The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

Rabu, 31 Mei 2017

KONSTITUSI DALAM PRESFPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Abstrak:
Hukum diciptakan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai  justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata-mata harus berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan dan kepastian hukum dalam  pergaulan seluruh warganya.

A.    Pendahuluan
Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional.[1] Sebaliknya kekuasaan negara harus pula dibatasi agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap warganya. Adapun yang dapat membatasi kekuasaan negara adalah hukum. Inilah yang disebut dengan negara hukum. Negara hukum dalam sejarahnya berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat.[2] Negara hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yakni menjamin prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku.[3]
Pengelolaan bernegara dalam suatu negara tidak terlepas dari konsep kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang dianut oleh negara tersebut. Dalam berbagai kajian tentang teori kedaulatan dalam bernegara, dikenal beberapa teori kedaulatan yaitu: teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Negara, teori kedaulatan Rakyat dan teori kedaulatan Hukum. Konsep kedaulatan suatu negara tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi negara bersangkutan. Menurut Ismail Sunny UUD1945 menganut teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Rakyat dan teori kedaulatan hukum.[4]
Teori kedaulatan hukum tidak dapat dilepaskan dari instrumen teori negara hukum. Hal ini karena menurut pandangan teori kedaulatan hukum bahwa yang berdaulat dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Selanjutnya dalam perkembangan hubungan antara  hukum dan negara hukum saat ini, teori negara hukum merupakan pilar utama dari kedaulatan hukum. Menurut Stahl, suatu negara hukum haruslah memenuhi empat unsur penting, yakni:[5]
b.      Adanya pembagian kekuasaan;
c.       Pemerintahan haruslah berdasarkan atas peraturan-peraturan hukum;
d.      Adanya peradilan administrasi.
Hukum diciptakan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai  justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan justisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit, bagaimana hukumnya itulah yang berlaku. Pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang dari ketentuan yang telah ada. Itulah yang diinginkan kepastian hukum.[6] Pada hakekatnya negara yang berdasar atas hukum adalah negara hukum.[7] Negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan yang menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata-mata harus berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan dan kepastian hukum dalam  pergaulan seluruh warganya.[8]
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Konsep seperti inilah yang disebut dengan negara moderen, yakni negara yang berdasarkan pada hukum, menjamin hak-hak asasi warganya sebagai bentuk penjaminan dan penghormatan harkat dan martabat manusia serta pelaksanaan berjalannya negara tersebut tertuang dalam konstitusi/UUD negara yang bersangkutan. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[9] Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.[10]
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[11]

B.     Permasalahan
Adapun yang menjadi topik permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana konstitusi dalam perpektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.

C.    Transformasi Norma Hukum HAM Untuk Mewujudkan Negara Demokrasi Yang Konstitusional

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
1.      Instrumen Hukum yang Mengikat
a.Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.

b.      Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
-          Hak hidup;
-          Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
-          Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
-          Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual;
-          Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
-          Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.

c.       Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)


Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
-          Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
-          Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
-          Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

d.      Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)


Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.

e.       Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik.
Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.

f.        Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)


Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.

g.      Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)

Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

h.      Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.

i.        Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )

Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.

2.      Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
a.      Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials)

Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan undang-undang.
b.      Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)

Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.

c.       Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa.

d.      Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women)

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini dasar penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

e.       Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)

Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai.
f.        Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )

Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
Namun demikian kesemua hak-hak yang diatur dalam declaration of human right merupakan induk dari hak-hak dasar yang mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyararakat. Hak dasar tersebut juga harus dijunjung oleh setiap negara, terlebih bagi negara-negara yang ikut menandatangani declaration of human right tersebut. Ketentuan ini bukanlah menempatkan hak asasi manusia pada posisi yang tertinggi dalam suatu negara, akan tetapi HAM merupakan satu dari bagian kewajiban negara.
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia, hal tersebut sangat mendasar sehingga harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara. Pancasila sebagai falsapah bangsa Indonesia secara tersirat telah merumuskan perlindungan HAM dalam sila-silanya, yaitu sila ke 2 dan sila ke 5, selanjutnya dicantumkan di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea ke 4 yang kemudian dijabarkan pada pasal-pasal  dalam UUD1945 sebelum di amandemen yaitu Pasal, 27, 28, 29, 30, 31 dan Pasal 33 setelah diamandemen lebih terperinci lagi pengaturan perlindungan HAM tersebut dalam BAB XA yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.[12]
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap bangsa demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut Kunarto hak asasi manusia adalah hal-hal yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut karena bersifat kodrati, artinya hak itu ada yang berakar pada eksistensi manusia dimana hal itu bertujuan untuk menjamin harkat dan martabat setiap manusia.[13] Sedangkan menurut H.A. Masykur Effendi, hak asasi manusia adalah setiap manusia individu dapat menikmati hak asasi manusianya. Manusia merupakan satu pribadi utuh dan dalam masyarakat adalah harkat/tidak hilang jati diri/kepribadian sebagai manusia, ia mempunyai hak atas dirinya sendiri lepas dari orang lain.[14]
Van Boven menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan suatu manifestasi dari tatanan masyarakat internasional, dan dengan demikian menyiratkan bahwa eksistensi hak-hak termasuk hak supra positif, mempunyai dasar kemasyarakatan seperti dikatakannya, “hak-hak ini melandasi rutinitas internasional”.[15]
Dengan berpedoman pada pengertian dari beberapa piagam internasional dan pendapat beberapa orang sarjana dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang hakiki dan tidak dapat dilanggar orang lain maupun negara.
Dari penjelasan di atas tersimpul adanya 2 pengertian dasar HAM, Pertama, HAM adalah hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut karena bersifat kodrati, artinya hak itu sendiri ada karena ia adalah manusia. Hak-hak itu adalah hak-hak moral yang berakar pada eksistensi manusia, dimana hak itu bertujuan untuk menjamin harkat setiap manusia. Kedua, HAM disini juga bermakna hak-hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembentukannya yang dianut oleh masyarakat itu sendiri baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Dasar dari proses itu adalah kesepakatan dari yang diperintah, atau kesepakatan para warga, yang tunduk kepada hak-hak tersebut.
Pada banyak bangsa dan/atau masyarakat, definisi dan pengertian tentang hak-hak semacam itu belum dapat diterima dalam lingkup substansi hukum mereka, karena mereka menganggap banyak masalah yang paling mendasar belum menerima jawaban yang final; apakah HAM sebagai pemberian Tuhan, moral atau hukum? Apakah akan disahkan berdasarkan intuisi, kebiasaan, teori kontrak sosial, asas keadilan distributif, atau sebagai prasyarat kebahagiaan saja. Apakah HAM dapat ditarik kembali, diubah seluruhnya atau sebagian, apakah berlaku luas atau terbatas saja?
Isu semacam itu selalu berkembang luas, diperdebatkan secara berkepanjangan dan terus menerus dan cenderung akan tetap begitu, sepanjang pendekatan-pendekatan yang bertentangan terhadap ketertiban umum masih ada. Pertentangan itu pada dasarnya dilandasi oleh tarik menariknya kekuasaan dan kekuatan antara yang kuat dan yang lemah yang disebabkan oleh tingkatan pemahaman atas keadilan dan kebenaran yang tidak sama, yang bersumber daya yang bersifat politis, ekonomis, sosiologis dan kultural.
Sejarah membuktikan bahwa semakin maju peradaban suatu bangsa maupun kehidupan warganya, maka pemahaman atas HAM akan semakin baik, karena mereka membutuhkan diletakkannya hak-hak dan kewajiban yang pasti dan memenuhi tuntutan kebenaran serta keadilan. Demikian juga halnya dengan HAM yang ada di Indonesia sejarah telah membuktikan perjalanan HAM sudah dimulai sejak awal  kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan saat ini.
Pasal 1 ayat (3) UUD1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Terlepas dari negara hukum dalam konsep rechtssaat maupun rule of law, pada dasrnya kedua konsep negara hukum tersebut berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan  perlindungan terhadap hak-hak dasar.[16] Konsekuensi lain dari negara hukum adalah negara tersebut merupakan negara demokrasi.
Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[17]
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1.      Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.[18]
2.      Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.[19]
3.      Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.[20]
4.      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu.[21]
5.      Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.[22]
6.      Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.[23]
7.      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat.[24]
8.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.[25]
9.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.[26]
10.  Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain.[27]
11.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.[28]
12.  Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.[29]
13.  Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat.[30]
14.  Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun.[31]
15.  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia.[32]
16.  Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya.[33]
17.  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum.[34]
18.  Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.[35]
19.  Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.[36]
20.  Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.[37]
21.  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.[38]
22.  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya.[39]
23.  Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah.[40]
24.  Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.[41]
25.  Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang.[42]
26.  Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.
27.  Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[43]
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.      Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
a.       Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.      Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.       Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
d.      Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.       Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.       Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
g.      Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
h.      Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.        Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j.        Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k.      Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.        Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m.    Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.
            Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2.      Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a.       Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b.      Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c.       Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
d.      Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e.       Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
f.       Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g.      Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
h.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
i.        Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
j.        Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k.      Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.
l.        Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
m.    Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.
3.      Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a.       Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
b.      Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c.       Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d.      Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
e.       Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.       Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
g.      Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).
4.      Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a.       Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b.      Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
c.       Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
d.      Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia.
Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.

D.    Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum telah melaksanakan perlindungan terhadap hak-hak asasi warganya, baik secara konseptual maupun secara aplikatif. Hal ini tergambar jelas dalam UUD1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, maupun dalam turunannya dalam bentuk Undang-undang. Keberadaan HAM bukan merupakan kebebasan tanpa batas, akan tetapi kebebasan HAM tersebut dibatasi oleh negara melalui instrumen Undang-undang. HAM bukanlah diatas segala-galanya akan tetapi perlindungan HAM  merupakan bukti eksistensi  suatu negara hukum

E.     Daftar Pustaka
Abu Daud Busroh dan Abubakar BusroAsas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi, Mandar Maju, Bandung, 2001

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999

H.A. Masykur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta,  1993

Hariyono dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans), Malang, 2013

Jean-Jaques Rosseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat), Dian Rakyat, Jakarta, 1989

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005

J.J. von, Schmid, Ahli-ahli Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana, Jakarta,  1985

Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial. Seri Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Rajawali, Jakarta, 1995
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, (diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka) PT. Pustaka Utama Grafindo, Jakarta, 1994

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) edisi keempat, Liberty,  Yogyakarta,  2002

Yonatan  Wiyoso dan Prawoto, Manifestasi Pancasila Dalam Pasang Surut Stabilitas dan Partisipasi Politik di Indonesia, Fokusmedia, Bandung, 2013










[1] J.J. von, Schmid, Ahli-ahli Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana, Jakarta,  1985, hal. 26
[2] Ibid.
[3] Untuk mewujudkan tujuan, negara tersebut harus memnuhi unsur petugas, kewenangan (tugas), menurut teori yang dikemukakan oleh Montesquieu (trias Politica) agar suatu pemerintahan berjalan dengan baik harus melakukan pemisahan kekuasaan, dan masing-masing kekuasaan harus mengawasi kekuasaan yang lainnya sehingga tiap kekuasaan tersebut menjadi balance.
[4] Hariyono dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press (Kelompok Penerbit Intrans), Malang, 2013, hal. 252-257
[5] Stahl, dalam Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro,  Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.112-113
[6] Ibid., hal 145
[7] Indonesia adalah negara hukum hal ini dapat dilihat Pasal. 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
[8] B. Arief Sidharta, Rule of Law (kajian kefilsafatan tentang negara hukum), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 123
[9] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[10] Jean-Jaques Rosseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat), Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hal. 36-38
[11] Jimly Asshiddiqie, op cit,  hal. 152-162
[12] Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemen Lengkap, Poliyama Widyapustaka, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 38-43
[13] Ibid.
[14] H.A. Masykur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta,  1993, hal. 47
[15] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, ( diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjaatmaka ) PT. Pustaka Utama Grafindo, Jakarta, 1994, hal. 2
[16] Anwar, Konsepsi Kedaulatan Dalam Membangun Negara Hukum Yang Demokratis dan Berketuhanan, Setara Press, Malang, 2013, hal. 259
[17] Ibid.
[18] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[19]  Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
[20] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[21] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[22] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[23] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[24] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
[25] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[26] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[27] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[28] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
[29] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[30] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[31] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
[32] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[33] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[34] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
[35] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
[36] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
[37] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua
[38] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika peru­musan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
[39] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan pe­nyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten­tang­an dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengu­rangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[40] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
[41] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perka­ta­an “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan me­lin­dungi....”
[42] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan un­dang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[43]  Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.