kebijakan dan prosedur internal;
5.
Pejabat pemerintah pusat harus melayani
sebagai penasehat dan evaluator (external advisors & evaluators) yang tidak
memiliki peranan apa pundi dalam otoritas lokal. [11]
Dengan
demikian, berdasarkan konsep dan teori devolusi di atas dapat ditentukan atas
pilihan apa terhadap asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah asas
desentralisasi atas dasar pertimbangan kedekatan antara pemda dengan rakyatnya, kebutuhan dan kompetensi
daerah sehingga percepatan proses pembangunan
dapat diimplementasikan sesuai dengan aspirasi dan rencana rakyat daerah. Namun
demikian, persoalan selanjutnya adalah asas desentralisasi mana yang juga harus
diterapkan, apakah simetris (setara) bagi semua provinsi/daerah ataukah asimetris (otonomi khusus/keistimewaan
seperti di NAD, DKI Jakarta, DIY, Papua/Papua Barat.
Belajar
dari pengalaman sejarah atas penerapan dari asas desentralisasi di Indonesia
yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda sampai dengan saat ini masih sering
terjadi tarik ulur atau
tawar-menawar antara pemerintah dengan
masyarakat, apakah asas desentralisasi sudah selayaknya segera dilaksanakan,
dan bagaimana bentuk asas desentralisasi itu, apakah desentralisasi simetris
atau asimetris ?
Untuk
menjawab pertanya tersebut, berdasarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM (JPP UGM: 2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima
alasan mengapa desentralisasi asimetris harus dilakukan di Indonesia:
Pertama,
alasan konflik dan tuntutan separatisme.....
Kedua, alasan
ibukota negara.....
Ketiga,
alasan sejarah dan budaya.....
Keempat, alasan
perbatasan.....
Kelima, pusat
pengembangan ekonomi..... [12]
Berbeda
dari pendapat JPP Fisipol UGM di atas, bahwa ada juga pihak yang merasa kurang
berminat terhadap wacana desentralisasi asimetris dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah , paling tidak ada tiga alasan seperti yang diungkapkan
oleh Agus Dwiyanto berikut ini:
Ada beberapa
alasan mengapa model desentralisasi asimetris kurang memperoleh perhatian.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting, yaitu persepsi yang salah tentang
konsep negara kesatuan yang seringkali dipahami secara sempit sebagai
penyeragaman urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah,
kekhawatiran berlebihan para pembuat kebijakan tentang ketidakmampuan daerah
untuk secara bertanggungjawab memutuskan urusan yang akan dikelola, serta
keengganan pemerintah untuk bekerja keras merumuskan kembali formula
desentralisasi fiskal terkait dengan implikasi dari penerapan kebijakan
desentralisasi asimetris.[13]
Dari
berbagai pendapat,konsep dan teori yang mendukung asas desentralisasi khususnya
yang simetris (setara) atau asimetris (otonomi khusus/keistimewaan daerah)
seperti tersebut di atas, tidak otomatis dapat disetujui oleh semua pihak,
sebab ada juga yang kontra atau tidak
sependapat dengan sudut pandang yang beda.Namun menurut hemat penulis pada
dasarnya tujuannya tetap sama yaitu untuk kepentingan rakyat juga. Seperti yang
diusulkan oleh James Madison dalam Bambang Istianto (2011) berikut ini:
Madison
menyatakan bahwa kepentingan rakyat atau masyarakat akan terlindungi apabila
unit pemerintahan tersebut jauh dari masyarakat itu sendiri.Makin dekat ke
masyarakat akan makin timbul kecenderungan factionalism. Pemerintahan
dilakukan melalui perwakilan kepentingan masyarakat luas. Menurut Madison
Pemerintah Daerah akan menyebabkan tekanan kepada golongan minoritas.[14]
Adanya
polemik dan perbedaan pendapat tersebut dapat dinetralisir atau memberikan satu solusi sebagai jalan
tengah untuk menghubungkan kedua konsep yang berbeda itu menjadi suatu
kesepahaman ilmiah secara toritis, seperti yang dianjurkan oleh De Tocqueville
dalam Bambang Istianto (2011) berikut ini:
De
tocqueville
menganjurkan jalan tengah dari situasi preferensi yang diametrik antara
sentralisasi dan desentralisasi. Lebih lanjut De tocqueville mengusulkan
adanya dua values yaitu; keseimbangan antara individual liberty dan sufficient government power untuk
menciptakan kemakmuran dan keutuhan masyarakat[15]
Melihat
fenomena yang terjadi dari sejak diberlakukannya otonomi daerah dengan asas
desentralisasi simetris melalui kebijakan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32
Tahun 2004 yang berimplikasi kepada banyak kejadian yang sangat tidak kondusif
terhadap stabilitas politik nasional, seperti eforia pemekaran daerah,tuntutan
merdeka, tuntutan keadilan akan hasil pengeloaan sumber daya alam. Maka sangat
logis dan sudah waktunya untuk mulai merumuskan dan menetapkan kebijakan
desentralisasi asimetris. Untuk itu Djohermansyah Djohan (2010) lebih spesifik
lagi menjelaskan bahwa:
Desentralisasi
asimetris (asymetric decentrlization) bukanlah pelimpahan kewenangan khusus
yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empirik ia merupakan
strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang
hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertiwi. Melalui kebijakan
desentralisasi asimetris dicoba diakomodasituntutan dari identitas lokal
ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal
yang khas.[16]
C. KESIMPULAN
Akhirnya
sebagai asumsi terhadap pertayaan apakah asas desentralisasi asimetris sudah
selayaknya untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia ? Maka dapat dijawab berdasarkan dari konsep dan teori tersebut di
atas serta ditambah dengan fenomena yang ditimbulkan akibat dari implikasi
kebijakan UU No. 32 Tahun2004 terhadap stabilitas politik nasional dan demi
untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI dengan mengakomodasi kemajemukan bangsa
Indonesia, bahwa asas desentralisasi asimetris sudah selayaknya untuk segera
dirumuskan, ditetapkan dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini
adalah antara Presiden dan DPR untuk membuat kebijakan desentralisasi yang
asimetris dengan UU baru yang demokratis.
Pertimbangan
atau alasanya perlu diberlakukan asa desentralisasi asimetris di Indonesia
berdsarkan konsep dan teori di atas adalah konflik dan tuntutan separatisme,
letak ibu kota negara, sejarah budaya, perbatasan wilayah, pusat pengembangan
ekonomi, bersifat Jakarta sentris, pembagian kekayaan seeara tidak adil dan
merata, serta adanya kesenjangan sosial.
Sedangkan
untuk pertanyaan apakah asas desentralisasi asimetris merupakan yang paling
ideal dan realistis ? Maka berdasarkan fakta, konsep dan teori seperti yang
dijelaskan di atas tadi, dapat dijelaskan pada hakikatnya asas desentralisasi
asimetris adalah ideal, karena secara filosofis bahwa bangsa dan negara
Indonesia ini terbentuk adalah
berdasarkan pada atas kesepakatan bersama antar komponen bangsa yang heterogen
sehingga nantinya dapat dimplementasikan adanya suatu sistem pemerintahan
daerah yang akomodatif, aspiratif dan partisipatif dalam rangka untuk semakin
meningkatkan kesejahteraan sosial.
Masih
menurut analisa penulis, bahwa asas
desentralisasi asimetris itu idealis karena ia berdasarkan pada falsafah hidup
bangsa Indonesia yaitu Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara khususnya
dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Desentralisasi
asimetris dikatakan selain idealis juga realistis, karena melihat fakta
sejarah, kebudayaan, karakteristik dan watak dari bangsa dan negara Indonesia
yang beraneka ragam tercermin dalam bhinneka tunggal ika merupakan suatu
identitas nasional yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga sehingga
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daera sesuai dengan karakternya masing-masing
maka upaya percepatan pembangunan nasional maupun daerah akan semakin
mendekatkan kepada pencapaian tujuan negara seperti yang diamanatkan dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945 diantaranya adalah memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
D. PENUTUP
Penerapan
kebijakan antara asas desentralisasi simetris ataukah asimetris dalam rangka
untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah dalam wilayah kedaulatan NKRI
yang menjadi polemik pada dasarnya adalah untuk mencari solusi dan sekaligus
mengevaluasi kebijakan tersebut sehingga diharapkan akan dapat memilih,
merumuskan dan menetapkan untuk segera diimplementasikan pada tataran yang
lebih nyata pada tingkat daerah dalam wilayah pemerintahan nasional.
Jadi
implementasi kebijakan asas desentralisasi asimetris itu ideal dan realistis
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sebagai akselerasi dan
berkedudukan strategis yang bertujuan untuk mempercepat proses pencapaian
tujuan pembangunan daerah dan nasional dengan tetap memelihara prinsip
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sehingga dapat diantisipasinya
kemungkinan ada gerakan separatis di daerah-daerah yang rawan konflik yang
ingin memisahkan diri. Sebab jika tidak maka akan mengancam dan mengganggu
stabilitas politik nasional dan ketahanan nasional. Artinya dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien berasaskan
desentralisasi asimetris, maka ancaman disintegrasi nasional dapat dicegah
sehingga akan terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa semakin kondusif
sebagai salah modal pembangunan yang
berdampak positif terhadap
terjaminnya keutuhan wilayah NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Djohan,
Djohermasnyah. 2010, Dessentralisasi Asimetris Aceh, Jurnal Sekretariat
RI No. 15, Februari 2010.
Istianto,
Bambang. 2011, Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik,
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Kumorotomo,
Wahyudi dan Widaningrum,Ambar. 2010, Reformasi Aparatur Negara Ditinjau
Kembali, Yogyakarta: Gava Media dan JMKP & MAP UGM.
Kurniadi,
Bayu Dardias. Desentralisasi Asimetris Di Indonesia, Seminar di LAN
Jatinagor, 26 November 2012.
Nugraha,
Safri dkk. 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: CLGS-FH UI.
Srijanti,
HI. A. Rahman. SK. Purwato. 2009, Pendidikan Kewrganegaraan Di Perguruan
Tinggi Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Jakarta : Salemba Empat.
Tim
ICCE UIN Jakarta. 2003, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media.
[1] Safri Nugraha dkk., Hukum Administrasi Negara,Edisi Revisi, Centre For
Law And Good Governance Studies (CLGS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2007, hlm. 226-227.
[2] Agus Dwiyanto dalam Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali,
Penerbit: Gava Media,Yogyakarta,2010, hlm. 188-189.
[3]Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dalam Bambang Istianto, Manajemen
Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik, Penerbit: Mitra Wacana Media,
jakarta, 2011, hlm. 36.
[4] Cornelis dalam Bayu Dardias Kurniadi, Desentralisasi Asimetris Di
Indonesia, Makalah seminar di LAN Jatinagor 26 November 2012, hlm. 2.
[5] Ferrazi dalam ibid. hlm.3
[6] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta,
2003, hlm. 152-153.
[7] Syaukani dalam ibid. hlm. 154
[8] Loc. Cit., hlm. 7.
[9] Rondinelli dalam Op. Cit., hlm. 159.
[10] Rondinelli dalam Srijanti dkk.,Pendidikan Kewarganegraan Di Perguruan
Tinggi Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit: Salemba Empat, Jakarta,
2009, hlm. 191-192.
[11] Mawhood dalam Op. Cit., hlm.
163-164.
[12] JPP Fisipol UGM dalam Bayu Dardias Kurniadi, Op. Cit., hlm. 8-9.
[13] Agus Dwiyanto Op. Cit.,hlm. 187.
[14] James Madison dalam Bambang Istianto,Op. Cit., hlm. 36.
[15] De Tocqueville dalam ibid., hlm. 37.
[16] Djohermansyah Djohan, Desentralisasi Asimetris Aceh, Jurnal
Sekretariat RI No. 15, Februari 2010.
0 komentar:
Posting Komentar