ABSTRAK
Dalam prakteknya
kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak
prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak
dapat diganggu oleh pihak lain. Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan
sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat
mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang
lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh
kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam
bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga
dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada
lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya.
Sistem pemerintahan negara-negara modern
berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban
publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan
dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam
praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi
bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tuntutan reformasi dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia adalah diamandemennya UUD 1945. Dengan mengamandemen
Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia diharapkan mampu mewujudkan sistem
ketatanegaraan yang baru menuju Indonesia yang menghormati hak-hak rakyat
sipil.
Pensakralan UUD 1945 itu sudah mulai sejak Orde
Lama dan dilanjutkan bahkan diperkuat di era Orde Baru untuk pelanggengan
kekuasaan, terutama kekuasaan Presiden. Memang ada pasal-pasal UUD 1945 yang
cenderung memberikan kekuasaan cukup besar kepada Presiden. Oleh karena itu
selama kurun waktu tertentu pembicaraan mengenai amandemen UUD 1945 tidak
pernah secara terang-terangan muncul kepermukaan, sebab pemikiran semacam itu
tidak popular dan dianggap hanya mengganggu kehidupan ketatanegaraan.
UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat yang
pelaksanaannya didasarkan pada UUD, dengan sistem pemerintahan Presidensil.
Dalam pemerintahan Presidensil, Presiden diserahi mandat untuk memegang
kekuasaan tertinggi pemerintahan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan
kekuasaan itu kepada MPR.
Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan
objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan. Didalamnya terkandung
konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan
negara.[1]
Mengenai kedaulatan rakyat itu diatur dalam Pasal
1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD. Dalam pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan
kepada lembaga-lembaga negara, yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi
Pemilihan Umum (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Kepolisian Negara RI (POLRI).[2]
Disamping kedudukan dan tugas sebagai Kepala
Negara, Presiden juga adalah Kepala Pemerintahan yang memimpin dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Presiden dalam
kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai kedudukan
sebagai Pimpinan Nasional, dan kepemimpinannya mempunyai jalur perwujudan baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara, Presiden mempunyai
hak-hak prerogatif selain mempunai kewenangan ke dalam juga kewenangan dalam
hubungan keluar yang terdapat dalam UUD 1945. berdasarkan kedudukan dan
kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara, harus dalam konteks kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan menurut UUD 1945.
Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara
yang tertinggi dan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara kekuasaan dan
tanggungjawab adalah di tangan Presiden. Pemberhentian maupun pengangkatan menteri
yang telah terjadi selama ini merupakan salah satu contoh yang menyebabkan
timbulnya permasalahan mengenai hak prerogatif. Secara hukum pemberhentian dan
penggantian itu merupakan kewenangan Presiden sebagai pemegang hak prerogatif
tersebut. Peristiwa ini kemudian memunculkan penilaian, bahwa selama ini hak
prerogatif bukan murni dilaksanakan untuk memenuhi tugas kewajiban
Konstitusional Presiden, tetapi sering dipergunakan sebagai imbal jasa politik,
artinya diberikan sebagai hadiah kepada mereka yang secara politik berjasa
kepada Presiden, karena telah memberikan dukungan kuat ketika pencalonan
Presiden.
Dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara itu setelah dilakukan amandemen UUD 1945 tidak menjadi
kewenangan penuh Presiden, semuanya itu harus didasarkan pada undang-undang
(Pasal 17 ayat (4) UUD 1945). Sehingga tidak terjadi lagi pembubaran suatu
kementerian negara secara sepihak oleh Presiden.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana Hak Prerogatif Presiden ssebelum
dan setelah Amandeman UUD 1945?
2. Bagaimana pergeseran Hak Prerogatif
Presiden ?.
C. Metode Penelitian
Penelitian
ini
menggunakan metode
penelitian
yang termasuk jenis penelitian
normatif.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hak Prerogatif
Hak prerogatif Presiden yaitu hak
istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta
persetujuan lembaga lain.[3] Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran
pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan
yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.
Tugas pokok pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat,
bukan hanya melaksanakan undang-undang. Untuk itulah dalam konsep negara hukum modern sekarang ini
terdapat suatu lembaga kewenangan yang disebut Freises Ermessen, yaitu suatu
kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di
dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat
tersebut. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam
bidang pemerintahan implikasi freises ermessen ini ditandai dengan adanya hak
prerogatif.
B. Perubahan Konstitusi
Menurut Sri Soemantri kata mengamandemen Konstitusi/UUD sama dengan
mengubah Konstitusi/UUD. Pendapat beliau didasarkan pada arti mengubah UUD yang
dalam bahasa Inggris berarti to amend the constitution, sedangkan kata
perubahan Konstitusi/UUD berarti constitution amandement. Dengan demikian
menurut Beliau, mengubah Konstitusi/UUD dapat berarti dua, yaitu pertama
mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam Konstitusi/UUD dan kedua menambahkan
sesuatu yang belum diatur dalam Konstitusi/UUD.[4]
Biasanya yang menyusun
Konstitusi adalah Konstituante. Konstituante ini adalah suatu badan yang
dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilihan umum
1955 yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula
Konstitusi disusun oleh badan yang sejenis dengan Konstituante, walaupun
mungkin bukan hasil pemilihan umum, umpamanya, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang menyusun UUD 1945.
Konstituante atau badan yang
sejenis dengannya itu terdiri dari kelompok manusia, maka Konstitusi itu adalah
hasil karya mereka. Sebagaimana layaknya setiap hasil karya manusia, walaupun
yang membuatnya tergolong ahli, Konstitusi itu tidak mungkin sempurna dan tidak
pula akan pernah berlaku seterusnya tanpa perubahan. Ketidak sempurnaan suatu
Konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama Konstitusi itu adalah hasil
karya yang bersifat kompromi, kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri
sangat terbatas. Karena Konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang
tidak mungkin berbeda-beda, maka hasil karya mereka itu yaitu Konstitusi
merupakan hasil kompromi dari berbagai aliran dan kepentingan.
Dilihat dari sudut
keterbatasan manusia, maka hasil karya yang bernama Konstitusi itu tidak akan
sanggup mengatur setiap masalah yang akan menjangkau jauh ke depan. Konstitusi
itu pada kurun waktu tertentu dianggap sempurna, tapi di lain waktu mungkin
dirasakan tidak lagi memadai, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat. Maka Konstitusi yang sudah tidak dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan masyarakat akan
mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan Konstitusi
dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah dirasakan perlunya suatu
Pasal dan setiap Konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan.
Berbagai cara dalam praktek dapat ditempuh untuk
merubah suatu Konstitusi/UUD, tergantung kepada substansi Pasal perubahan di
dalamnya. Tetapi sesuai dengan pembagian Konstitusi, rigid dan fleksibel, maka
sudah barang tentu bagi Konstitusi yang tergolong fleksibel jauh lebih mudah
untuk merubahnya. K.C. Wheare mengatakan perubahannnya cukup dengan the
ordinary legislatif process. Sedangkan untuk Konstitusi yang tergolong rigid,
menurut Sri Soemantri yang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara
perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan
permasalahan-permasalahan tertentu
2.
Oleh rakyat dengan suatu referendum
3. Oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk
negara serikat
4. Dengan kebiasaan ketatanegeraan, atau
untuk suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan
perubahan.[5]
Menurut
Ismail Suny, bahwa proses perubahan Konstitusi dapat terjadi dengan berbagai
cara, karena:[6] Perubahan resmi, Perubahan hakim dan
Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan,
kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada.
Sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan
tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan ketatanegaraan, maka
ketentuan tersebut menjadi huruf mati. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan
tersebut kemudian akan berlaku kembali, jika kebiasaan ketatanegaraan itu
ditinggalkan.
C. Kekuasaan Presiden
Kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : kekuasaan
yang diperoleh secara atributif dan kekuasaan yang diperoleh secara derivatif.
Perolehan kekuasaan secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan
kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan
yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk)
dan pembentukan kekuasaan secara atributif menyebabkan adanya kekuasaan
baru. Sedangkan kekuasaan secara derivatif disebut pelimpahan kuasa, karena
dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain dan sifatnya
derivatif (afgeleid). Kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan
atau diderivasikan kepada pihak lain.
Kekuasaan yang diperoleh
secara atributif melalui UUD 1945 juga dimiliki oleh Presiden selaku kepala
pemerintahan (eksekutif) dan selaku Kepala Negara. Kekuasan Presiden yang
diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan secara teoritis hanya dapat dilaksanakan
oleh Presiden dalam fungsi selaku kepala eksekutif.
Ditinjau
dari sumber formalnya, kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu: kekuasaan yang berdasarkan UUD 1945, kekuasaan yang berdasarkan
ketetapan MPR dan kekuasaan yang berdasarkan undang-undang. Menurut Suwoto Mulyosudarmo untuk menentukan
kekuasaan yang diperoleh secara atributif yang dilaksanakan dalam tugasnya
selaku kepala eksekutif, adalah:[7] Sifat kekuasaan yang asli, Sumber formal
yang utama, untuk jenis kekuasaan ini adalah UUD 1945 dan Undang-undang,
Kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan tugas selaku kepala pemerintahan
adalah:
1.
Kekuasaan membuat undang-undang yang meliputi kekuasaan
mempersiapkan dan mengusulkan pembentukan undang-undang dan menetapkan
undang-undang.
2. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang
3.
Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
4.
Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
Pembuat UUD 1945 mengatur
secara rinci macam substansi yang harus ditetapkan dengan bentuk UU. Substansi
yang harus ditetapkan dengan UU, menurut pembuat UUD 1945 adalah:[8]
a.
Menyatakan keadaan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
b. Menetapkan syarat-syarat dan akibat negara
dalam keadaan bahaya dalam bentuk UU.
c. Menetapkan dan menyusun Anggaran
Pendapatan Negara dan Belanja Negara yang dimintakan persetujuan kepada DPR.
d. Menetapkan segala macam pajak untuk
keperluan negara dengan undang-undang.
Kekuasaan atributif Kepala Negara digunakan untuk kepanjangan
kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan yang
bersifat atributif Kepala Negara itu adalah:
a. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
b.
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya,
Presiden tidak perlu minta persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Namun syarat
dan akibat keadaan bahaya harus diatur dengan undang-undang. Ini berarti
memerlukan persetujuan DPR.
c.
Presiden mengangkat duta dan konsul, serta menerima
duta dari negara lain.
d.
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi.
e.
Presiden memberi gelar, tanda jasa kepada orang yang
berjasa pada bangsa atau negara.
HAK PREROGATIF PRESIDEN
A. Hak Prerogatif Menuurut UUD 1945 (Sebelum Amandemen)
Untuk melihat
pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam ketiga UUD yang pernah
berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini dijelaskan mengenai sejarah singkat
ketiga UUD tersebut beserta ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai
Hak Prerogatif Presiden.
Pada masa
pendudukam Japang di Indonesia, yaitu pada tanggal 29 April 1945 dibentuk suatu
badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, yang mulai bekerja pada
tanggal 28 Mei 1945 dan telah melakukan sidang dua kali, yaitu dari tanggal 29
Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dan dari tanggal 10 sampai 17 Juli 1945.
Pada tanggal
16 Juni 1945 Badan Penyelidik menyetujui rancangan UUD untuk negara Indonesia
merdeka dan pada tanggal 9 Agustus 1945 oleh pemerintah Jepang dibentuk badan
baru yang dinamakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan bertugas
menentukan UUD dan hal-hal lain untuk persiapan kemeerdekaan Indonesia. Belum
sempat panitia ini menjalankan tugasnya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Japang telah
menyerah dan dinyatakan kalah perang oleh sekutu, sehingga tugas dari panitia
ini tetap dilanjutkan dibawah kendali bangsa Indonesia sendiri yang dipimpin
oleh Soekarno dengan menanbah anggotanya yang berasal dari perwakilan nasional
dari bangsa Indonesia. Termasuk ketua dan wakil ketua PPKI menjadi 27 orang
yang berasal dari seluruh tanah air dan mewakili segala lapisan bangsa Indonesia .[9]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945. Pada tanggal 16 Juli dari Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan beberapa
perubahan. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Sembilan yang dibentuk dengan
Ketuanya Bung Karno.
Dalam batang
tubuh UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif Presiden,
yaitu:
(1) Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 : Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Fungsi Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut
PP) yang dimaksud ini adalah untuk mengatur pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang telah lebih dahulu tercantum dalam undang-undang. Tegasnya PP ini dibuat
oleh pihak eksekutif yaitu Presiden. Mungkin dalam suatu undang-undang yang
dibuat oleh DPR bersama pemerintah sesuatu hal tidak secara terperinci diatur,
sehingga untuk pelaksanaannya harus diatur dan diperinci lagi di dalam PP
tersebut. Dalam hal ini, instansi pembuat undang-undang pusat menyerahkan
kekuasaan perundang-undangan kepada instansi eksekutif untuk mengatur
selanjutnya hal yang dimaksud dalam PP sebagai pelaksanaan dari undang-undang.
(2) Pasal 10 UUD 1945 : Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Menurut penjelasan UUD 1945, kekuasaan yang
tersebut dalam Pasal 10 UUD 1945 tersebut termasuk konsekuensi dari kedudukan
Presiden sebagai kepala negara. Kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan
sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan
Presiden sebagai Kepala Negara dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut di
atas adalah bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan
perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
(3) Pasal 11 UUD 1945: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Dari ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas diketahui
apakah akan perang ataupun damai dengan negara lain, rakyat turut menentukannya
lewat perwakilannya di DPR. Ini sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengingat pula
bahwa resiko perang maupun damai pada hakikatnya terpikul dipundak rakyat.
Perang, damai dan membuat perjanjian adalah
tindakan yang menyangkut pergaulan dan politik nasional. Maka ketiga macam
tindakan ini selain berpedoman kepada hukum dan politik nasional juga
berpedoman kepada hukum internasional dan dilakukan oleh Presiden dengan
bantuan organ politik luar negeri.
Mengenai perjanjian dengan negara lain,
persetujuan dari DPR biasanya harus diperoleh pada waktu akan diadakan
pengesahan atau ratifikasi dari suatu perjanjian internasional, yang sebelumnya
sudah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri atau seorang Duta Besar dari
masing-masing pihak dan suatu negara baru terikat oleh suatu perjanjian setelah
perjanjian itu diratifikasi.
(4) Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dalam undang-undang.
Yang di atur dalam Pasal 12 UUD 1945 di atas pada
pokoknya adalah bahwa yang berwenang menyatakan keadaan bahaya adalah Presiden,
berarti melalui suatu keputusan Presiden. akibat dari keadaan bahaya yang
diumumkan itu diatur dalam suatu undang-undang, demikian juga perihal
syarat-syarat untuk menyatakan bahaya sebelum Presiden menyatakan keadaan
bahaya, lebih dulu memperhatikan situasi dan memperhatikan kepada pedoman yang
mengatur persyaratan keadaan bahaya ataupun Peraturan Pengganti Undang-Undang
(Perpu). Dalam ketentuan Perpu yang pernah ada yaitu Perpu No. 23 Tahun 1959
maka dikeluarkan Keppres No. 315 Tahun 1959 yang menyatakan seluruh wilayah
Indonesia dalam keadaan perang dan berlaku mulai tanggal 16 Desember 1959.
Dalam Perpu ini ditentukan tiga macam tingkatan keadaan bahaya dengan syarat
sebagai berikut:
1. Keadaan darurat sipil; apabila keamanan
atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah Republik
Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana
alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan
negara secara biasa.
2. Keadaan darurat militer; apabila timbul
perang atau dikhawatirkan perampasan wilayah RI dengan cara apapun.
3. Keadaan perang; apabila hidup negara
berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan khusus ternyata ada dikhawatirkan
ada gejala-gejala yang dapat membahayakan kehidupan negara.
(5) Pasal 13 UUD 1945: (1) Presiden mengangkat duta dan konsul; (2)
Presiden menerima duta negara lain.
Pengangkatan duta dan konsul oleh Presiden ini
berarti bahwa duta dan konsul merupakan pegawai negeri istimewa, yang
pengangkatannya tidak diserahkan kepada seorang menteri. Pengangkatan ini dapat
dimengerti oleh karena mereka mewakili resmi negara dalam hubungan
internasional dengan pemerintah negara asing dimana mereka ditempatkan.
Seluruh tindakan dan kebijaksanaan tentang
pengangkatan dan penerimaan wakil-wakil negara lain adalah termasuk
kebijaksanaan mengatur relasi internasional. Selain terikat oleh norma-norma
hukum nasional juga terikat oleh norma-norma hukum internasional.
Setiap negara berhak mengirimkan wakilnya, tidak
berarti wajib mengirimnya. Jadi boleh tidak mempergunakan hak itu, jika
dipandang tidak perlu. Tetapi setiap negara dalam keadaan normal berkewajiban
menerima wakil diplomatik dari negara lain dan seharusnya mengirim wakilnya pula
ke negara yang bersangkutan.
(6)
Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Grasi adalah
hak Kepala Negara untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian
yang dijatuhkan oleh hakim dengan keputusan yang tidak dapat diubah lagi kepada
seseorang ataupun menukar hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan
tersebut dalam Pasal 10 KUHP. Grasi diberikan kepada seseorang atas permohonan
kepada Kepala Negara. Grasi diberikan dalam hal kejahatan biasa dan diberikan
setelah selesainya penuntutan dan telah dijatuhkan hukuman. Jika kepada
seseorang telah berikan grasi, kejahatan yang telah dilakukannya dan telah
dijatuhkan hukuman itu dipandang masih ada, sehingga kalau ia mengulang berbuat
kejahatan lagi, maka dalam hal ini dipandang ada pengulangan recidive sehingga
berakibat memberatkan hukuman.
Amnesti adalah
hak Kepala Negara untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap suatu
perbuatan atau sekelompok kejahatan. Amnesti diberikan secara massal terhadap suatu
perbuatan atau sekelompok kejahatan. Dalam hal ini kejahatan yang dimaksud
seolah-olah dilupakan dan dipandang tidak ada, sehingga tidak berakibat hukum
apa-apa. Amnesti lahir atas inisiatif Kepala Negara sendiri, bukan dimohon.
Dalam hal amnesti, andaikata orang yang bersangkutan berbuat jahat lagi setelah
adanya amnesti, disini kejahatan yang pertama yang diberi amnesti dipandang
tidak ada lagi, sehingga kejahatan yang berikutnya tidak dipandang sebagai
pengulangan dan tidak berakibat memberatkan hukuman.
Abolisi adalah
hak Kepala Negara untuk menggugurkan hak penuntutan umum buat menuntut
seseorang. Abolisi berlaku dalam hak kejahatan politik seperti amnesti dan
abolisi diberikan secara massal ataupun satu orang pada saat sebelum adanya
penuntutan.
Rehabilitasi
adalah hak Kepala Negara untuk mengembalikan seseorang kepada kedudukan dan
nama baiknya yang semula tercemar oleh karena suatu keputusan hakim yang tidak
benar.
(7)
Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda
jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Pemberian
gelar dan tanda jasa ini tidak hanya diberikan kepada warga negara Indonesia , melainkan juga kepada pejabat-pejabat
dari negara asing yang dianggap oleh Indonesia telah berjasa. Pemberian
tanda-tanda ini kepada warga negara Indonesia ada yang disertai
peraturan bahwa si penerima tanda-tanda itu mendapat perlakuan istimewa.
(8)
Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-menteri
ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR
atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah
kepada MPR. Menurut sistem
Presidensiil ini, dengan adanya Presiden saja telah ada pemerintahan.
Kedudukan menteri itu tergantung pada Presiden.
Presiden berhak penuh mengangkat, memberhentikan, menggantikan menteri dan
tidak lagi diperlukan adanya badan sebagai formatur yang berhak menyusun
komposisi dan personalia kabinet, berpedoman kepada efisiensi kerja.
Menteri-menteri negara adalah pemimpin departemen.
Dalam praktek menteri-menteri inilah yang terutama menjalankan kekuasaan
eksekutif. Merekalah yang lebih mengerti tentang seluk beluk departemennya dan
pada hakikatnya mereka berpengaruh pada Presiden dalam menentukan kebijaksanaan
pemerintah dalam lingkungan departemen masing-masing.
(9) Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: Dalam hal kepentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dalam Pasal ini memberikan hak kepada pemerintah
Presiden) untuk membuat peraturan darurat. Peraturan darurat yang dimaksud
adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Hak membuat
peraturan darurat ini hanya boleh digunakan bila ada hal kegentingan yang
memaksa.
Di negara yang aktif menyelenggarakan
kesejahteraan umum yakni di negara hukum yang modern, pemerintah sebagai organ
eksekutif diikursertakan aktif bahkah untuk menetapkan kebijaksanaan dan
langkah-langkah tertentu secara tegas dan cepat, apalagi dalam keadaan mendesak
buat menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Jadi sebagian daripada kekuasaan
legislatif dari DPR dialihkan kepada pemerintah sepihak. Untuk pelaksanaannya
pemerintah dalam Pasal ini diberikan fungsi legislatif yaitu suatu kekuasaan
perundang-undangan dalam membuat Perpu.
Kekuasaan undang-undang atas inisiatif sendiri
itu, hanya diberikan kepada pemerintah dalam hal adanya keadaan yang memaksa
atau mendesak, yaitu pemerintah harus bertindak cepat dan tegas yang
penyelenggaraannya tidak dapat ditunda lagi dan tidak dapat ditunggu lagi
tersusunnya suatu undang-undang sebagai hasil kompromi antara DPR dan
pemerintah. Dalam pembuatan Perpu, memang hak inisiatif diberikan sepenuhnya di
tangan pemerintah yang diberikan oleh UUD.[10]
B. Hak Prerogatif Presiden Setelah Amandemen UUD 1945
Dalam
amandemen UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif
Presiden, yaitu:
1.
Pasal 11 ayat (2) UUD 1945: Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang membuat akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR.
2.
Pasal 13 ayat (2) UUD 1945:
(1) Dalam hal mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan DPR.
(2) Presiden menerima duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.
3.
Pasal 14 UUD 1945:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
4. Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar,
tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
5.
Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
6.
Pasal 23F ayat (1) UUD 1945: Anggota badan pemeriksa
keuangan dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan
oleh Presiden.
7.
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945: Calon Hakim Agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
8.
Pasal 24B ayat (3) UUD 1945: Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
9.
Pasal 24C ayat (3) UUD 1945: mahkamah konstitusi
mempunyai sembilan anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga
orang oleh Presiden.
C. Pergeseran Hak Prerogatif Presiden
Dari ketiga
UUD yang pernah berlaku di Indonesia
itu, pada batang tubuhnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur Hak
Prerogatif Presiden. Untuk melihat pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden
dalam ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini
dijelaskan mengenai sejarah singkat ketiga UUD tersebut beserta
ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai Hak Prerogatif Presiden.
Pada Dalam UUD 1945 pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden tersebut diatur
dalam beberapa Pasal, dari
ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal itu kedudukan sebagai pemegang hak
prerogatif sangat besar dalam artian tanpa campur tangan pihak lain.
Dalam KRIS 1949 juga terdapat pengaturan mengenai hak prerogatif
Presiden, namun dalam KRIS 1949 ini ada pembatasan dalam melaksanakannya
seperti harus diisyaratkan terlebih dahulu dengan berdasarkan undang-undang
federal. Sedangkan dalam UUDS 1950 pelaksanaan hak prerogatif Presiden sangat
besar berada dalam kewenangan Presiden, namun mulai adanya keikutsertaan
lembaga lain, misalnya MA dalam pelaksanaan proses pemberian grasi. Walaupun demikian tetap saja hak
prerogatif itu mutlak di tangan Presiden.
Setelah dilakukannya amandemen
UUD 1945 sebanyak tiga kali. Ternyata banyak terdapat beberapa Pasal saja di
dalam batang tubuh UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden yang berubah dan
ditambah serta satu pasal yang tidak dirubah tapi berdasarkan undang-undang
penerapannya berubah. Pasal-Pasal tersebut di atas adalah: Pasal mengenai
prosedur pengangkatan Kapolri diatur dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002:
Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Usul
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR,
disertai alasan-alasannya. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul
Presiden tersebut harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 hari terhitung
sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Dalam hal DPR tidak memberikan
jawaban dalam waktu yang ditentukan, calon yang diajukan oleh Presiden dianggap
disetujui oleh DPR. Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan
sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya
dimintakan persetujuan DPR. Calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian
Negara RI yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Dengan adanya kasus
penonaktifan Kapolri dijabat oleh Jenderal Bimantoro berdasarkan Keputusan
Presiden Abdurahman Wahid selaku Presiden RI waktu itu, telah menimbulkan
krisis. Penonaktifan Kapolri oleh Presiden pada waktu itu di dasarkan pada UU
No. 28 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
itu merupakan kewenangan mutlak Presiden.
Pemberhentian itu terjadi
sekitar tahun 2000 setelah dikeluarkannya TAP MPR No. Vi/MPR/2000, yang menentukan bahwa pengangkatan
dan pemberhentian Kapolri harus dengan persetujuan dari DPR. Dalam kasus ini
kedua belah pihak saling melontarkan argumentasi-argumentasinya masing-masing.
Dari pihak Kapolri penonaktifan itu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, TAP MPR No. Vi/MPR/2000.
Sedangkan dari pihak Presiden Keppres itu dkeluarkan karena sudah memenuhi
ketentuan dan didasarkan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 dan TAP MPR
tersebut berlaku apabila peraturan perundang-undangan lainnya yaitu
undang-undang tentang kepolisian yang baru sudah ditetapkan untuk menggantikan
undang-undang yang lama.
Sekarang juga dalam
pengangkatan Panglima tentara Nasional Indonesia (TNI) dimintakan
persetujuannya oleh DPR. Pemerintah mengusulkan calon panglima TNI kepada DPR,
kemudian melakukan tes terhadap calon panglima TNI untuk melihat visi dan misi
calon tersebut. Setelah calon panglima TNI tersebut memperoleh persetujuan dari
DPR, maka calon panglima TNI tersebut akan diangkat oleh Presiden sebagai
panglima TNI.
Mengenai Pasal 11 ayat (2) UUD
1945, mengenai kalimatnya ada perubahan, tetapi dari substansi yang diaturnya
masih sama dengan Pasal 11 UD 1945 (sebelum amandemen). Di dalam pembuatan
perjanjian internasional itu terkandung tiga tahapan, yaitu: tahapan
perundingan, tahapan penandatanganan dan tahapan pengesahan.
Walaupun dalam membuat
perjanjian internasional itu mengandung beberapa tahapan, namun tujuan akhirnya
adalah menghasilkan adnaya perjanjian tersebut yang mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan. Maka yang penting dari tahapan pembuatan perjanjian itu adalah
pada tahap pengesahannya dan disinilah DPR mempunyai peran.
Presiden dalam membuat
perjanjian internasional itu harus dengan persetujuan DPR, ini berarti
terjadinya perjanjian yang mengikat adalah apabila perjanjian itu dilakukan
dengan disertai persetujuan dari DPR. Jadi persetujuan dari DPR tersebut tidak
perlu ada pada tahap perundingan ataupun penandatanganan, tetapi cukup pada
tahap pengesahan. Tidak ada gunanya tahap-tahap perundingan dan penandatanganan
itu bagi suatu perjanjian yang mensyaratkan pengesahan apabila pengesahan itu
ternyata tidak dapat dilakukan.
Pada Pasal 13 ayat (2) dan
ayat (3) UUD 1945 terdapat keikutsertaan DPR dengan memberikan pertimbangannya
terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain. Dengan
adanya peran DPR dalam memberikan pertimbangan berupa pendapat tertentu baik
atau buruk walaupun keputusan yang diutarakan sebagai nasehat kepada Presiden.
Walaupun demikian keputusan akhir tahap pengangkatan duta dan penerimaan
penempatan duta negara lain tetap berada di pihak Presiden.
Oleh karena itu sebagai
pembantu-pembantu Presiden, mereka bertanggungjawab atas pekerjaannya kepada
Presiden seperti menteri-menteri lainnya. Sudah semestinya pengangkatan duta
itu merupakan kewenangan Presiden. Di dalam hukum internasional, Kepala Negara
itu dianggap sebagai lambang negara dengan segala kehormatan dan kewibawaan
negara, sehingga dengan sendirinya sudah seharusnya kalau soal pengangkatan
duta dan penerimaan penempatan duta konsul adalah menjadi kewenangan Presiden
sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kepala Negara.
Duta merupakan orang yang
ditunjuk oleh negara untuk mewakilinya di negara lain di mana ia ditempatkan.
Mereka yang pada umumnya dibawah departemen luar negeri setiap negara, adalah
merupakan pembantu-pembanu Presiden dalam menjalankan kebijaksanaan politiknya
yang lebih difokuskan terhadap hubungan luar negeri.
Mengenai pengangkatan duta dan
penerimaan penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR,
hal ini dimaksudkan hanya untuk mendapat dukungan saja dari DPR. Apabla
dukungan dari DPR terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta
negara lain tidak ada, dan Presiden tetap dengan keputusannya. Maka Presiden
tidak dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden. Presiden dapat
diberhentukan dari jabatannya itu atas usul DPR kepada MPR hanya dapat di
dasarkan pada ketentuan Pasal 7 A UUD 1945.
Pada Pasal 14 UUD 1945, tidak
ada pemisahan kewenangan sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Presiden
mempunyai kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Tetapi setelah dilakukan amandemen, kewenangan tersebut tetap menjadi
kewenangan Presiden dengan pemisahan kewenangan memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan MA dan kewenangan memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
KESIMPULAN
1.
Hak prerogatif Presiden merupakan konsekuensi dari
kecenderungan menganut faham hukum material (walfare state) dan
berdasarkan isi dari pembukuan dan batang tubuh UUD 1945, negara Indonesia
menganut konsep negara hukum material yang memungkinkan pemerintah memperluas
jaringan tugas-tugasnya di Indonesia yang meliputi bidang-bidang pemerintahan,
perundang-undangan dan peradilan.
2.
Dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak empat
kali, mempunyai pengaruh terhadap kedudukan Presiden dalam melaksanakan hak
prerogatifnya. Hak prerogatif Presiden yang sebelum amandemen dilaksanakan
bukan murni untuk melaksanakan kewajiban Konstitusional Presiden, teapi sering
dipergunakan sebagai imbalan jasa politik. Setelah amandemen UUD 1945 terjadi
pergeseran dalam penerapan hak prerogatif Presiden, yaitu dengan diikutsertakan
lembaga negara lainnya dalam pelaksanaan hak prerogatif.
3.
Dalam sistem pemerintahan negara Indonesia yang
sebelum dilakukannya amandemen menggunakan sistem pemerintahan quasi
Presidensiil, ternyata setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 masih
dipertahankan. Dalam amandemen UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden tidak
mengakibatkan berubahnya sistem pemerintahan Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1981.
H.Marshaal, Amandemen UUD 1945 Dalam Sorotan, UMP, Palembang, 2003.
Jimly
Asshiddiqie. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.
J.C.T. Simamongkir, Hukum dan Konstitusi
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1983.
M. Solly Lubis, Ketatanegaraan RI, Mandar Maju, Bandung, 1993.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara,
Universitas Indonesia, 1988.
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999.
[1] Jimly
Asshiddiqie.Konstitusi Dan
Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hal. 95.
[2] H.Marshaal, Amandemen UUD 1945 Dalam
Sorotan, UMP, Palembang, 2003, Hal. 24.
[3] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar
Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999, Hal. 256.
[4] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum
Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Universitas
Indonesia, 1988, Hal. 83.
[7] Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan
Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Hal. 52.
[9] Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar,
Pembangunan, Jakarta, 1981, Hal. 21.
[10] M. Solly Lubis, Ketatanegaraan RI,
Mandar Maju, Bandung, 1993, Hal. 192.
Haknya apa aku punya seed minecraf 999 nama dunia sama 999
BalasHapus