Jumat, 04 April 2014

BISNIS HUKUM DALAM PERADILAN


Oleh
Johansyah



Abstrak

Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.  Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Dalam mewujudkan tata kehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib diantaranya dilakukan melalui pembangunan nasional disegala bidang secara bertahap dan berkesinambungan yang diarahkan untuk membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur negara agar mampu bertindak efisien, efektif, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat pengabdian yang tinggi baik kepada negara maupun kepada warga masyarakat.  Akan tetapi walaupun pembangunan nasional tersebut hendak menciptakan suatu kondisi dimana setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana yang aman dan iklim yang tertib serta kepastian hukum yang beritikan keadilan, namun dalam pelaksanaannya ada kemungkinan dan bahkan sering terjadi benturan-benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara warga masyarakat  dan dengan aparatur negara itu sendiri, yang dapat merugikan dan menghambat jalannya pembanguna nasional.




A.    Pendahuluan.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib untuk menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang dan selaras  antara aparatur negara dan warga masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga – lembaga negara lainnya dalam melaksanalan tugasnya harus senantiasa berdasarkan atas hukum dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Selaras dengan semangat UUD 1945, negara hukum dimaksud bukanlah sekedar negara hukum dalam arti formil, yaitu negara hanya bertujuan untuk menjamin keserasian dan ketertiban sehingga tercipta stabilitas keamanan  dalam masyarakat. Negara baru bertindak apabila stabilitas keamanan terganggu.  Pengertian negara hukum menurur UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas yaitu negara hukum dalam arti materil, negara bukan saja menjaga stabilitas keamanan semata-mata, melainkan juga secara aktif ikut serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyatnya.  Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam mewujudkan tata kehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib diantaranya dilakukan melalui pembangunan nasional disegala bidang secara bertahap dan berkesinambungan yang diarahkan untuk membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur negara agar mampu bertindak efisien, efektif, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat pengabdian yang tinggi baik kepada negara maupun kepada warga masyarakat.  Akan tetapi walaupun pembangunan nasional tersebut hendak menciptakan suatu kondisi dimana setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana yang aman dan iklim yang tertib serta kepastian hukum yang beritikan keadilan, namun dalam pelaksanaannya ada kemungkinan dan bahkan sering terjadi benturan-benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara warga masyarakat  dan dengan aparatur negara itu sendiri, yang dapat merugikan dan menghambat jalannya pembanguna nasional. 
Di negara Republik Indonesia dasar hukum peradilan tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945, yang menyatakan :
  1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuar Mahkamah Konstitusi.
  3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila , demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Undang-undang dimaksud salah satunya adalah Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman. Dalam undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan pokok yang memberi perlindungan terhadap hak azazi manusia dalam peradilan sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam UUD 1945.
Untuk menjamin terlaksananya maksud tersebut sampai dengan mendapatkan hasil yang diharapkam perlu adanya aparatur Penegak Hukum  yang melaksanakan tugas dengan seadil-adilnya dan tidak memihak.
Pasal 2 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa,  Penyelenggaraan kekuasaan kehakimam dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnyadalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Uundang-Undang No 14 Tahun 1985 sebagai relisasi dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman, merupakan salah satu pelaksanan kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : Permohonan Kasasi, Sengketa tantang Kewenangan Mengadili, Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah mempunyai Kekuatan Hukum  tetap.

B.     Permasalahan.
Berdasarkan uraian – uraian tersebut diatas, maka  timbul suatu pertanyaaan, yaitu :   “Apakah Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 telah melakasanakan Tugas dan Wewenangnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”.  ?

C.    Pembahasan.
            Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Tap MPR No. IV/MPR/1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi krisis multi dimensi melalui reformasi di segala bidang kehidupan.  Di dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hukum dirumuskan sebagai bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya di perbagai bidang kehidupan.[1]
            Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran HAM dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wenangan yang terjadi selama ini.  Identifikasi kondisi umum tersebut secara singkat dapat digambarkan seperti sebagai berikut:
            Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial.  Di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan.  Tetapi di pihak lain peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan,, serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga gagasan tentang perlunya menegakkan supremasi hukum baru pada tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata.
            Kedua, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti KKN dan kejahatan ekonomi, keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum.  Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan kerancuan hukum yang acap terjadi, telah mengakibatkan terjadinya krisis hukum di hampir semua tingkatan.[2]
            Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.  Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan tersebut juga menggarisbawahi betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
            Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah kebijakan hukum yang harus dicapai adalah sebagai berikut:
  1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum.
  2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
  3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum dan menghargai HAM.
  4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang.
  5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan,, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
  6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari penguasa dan pihak manapun.
  7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
  8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah,, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas keadialan dan kebenaran.        
  9. Meningkatkan pemahaman kesadaran, perlindungan,, penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan.
  10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.[3]
Untuk selanjutnya dengan cara mengidentifikasi peta kekuatan,, kelemahan, peluang dan ancaman atau kendala yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, harus diajukan berbagai alternatif pemecahan guna meningkatkan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi.
Kelemahan pembangunan bidang hukum Indonesia saat ini sebenarnya sudah dapat diidentifikasi dari kondisi umum, visi dan misi, serta kebijakan di bidang hukum yang telah dirumuskan secara garis besar oleh perumus GBHN di atas.  Faktor-faktor yang sangat menonjol dari rumusan itu antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.                      Masih diperlukannya peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan hukum, kepastian dan keadilan hukum;
2.                      Perlunya peningkatan tekad dan kesungguhan aparaturr penegak hukum;
3.                      Masih adanya praktek campur tangan dalam peradilan, sehingga perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman perlu terus dilakukan;
4.                      Masih adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum;
5.                      Belum terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan kebenaran;
6.                      Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang HAM;
7.                      Masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas, meskipun tanpa melupakan kepentingan nasional;
8.                      Masih belum terwujudnya peradilan yang cepat, murah,, mudah, terbuka dan bebas dari KKN;
9.                      Promosi dan perlindungan HAM yang masih perlu ditingkatkan, termasuk penegakan hukum terhadap pelanggar HAM.[4]
            Mahkamah Agung yang berada di puncak institusi pengadilan yang mengemban tugas memberi keadilan kepada masyarakat (dispensing justice) terhadap keadaan hukum kita sekarang, memang sama sekali bisa dimengerti.    Tetapi, barangkali ada baiknya juga kalau kita mencoba memandangnya dengan pikiran yang berusaha untuk memahami kenapa keadaan menjadi seperti sekarang ini.  Dengan demikian, hasilnya adalah tidak lagi (hanya) “menghakimi” (judging), tetapi (juga) “mengerti” (understanding).  Dalam usaha untuk mengerti itu kita akan mengambil jarak dari praktik hukum dalam masyarakat sekarang ini dan menyelidiki apa yang sesungguhnya (sedang) terjadi.
            Hukum ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban dan memberikan keadilan.  Muncul pertanyaan, “hukum untuk masyarakat’ atau “masyarakat untuk hukum”?  Memilih yang pertama menimbulkan suasana yang dinamis, sedang yang kedua statis dan stagmant atau macet.  Kiranya cukup jelas, bahwa kemacetan tersebut terjadi karena masyarakat yang berubah itu dipaksa untuk dimasukkan ke dalam bagan-bagan hukum yang ada.  Tetapi, kendati kita memilih yang pertama, yaitu “hukum untuk masyarakat”, bagi suatu bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak sepenuhnya menjamin bahwa keadaan akan teratasi dengan baik.  Sebab pertanyaan yang kemudian bisa diajukan adalah “seberapa besar” perubahan dilakukan agar hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakatnya dengan baik?
            Perubahan sosial yang begitu besar dan terjadi dengan begitu cepat ingin ditunjuk sebagai faktor penting yang menyebabkan hukum sulit untuk mengakomodasikannya ke dalam sistem yang ada.  Persoalan-persoalan baru dan besar muncul yang secara kualitatif berbeda daripada sebelumnya.  Perubahan tersebut termasuk perubahan dalam (pola) perilaku.  Yang dapat diamati adalah misalnya, perilaku bangsa kita yang tampaknya makin cenderung berorientasi kepada keuntungan, atau dalam jargon sekarang, bersifat kapitalis.  Perilaku tersebut berpengaruh besar terhadap praktik-praktik hukum.[5]
            Kalau kita memilih strategi yang pertama, maka kita akan berbicara secara sistematis dan berencana tentang “pembangunan hukum”.  Kita menyadari, bahwa karena masyarakat berubah, maka hukum pun perlu dibangun agar mampu untuk mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut.  Siasat itu pulalah yang kita pilih, bahkan GBHN kita makin menyadari perlunya ada akselerasi dalam melakukan pembangunan tersebut dengan mengangkat kedudukannya dari subsektor menjadi bidang penuh.   
            Akan tetapi, kita juga baik mengambil sikap reserve, artinya berhati-hati, sebab mendapat kesempatan untuk membangun hukum tidak sama artinya dengan mendapat keleluasaan 100%, bahkan mungkin juga tidak 80% dari yang kita inginkan.  Jadi, sebaiknya kita tidak cepat bergembira dan puas dengan alokasi dalam GBHN tersebut, oleh karena kendala dan hambatannya juga tidak kecil.  Secara singkat hambatan itu digolongkan ke dalam yang bersifat teknis dan politis.
            Kalau kita mencoba berbicara lebih terbatas dalam ruang lingkup pengadilan, maka pembangunan yang dibutuhkan untuk bisa bersaing dengan dinamika masyarakat antara lain adalah:
(1)   memperluas pintu-pintu masuk ke pemberian keadilan,
(2)   menyediakan personel-personel dalam jumlah maupun kualitas yang diperlukan,
(3)   menyediakan sarana-sarana untuk menghadapi meluapnya tuntutan masyarakat,
(4)   membereskan aspek-aspek administratif dan prosedur.[6]
            Masalah idealisme, moral dalam hukum, kepercayaan kepada hukum, dan sebagainya tetap merupakan modal yang sangat penting dalam suatu negara berdasarkan hukum (NBH).  Namun demikian, Prof. Tjip selalu mengingatkan agar kita juga perlu mewaspadai hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum.  Salah satu kemungkinanny adalah bergesernya hukum menjadi “permainan” dan “bisnis”, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya derajat hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).   Harus diakui bahwa hukum sebagai peluang bisnis merupakan tren baru di dunia yang pertama kali muncul di Amerika Serikat dengan sebutan “Megalawyering”.  Praktik hukum seperti itu tak murni lagi menjalankan urusan hukum, karena ia menjalankan dua hal sekaligus, yakni sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis.  Dalam situasi dualistis tersebut, demikian tulis Marc Galanter, “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis ketimbang berusaha untuk meringankan penderitaan manusia dan menolong orang”.[7]
            Praktik hukum yang “berwajah jamak” seperti itu bukan semata monopoli orang Amerika Serikat, tapi sudah mengglobal dan merambah hampir ke semua negara Eropa dan tidak ketinggalan negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Dari sisi ini, Indonesia jelas mengalami tantangan yang berat, kalau ingin memilih untuk tetap berseberangan dengan semua praktik dan tren hukum yang berorientasi bisnis tersebut.  Tantangan itu semakin berat, karena legalisme yang ingin dibangun di Indonesia adalah “legalisme Pancasila” yang penuh dengan muatan moral, ketimbang “legalisme liberal” yang lebih mendukung kapitalisme dan liberalisme.
            Harus diakui pula bahwa pengadilan sebagai “jantung” hukum modern telah dihinggapi juga oleh “penyakit hukum yang bersifat teknologi” sehingga lebih berkonsentrasi pada hal-hal teknis dan menjauhkan dirinya dari wacana moral.  Akibatnya, ia cenderung melahirkan keadilan formal atau keadilan yuridis ketimbang keadilan substansial.  Oleh karena itu, biar bagaimanapun adilnya suatu putusan hukum, tetapi kalau sang hakim tidak bekerja sesuai prosedur, maka putusan yang bagus dan adil itu pun rawan terhadap gugatan, karena dinilai “cacat hukum” atau “cacat prosedur”.  Sebaliknya, sekalipun suatu putusan hukum “tidak adil”, tetapi karena proses yang ditempuhnya sudah betul, maka status putusan tersebut lebih aman daripada putusan yang adil tetapi “cacat prosedur”.
            Ketika kita dihadapkan kepada kekecewaan mengenai praktik hukum tersebut, tetapi disisi yang lain Prof. Tjip justru melihat adanya unsur irasional berupa “kepercayaan” dari masyarakat terhadap hukum itu ternyata tidak surut.  Itu sebagai pertanda bahwa sekalipun praktik-praktik hukum yang negatif itu bisa menggugurkan penerimaan secara irasional ternyata tidak pernah gugur.  Dari sini kita harus mengakui bahwa ternyata ukuran obyektif-rasional dalam hukum itu tidak berarti segalanya, karena masih harus ditentukan oleh kekuatan “irasional-primordial” di luar dirinya yang muncul dalam bentuk “kepercayaan”.  Adanya kekuatan irasional-primordial itulah yang menyebabkan hukum tetap bertahan hingga kini, sekalipun ada begitu banyak kekurangannya, baik dilihat dari cara kerja pengadilan, pembuatan undang-undang, maupun penegakan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparatnya.
            Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat itu jangan lalu disia-siakan begitu saja oleh para arsitek hukum dalam menjalankan hukum.  Langkah yang paling pertama dan utama untuk membangun kepercayaan itu adalah dengan melakukan perubahan “Paradigma” hukum yang selama ini dipakai, yakni dari “Paradigma Formal ke Paradigma Substansial”.  Dengan begitu’ para penegak hukum tidak sekedar “menjalankan hukum” secara prosedural semata, tetapi menggunakannya dengan penuh determinasi untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.  Proses perubahan paradigma ini dapat terwujud, menurut Prof. Tjip, sangat ditentukan pula oleh perilaku “Pemerintahan yang tidak bohong”.
            Berbicara soal karaateristik kekuasaan, Prof. Tjip berpendapat bahwa negara modern yang sentralistis, monopolistis, dan birokratis, cenderung memiliki kekuasaan yang berwatak jahat, seperti cenderung korup dan melakukan tindakan- tindakan  kekerasan yang lain.  Orang sering berpendapat bahwa begitu datangnya orde hukum, maka sekalian praktik  yang menggunakan kekkuasaan “telanjang” menjadi berhenti atau ditabuhkan sama sekali.  Tetapi, optik sosiologis justru menemukan bahwa kekuasaan itu tetap ada  secara laten dan pada saat – saat tertentu dapat muncul kembali dengan menggunakan hukum sebagai “selimutnya”.   Mengikuti jalan pikirannya Lord Acton, Prof. Tjip berpendapat bahwa kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktik-praktik negatif.
            Karakteristik seperti itu justru berseberangan dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk, baik dilihat dari segi geografis, etnis, maupun sosiologis.  Itulah sebabnya, Tjip berpendapat bahwa rasanya sulit untuk membangun suatu negara yang bersifat “kekeluargaan” andaikata kekuasaan berwatak jahat seperti itu.  Menurut Tjip, agar dapat berhasil membangun negara kekeluargaan dan dengan demikian dapat menghindari watak-watak yang jahat dari kekuasaan sebagaimana diuraikan di atas, maka suatu kekuasaan minimal memenuhi criteria-kriteria seperti:
(a)    kekuasaan harus berwatak mengabdi kepada kepentingan umum,
(b)   kekuasaan harus melihat kepada lapisan masyarakat yang susah,
(c)    kekuasaan harus selalu memikirkan kepentingan publik,
(d)   kekuasaan harus kosong dari kepercayaan subyektif,
(e)    kekuasaan harus bersifat mengasihi.
            Tidaklah salah apabila orang berharap banyak terhadap hukum, karena negara ini memanglah negara berdasarkan hukum.  Tetapi, celakanya, hukum kita belum banyak memenuhi harapan tersebut.  Aspek moral (dari dan dalam) hukum.  Kehadiran moral dalam hukum dilambangkan oleh “keadilan”, yang dikenal sehari-hari melalui “pengadilan”.  Kehadiran moral dalam hukum, oleh karena dengan rasa keprihatinan kita melihat betapa di sekeliling kita moral dan keadilan itu sudah banyak digusur oleh kepentingan dan pertimbangan politik serta ekonomi.
            Ditengah hiruk-pikuk industrialisasi, pembangunan, dan sebagainya, orang Indonesia menjadi sangat sibuk dengan urusan dunia dan materi.  Sasaran utama pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Dalam keadaan seperti itu, keadilan yang melambangkan kehadiran moral dalam hukum terdengar seperti suara yang dating dari dunia lain.  Tempatnya sangat tinggi cum ideal.
            Barangkali orang sekarang akan mengatakan, bahwa bicara mengenai keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah kuno,, karena hukum modern memang sudah makin berwatak teknologi.  Teknologi inilah yang kita pakai untuk menyelesaikan masalah tanah, perburuhan, yang sangat erat kaitannya dengan pembangunan.  Hukum modern yang menekankan pada struktur rasionalnya, pada prosedur dan format, memang memungkinkan sekalian hal tersebut terjadi dan berlangsung sebagai sesuatu yang “lumrah”. 
            Apabila pengadilan boleh kita sebut sebagai jantung hukum dalam suatu negara berdasarkan hukum, maka “penyakit teknologi” sudah masuk juga ke situ.  Teknologi di sini adalah teknologi untuk memenangkan perkara dengan berkonsentrasi pada hal-hal teknis yang memang disediakan oleh hukum.  Ini merupakan penyakit yang melekat kepada institusi hukum modern di mana pun di dunia. Oleh sebab itu, semakin tinggi kepercayaan orang kepada hukum (modern), semakin canggih pula permainan teknik di situ.
              Seorang mantan hakim, Harold Rothwax, telah menulis buku berjudul Guilty-The Collapse of The Criminal Justice SystemMenurut Rothwax, di Amerika orang tidak lagi mencari keadilan, melainkan mencari kemenangan dengan segala cara.  Hal itu terakhir kita lihat terjadi dalam kasus O. J. Simpson yang disebut-sebut sebagai “Pengadilan Abad Ini”.  Para pengacara Simpson yang handal dan mahal bukan berkonsentrasi untuk membuktikan ketidaksalahan Simpson, melainkan pada kecerobohan polisi.  Dengan cara itu Tim Advokat Simpson telah berhasil mempengaruhi para juri.  Memang bukan sekali itu saja sistem peradilan Amerika digugat.
            Suatu gugatan yang lebih sistimatis dan kaya dengan pengalaman, telah dilakukan oleh advokat senior Gerry Spence dalam bukunya With Justice for none (1989).
            Maka, kita di Indonesia baik berhati-hati untuk tidak terjebak ke dalam mesin peradilan yang diciptakan oleh sistem hukum modern itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran hakim-hakim yang “bernurani kuat”, sangat dibutuhkan untuk menjinakkan hukum yang sudah menjadi tehnologi dan pengadilan yang sudah makin menjadi mesin itu.  Menjadi negara hukum yang baik itu perlu, tetapi untuk itu kita tidak perlu menyerahkan hidup kita kepada mesin.
            Hukum modern yang sudah menjadi teknologis itu juga menjauhkan dirinya dari wacana moral.  Dalam suasana keadaan seperti diuraikan di atas, hal itu adalah logis.  Keadaan tersebut juga menjadi dadakan bagi munculnya berbagai aliran hukum, seperti aliran-aliran “Minimalis” dan “Idealis”.[8]
            “Aliran Minimalis” mengatakan, bahwa hukum sudah dijalankan apabila peraturan-peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ.  Ini adalah tampang hukum sebagai teknologi.
            Sedang “Aliran Idealis” berpendapat, bahwa menerapkan peraturan begitu saja tidak cukup, melainkan kita juga perlu memikirkan nilai-nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum dan yang tidak dengan mudah dibaca dalam peraturan.  Hukum bukan semata-mata teknologi, melainkan sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral.
            Sejak hukum modern sudah menjadi sangat teknologis, maka ia sangat memberi peluang bagi terjadinya pengebirian hukum dari kandungan moralnya.  Sebab menegakkan atau menjalankan hukum dapat menjadi senonim untuk menjalankan peraturan semata.  Keadilan sudah ditegakkan dengan menjalankan peraturan.  Ganti rugi yang sudah diputus oleh lembaga pengadilan tertinggi dibatalkan, polisi harus meloloskan pengedar pil-pil ekstasi, undang-undang yang “salah” tidak dapat digugat.  Sekalian contoh tersebut menunjukkan ketidakmampuan hukum untuk memberikan dan menegakkan keadilan secara substansial, oleh karena dibelenggu dan dikebiri eksistensinya sebagai institusi moral dan pelindung serta penjaga moral bangsa. 
            Kita memang bersyukur bahwa dalam GBHN hukum sudah dinaikkan menjadi bidang yang berdiri sendiri.  Memang sejak saat itu suatu kegairahan baru, bahkan suatu eforia muncul dikalangan hukum.  Banyak orang ikut memperkuat pendapat, bahwa sudah waktunya hukum itu diberi kesempatan mengarahkan proses-proses sosial, politik, ekonomi secara lebih tertib.
            Kendati demikian, keadaan tidak segera membaik dan segera kita menyadari, bahwa untuk membangun hukum, tidak hanya bidang yang langsung berhubungan dengan hukum yang harus digarap, melainkan lebih luas daripada itu, seperti kekuasaan politik dan budaya bangsa.  Untuk itu perlu diajukan gagasan untuk juga mewaspadai kemungkinan perkembangan hukum yang berbeda dengan yang kita cita-citakan.
            Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan membarikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat.  Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat. 
            Yang disebut sebagai pikiran naïf  dimuka adalah yang melihat hukum semata-mata secara etis dan moralis, yang melihat hukum sebagai dewa penyelamat bagi ketidakadilan, kebobrokan, dan kejahatan di dunia ini.    Idealisme, moral dalam hukum, kepercayaan kepada hukum dan sebagainya, tetap merupakan modal yang sangat penting.  Namun demikian,, sebaiknya kita juga dapat memahami lebih baik mengenai hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum.
            Salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud permainan disini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri.  Dengan demikian, tujuan hukum untuk memberikan keadilan (dispensing justice) telah mengalami kemerosotan menjadi permainan.  Hukum modern sebagai tipe hukum yang memberikan pengaturan positif secara luas, yang memberikan sarana untuk melakukan berbagai upaya hukum, melindungi individu, dapat berbalik menjadi alat untuk menyalurkan kepentingan pribadi yang aman menurut hukum.  Inilah perumpaan hukum sebagai “gerobak” tersebut di atas.  Di Indonesia, hal itu dapat dilihat pada tren penggusuran perkara ke atas dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian meminta kasasi ke Mahkamah Agung.  Barangkali para advokat tidak dapat mengendalikan nasabahnya untuk menyerah dengan mengatakan, bahwa secara hukum posisinya memang sudah payah.  Tetapi, nasabah juga tidak dapat disalahkan begitu saja, karena mereka diberitahu adanya upaya hukum banding dan kasasi.
Disamping itu pula, menurut pendapat Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM, dalam bukunya yang berjudul : “Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah”,  yang mengatakan bahwa banyak sekali kebiasaan-kebiasaan kita yang tidak pernah terlintas dibenak orang-orang barat, dibidang hukum misalnya, tidak pernah terbayangkan oleh mereka kalau di Indonesia merupakan soal biasa saja pengacara mendatangi hakim, kemudian membicarakan soal perkara yang sedang mereka tangani.. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku bertajuk Menyikap Tabir Mafia Peradilan memberikan gambaran bagaimana pola korupsi di Mahkamah Agung, lembaga hukum tertinggi di Indonesia. Ada delapan perilaku korupsi di Mahkamah Agung, yaitu melalui :  Surat Sakti, Pemerasan, Vonis Yang Tidak Bisa di Eksekusi, Makelar Perkara, Pengaburan Perkara, Pengaturan Majelis Hakim Yang Menguntungkan, Pemalsuan Vonis dan Penyuapan.[9]
            Dengan demikian, upaya hukum itu sudah tidak lagi menjadi upaya untuk memperjuangkan keadilan, tetapi untuk mencari menang.  Dan, kalau yang dicari adalah kemenangan, maka segala cara tentunya juga akan ditempuh.  Keadaan yang demikian itu menimbulkan suatu ironi besar,  Ironinya adalah, bahwa justru semakin maju dan canggih praktik hukum, semakin besar pula peluang untuk mendaya gunakan hukum secara “anti keadilan” itu.  Dengan demikian, perangkat hukum, proses hukum, dan sekalian personelnya, justru dimobilisasi kecanggihannya, untuk hanya melayani keinginan dan kepentingan sendiri.   Orang sudah menggunakan hukum dan pengadilan tidak untuk mencari keadilan, tetapi mencari menang.
            Hubungan antara hukum sebagai suatui permainan dan hukum sebagi bisnis cukup dekat.  Menjalankan hukum sebagai bisnis itu memang tidak “sejahat” menjalankannya sebagai suatu permainan, tetapi tetap saja tujuan hukum untuk mendatangjkan keadilan menjadi melenceng.  Hukum sebagai bisnis juga merupakan tren baru.  dimana praktik hukum itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak murni menjalankan urusan hukum, melainkan “sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis”.
“Sebagai contoh kasus yang tejadi di dunia peradilan  Indonesia saat ini, yaitu Kasus Suap atas laopran pengusaha Probosutedjo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bagir Manan,  dimana dalam kasus tersebut Probosutedjo melalui Pengacaranya Harini Wiyoso yang adalah juga Mantah Hakim Tinggi di Yogyakarta untuk mengurus perkara pidananya di tingkat kasasi yang menghabiskan uang untuk suap ke Mahkamah Agung sebesar Rp. 800 juta, sebelumnya Probosutedjo juga sudah menghabikan uang miliaran rupiah     demi bebas dari hukuman atas perkara korupsi dana reboisasi sebesar Rp. 100.93 Miliar, Ia berharap Majelis Hakim yang di Ketuai oleh Bagir Manan dengan anggota Suparman dan Usman Karim membebaskanya.”[10]
Dari contoh kasus tersebut dapat diartikan bahwa, “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis, praktik hukum seperti itulah yang pelan-pelan mulai menyebar dan mendominasi dunia hukum dewasa ini.  
            Dalam membangun hukum, seperti diamanatkan dan dirumuskan dalam GBHN, sebaiknya kita belajar dari hal-hal yang negatif yang dipertontonkan di panggung dunia.  Cita-cita pembangunan hukum dan UUD kita sarat dengan muatan-muatan moral dan keadilan material.  Cita-cita seperti itu baik sekali untuk menjadi benteng bagi kemerosotan kualitas penyelenggaraan hukum di dunia.  Namun, mewujudkan cita-cita tersebut sama sekali juga tidak ringan karena harus berhadapan dengan tren yang makin pragmatis dan ekonomis.        

D. Penutup.
Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di Indonesia merupakan instrumen terpenting dalam upaya pencarian keadilan dan kebenaran, dan bukan sekedar sebagai tempat dimana hukum formal berproses.  Dalam Konteks negara hukum, seyogyanya Mahkamah Agung menjadi sarana terpital dalam peradilan, sesuai dengan azasnya, Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tentunya yang kita harapkan adalah agar Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjadi “Filter” untuk menepis berbagai kinerja buruk yang masih berlangsung baik lembaga Mahkamag Agung itu sendiri, maupun yang masih berlangsung dinstansi penegak hukum lainnya. Kasus Suap oleh pengusaha Probosutedjo yang melibatkan Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, membuktikan bahwa hukum, paling tidak law enforcement belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Harapan-harapan yang demikian telah mebersitkan cahaya pengharapan , semoga saja tidak semakin pudar, tetapi semakin hari semakin cemerlang, indikatornya :
  1. Para Hakim Agung baru sudah merupakan hasil fit and proper test si DPR RI.
  2. Dibutuhkam sosok Hakim Agung yang besar kepeduliannya untuk memperbaiki citra pranata hukum tertinggi, yang berwawasan luas, memiliki kedalaman ilmu hukum, mempunyai kedekatan dengan rasa keadilan rakyat banyak, dan tidak berkiblat pada kepentingan politik partai atau golongan tertentu.[11]
Akhirnya, agar perilaku aparat penegak hukum, mencakup : Polisi, Pengacara, Jaksa, dan Hakim, dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat, dengan cara menjalankan tugasnya lebih banyak bertanya pada hati nurani, bukan berdasarkan kepentingan pribadi (bisnis), kembalikan hukum pada akar moralitas dan relegius. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang filsof bernama Taverne : “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun, saya akan menghasilkan putusan yang adil”.









Daftar Pustaka.
  1. Prof. Dr. Achmad Ali, SH. M.H.  Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002.
  2. Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala DaerahGhalia Indonesia. Jakarta. 2003.
  3. Prof. Dr. Muladi, SH.  Demokratisasi, Hak Azazi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta. 2002.
  4. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.  Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Kompas. Jakarta. 2003.
  5. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman  (UU No 4 Tahun 2004). Sinar Grafika. Jakarta. 2004.
  6. Majalah Tempo. Edisi Khusus Setahun Pemerintahan SBY-JK. Edisi 24-30 Oktober 2005.
  7. Majalah Gatra. No 50 Tahun XI. 29 Oktober 2005.

















[1] Ketetapan-Ketetapan MPR 1999. Sinar Grafika. Jakarta. 1999
[2] Prof.Dr. Muladi, SH. Demokratisasi Hak Azazi Manusia Dan Reformasi Hukum Di Indonesia.  The Habibie Center. Jakarta. 2002. hal. 3.
[3] Prof.Dr. Muladi, SH. Ibid. hal. 4.
[4] Prof. Dr. Muladi, SH. Ibid. hal. 10.
[5] Prof.Dr. Satjioto Rahardjo, SH. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Kompas. Jakarta. 2003. hal. 44.
[6] Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Ibid. hal. 45.
[7] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Ibid. hal. 52.
[8] Prof.Dr. Satjipto Rahardjo. Ibid. Hal. 58.
[9] Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003. hal. 13.
[10]Majalah Tempo Edisi 24-30 Oktober 2005. hal. 132. Dan Majalah Gatra No 50 Tahun XI . 29 Oktober 2005. hal. 86.
[11] Pror. Dr. Achmad Ali, SH. M.H. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002. hal 22.

0 komentar:

Posting Komentar