The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

The Justice

Hukum Harus Tegak Dengan Adil Meskipun Langit Runtuh.

Jumat, 04 April 2014

HAK PREROGATIF PRESIDEN MENURUT UUD 1945


ABSTRAK
Dalam prakteknya kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya.
 Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu tuntutan reformasi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah diamandemennya UUD 1945. Dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia diharapkan mampu mewujudkan sistem ketatanegaraan yang baru menuju Indonesia yang menghormati hak-hak rakyat sipil.
Pensakralan UUD 1945 itu sudah mulai sejak Orde Lama dan dilanjutkan bahkan diperkuat di era Orde Baru untuk pelanggengan kekuasaan, terutama kekuasaan Presiden. Memang ada pasal-pasal UUD 1945 yang cenderung memberikan kekuasaan cukup besar kepada Presiden. Oleh karena itu selama kurun waktu tertentu pembicaraan mengenai amandemen UUD 1945 tidak pernah secara terang-terangan muncul kepermukaan, sebab pemikiran semacam itu tidak popular dan dianggap hanya mengganggu kehidupan ketatanegaraan.
UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya didasarkan pada UUD, dengan sistem pemerintahan Presidensil. Dalam pemerintahan Presidensil, Presiden diserahi mandat untuk memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan itu kepada MPR.
Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan. Didalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara.[1]
Mengenai kedaulatan rakyat itu diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dalam pelaksanaan kedaulatan ini didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara, yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (POLRI).[2]
Disamping kedudukan dan tugas sebagai Kepala Negara, Presiden juga adalah Kepala Pemerintahan yang memimpin dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugas eksekutif. Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mempunyai kedudukan sebagai Pimpinan Nasional, dan kepemimpinannya mempunyai jalur perwujudan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara, Presiden mempunyai hak-hak prerogatif selain mempunai kewenangan ke dalam juga kewenangan dalam hubungan keluar yang terdapat dalam UUD 1945. berdasarkan kedudukan dan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara, harus dalam konteks kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD 1945.
Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara kekuasaan dan tanggungjawab adalah di tangan Presiden. Pemberhentian maupun pengangkatan menteri yang telah terjadi selama ini merupakan salah satu contoh yang menyebabkan timbulnya permasalahan mengenai hak prerogatif. Secara hukum pemberhentian dan penggantian itu merupakan kewenangan Presiden sebagai pemegang hak prerogatif tersebut. Peristiwa ini kemudian memunculkan penilaian, bahwa selama ini hak prerogatif bukan murni dilaksanakan untuk memenuhi tugas kewajiban Konstitusional Presiden, tetapi sering dipergunakan sebagai imbal jasa politik, artinya diberikan sebagai hadiah kepada mereka yang secara politik berjasa kepada Presiden, karena telah memberikan dukungan kuat ketika pencalonan Presiden.
Dalam hal pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara itu setelah dilakukan amandemen UUD 1945 tidak menjadi kewenangan penuh Presiden, semuanya itu harus didasarkan pada undang-undang (Pasal 17 ayat (4) UUD 1945). Sehingga tidak terjadi lagi pembubaran suatu kementerian negara secara sepihak oleh Presiden.

B.     Perumusan Masalah

1.      Bagaimana Hak Prerogatif Presiden ssebelum dan setelah Amandeman UUD 1945?
2.      Bagaimana pergeseran Hak Prerogatif Presiden ?.


C.    Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang termasuk jenis penelitian normatif.

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Hak Prerogatif

Hak prerogatif  Presiden yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain.[3]  Hal ini bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan direntang sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.
Tugas pokok pemerintah  dalam membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya melaksanakan undang-undang.  Untuk itulah  dalam konsep negara hukum modern sekarang ini terdapat suatu lembaga kewenangan yang disebut Freises Ermessen, yaitu suatu kewenangan bagi pemerintah untuk turut campur atau melakukan intervensi di dalam berbagai kegiatan masyarakat guna membangun kesejahteraan masyarakat tersebut. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bersikap aktif. Hal inilah dalam bidang pemerintahan implikasi freises ermessen ini ditandai dengan adanya hak prerogatif.

B.     Perubahan Konstitusi

Menurut Sri Soemantri kata mengamandemen Konstitusi/UUD sama dengan mengubah Konstitusi/UUD. Pendapat beliau didasarkan pada arti mengubah UUD yang dalam bahasa Inggris berarti to amend the constitution, sedangkan kata perubahan Konstitusi/UUD berarti constitution amandement. Dengan demikian menurut Beliau, mengubah Konstitusi/UUD dapat berarti dua, yaitu pertama mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam Konstitusi/UUD dan kedua menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam Konstitusi/UUD.[4]
Biasanya yang menyusun Konstitusi adalah Konstituante. Konstituante ini adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan pilihan rakyat, seperti Konstituante hasil pemilihan umum 1955 yang bertugas menyusun UUD pengganti UUDS 1950. Tapi mungkin pula Konstitusi disusun oleh badan yang sejenis dengan Konstituante, walaupun mungkin bukan hasil pemilihan umum, umpamanya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyusun UUD 1945.
Konstituante atau badan yang sejenis dengannya itu terdiri dari kelompok manusia, maka Konstitusi itu adalah hasil karya mereka. Sebagaimana layaknya setiap hasil karya manusia, walaupun yang membuatnya tergolong ahli, Konstitusi itu tidak mungkin sempurna dan tidak pula akan pernah berlaku seterusnya tanpa perubahan. Ketidak sempurnaan suatu Konstitusi mungkin disebabkan oleh dua hal, pertama Konstitusi itu adalah hasil karya yang bersifat kompromi, kedua kemampuan para penyusunnya itu sendiri sangat terbatas. Karena Konstituante itu terdiri dari sekelompok manusia yang tidak mungkin berbeda-beda, maka hasil karya mereka itu yaitu Konstitusi merupakan hasil kompromi dari berbagai aliran dan kepentingan.
Dilihat dari sudut keterbatasan manusia, maka hasil karya yang bernama Konstitusi itu tidak akan sanggup mengatur setiap masalah yang akan menjangkau jauh ke depan. Konstitusi itu pada kurun waktu tertentu dianggap sempurna, tapi di lain waktu mungkin dirasakan tidak lagi memadai, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Maka Konstitusi yang sudah tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh perkembangan masyarakat akan mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan Konstitusi dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah dirasakan perlunya suatu Pasal dan setiap Konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan.
Berbagai cara dalam praktek dapat ditempuh untuk merubah suatu Konstitusi/UUD, tergantung kepada substansi Pasal perubahan di dalamnya. Tetapi sesuai dengan pembagian Konstitusi, rigid dan fleksibel, maka sudah barang tentu bagi Konstitusi yang tergolong fleksibel jauh lebih mudah untuk merubahnya. K.C. Wheare mengatakan perubahannnya cukup dengan the ordinary legislatif process. Sedangkan untuk Konstitusi yang tergolong rigid, menurut Sri Soemantri yang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka cara perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan permasalahan-permasalahan tertentu
2.      Oleh rakyat dengan suatu referendum
3.      Oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat
4.      Dengan kebiasaan ketatanegeraan, atau untuk suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.[5]
Menurut Ismail Suny, bahwa proses perubahan Konstitusi dapat terjadi dengan berbagai cara, karena:[6] Perubahan resmi, Perubahan hakim dan Kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada. Sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut kemudian akan berlaku kembali, jika kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.

C.    Kekuasaan Presiden

Kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : kekuasaan yang diperoleh secara atributif dan kekuasaan yang diperoleh secara derivatif. Perolehan kekuasaan secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk) dan pembentukan kekuasaan secara atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru. Sedangkan kekuasaan secara derivatif disebut pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain dan sifatnya derivatif (afgeleid). Kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan kepada pihak lain.
Kekuasaan yang diperoleh secara atributif melalui UUD 1945 juga dimiliki oleh Presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) dan selaku Kepala Negara. Kekuasan Presiden yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan secara teoritis hanya dapat dilaksanakan oleh Presiden dalam fungsi selaku kepala eksekutif.
Ditinjau dari sumber formalnya, kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kekuasaan yang berdasarkan UUD 1945, kekuasaan yang berdasarkan ketetapan MPR dan kekuasaan yang berdasarkan undang-undang. Menurut Suwoto Mulyosudarmo untuk menentukan kekuasaan yang diperoleh secara atributif yang dilaksanakan dalam tugasnya selaku kepala eksekutif, adalah:[7] Sifat kekuasaan yang asli, Sumber formal yang utama, untuk jenis kekuasaan ini adalah UUD 1945 dan Undang-undang,
Kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan tugas selaku kepala pemerintahan adalah:
1.      Kekuasaan membuat undang-undang yang meliputi kekuasaan mempersiapkan dan mengusulkan pembentukan undang-undang dan menetapkan undang-undang.
2.      Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
3.      Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
4.      Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
Pembuat UUD 1945 mengatur secara rinci macam substansi yang harus ditetapkan dengan bentuk UU. Substansi yang harus ditetapkan dengan UU, menurut pembuat UUD 1945 adalah:[8]
a.       Menyatakan keadaan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
b.      Menetapkan syarat-syarat dan akibat negara dalam keadaan bahaya dalam bentuk UU.
c.       Menetapkan dan menyusun Anggaran Pendapatan Negara dan Belanja Negara yang dimintakan persetujuan kepada DPR.
d.      Menetapkan segala macam pajak untuk keperluan negara dengan undang-undang.
Kekuasaan atributif  Kepala Negara digunakan untuk kepanjangan kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan yang bersifat atributif Kepala Negara itu adalah:
a.       Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
b.      Presiden menyatakan keadaan bahaya. Untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya, Presiden tidak perlu minta persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dengan undang-undang. Ini berarti memerlukan persetujuan DPR.
c.       Presiden mengangkat duta dan konsul, serta menerima duta dari negara lain.
d.      Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
e.       Presiden memberi gelar, tanda jasa kepada orang yang berjasa pada bangsa atau negara.

 

HAK PREROGATIF PRESIDEN

A.    Hak Prerogatif Menuurut UUD 1945 (Sebelum Amandemen)

Untuk melihat pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini dijelaskan mengenai sejarah singkat ketiga UUD tersebut beserta ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai Hak Prerogatif Presiden.
Pada masa pendudukam Japang di Indonesia, yaitu pada tanggal 29 April 1945 dibentuk suatu badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, yang mulai bekerja pada tanggal 28 Mei 1945 dan telah melakukan sidang dua kali, yaitu dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dan dari tanggal 10 sampai 17 Juli 1945.
Pada tanggal 16 Juni 1945 Badan Penyelidik menyetujui rancangan UUD untuk negara Indonesia merdeka dan pada tanggal 9 Agustus 1945 oleh pemerintah Jepang dibentuk badan baru yang dinamakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan bertugas menentukan UUD dan hal-hal lain untuk persiapan kemeerdekaan Indonesia. Belum sempat panitia ini menjalankan tugasnya, pada tanggal 15 Agustus 1945 Japang telah menyerah dan dinyatakan kalah perang oleh sekutu, sehingga tugas dari panitia ini tetap dilanjutkan dibawah kendali bangsa Indonesia sendiri yang dipimpin oleh Soekarno dengan menanbah anggotanya yang berasal dari perwakilan nasional dari bangsa Indonesia. Termasuk ketua dan wakil ketua PPKI menjadi 27 orang yang berasal dari seluruh tanah air dan mewakili segala lapisan bangsa Indonesia.[9]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945. Pada tanggal 16 Juli dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan beberapa perubahan. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Sembilan yang dibentuk dengan Ketuanya Bung Karno.
Dalam batang tubuh UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif Presiden, yaitu:
(1)     Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 : Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Fungsi Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) yang dimaksud ini adalah untuk mengatur pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang telah lebih dahulu tercantum dalam undang-undang. Tegasnya PP ini dibuat oleh pihak eksekutif yaitu Presiden. Mungkin dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah sesuatu hal tidak secara terperinci diatur, sehingga untuk pelaksanaannya harus diatur dan diperinci lagi di dalam PP tersebut. Dalam hal ini, instansi pembuat undang-undang pusat menyerahkan kekuasaan perundang-undangan kepada instansi eksekutif untuk mengatur selanjutnya hal yang dimaksud dalam PP sebagai pelaksanaan dari undang-undang.
(2)     Pasal 10 UUD 1945 : Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Menurut penjelasan UUD 1945, kekuasaan yang tersebut dalam Pasal 10 UUD 1945 tersebut termasuk konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara. Kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut di atas adalah bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
(3)     Pasal 11 UUD 1945: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Dari ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas diketahui apakah akan perang ataupun damai dengan negara lain, rakyat turut menentukannya lewat perwakilannya di DPR. Ini sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengingat pula bahwa resiko perang maupun damai pada hakikatnya terpikul dipundak rakyat.
Perang, damai dan membuat perjanjian adalah tindakan yang menyangkut pergaulan dan politik nasional. Maka ketiga macam tindakan ini selain berpedoman kepada hukum dan politik nasional juga berpedoman kepada hukum internasional dan dilakukan oleh Presiden dengan bantuan organ politik luar negeri.
Mengenai perjanjian dengan negara lain, persetujuan dari DPR biasanya harus diperoleh pada waktu akan diadakan pengesahan atau ratifikasi dari suatu perjanjian internasional, yang sebelumnya sudah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri atau seorang Duta Besar dari masing-masing pihak dan suatu negara baru terikat oleh suatu perjanjian setelah perjanjian itu diratifikasi.
(4)     Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dalam undang-undang.
Yang di atur dalam Pasal 12 UUD 1945 di atas pada pokoknya adalah bahwa yang berwenang menyatakan keadaan bahaya adalah Presiden, berarti melalui suatu keputusan Presiden. akibat dari keadaan bahaya yang diumumkan itu diatur dalam suatu undang-undang, demikian juga perihal syarat-syarat untuk menyatakan bahaya sebelum Presiden menyatakan keadaan bahaya, lebih dulu memperhatikan situasi dan memperhatikan kepada pedoman yang mengatur persyaratan keadaan bahaya ataupun Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). Dalam ketentuan Perpu yang pernah ada yaitu Perpu No. 23 Tahun 1959 maka dikeluarkan Keppres No. 315 Tahun 1959 yang menyatakan seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan perang dan berlaku mulai tanggal 16 Desember 1959. Dalam Perpu ini ditentukan tiga macam tingkatan keadaan bahaya dengan syarat sebagai berikut:
1.      Keadaan darurat sipil; apabila keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan negara secara biasa.
2.      Keadaan darurat militer; apabila timbul perang atau dikhawatirkan perampasan wilayah RI dengan cara apapun.
3.      Keadaan perang; apabila hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan khusus ternyata ada dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan kehidupan negara.
(5)    Pasal 13 UUD 1945: (1) Presiden mengangkat duta dan konsul; (2) Presiden menerima duta negara lain.
Pengangkatan duta dan konsul oleh Presiden ini berarti bahwa duta dan konsul merupakan pegawai negeri istimewa, yang pengangkatannya tidak diserahkan kepada seorang menteri. Pengangkatan ini dapat dimengerti oleh karena mereka mewakili resmi negara dalam hubungan internasional dengan pemerintah negara asing dimana mereka ditempatkan.
Seluruh tindakan dan kebijaksanaan tentang pengangkatan dan penerimaan wakil-wakil negara lain adalah termasuk kebijaksanaan mengatur relasi internasional. Selain terikat oleh norma-norma hukum nasional juga terikat oleh norma-norma hukum internasional.
Setiap negara berhak mengirimkan wakilnya, tidak berarti wajib mengirimnya. Jadi boleh tidak mempergunakan hak itu, jika dipandang tidak perlu. Tetapi setiap negara dalam keadaan normal berkewajiban menerima wakil diplomatik dari negara lain dan seharusnya mengirim wakilnya pula ke negara yang bersangkutan.
(6)    Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Grasi adalah hak Kepala Negara untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim dengan keputusan yang tidak dapat diubah lagi kepada seseorang ataupun menukar hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan tersebut dalam Pasal 10 KUHP. Grasi diberikan kepada seseorang atas permohonan kepada Kepala Negara. Grasi diberikan dalam hal kejahatan biasa dan diberikan setelah selesainya penuntutan dan telah dijatuhkan hukuman. Jika kepada seseorang telah berikan grasi, kejahatan yang telah dilakukannya dan telah dijatuhkan hukuman itu dipandang masih ada, sehingga kalau ia mengulang berbuat kejahatan lagi, maka dalam hal ini dipandang ada pengulangan recidive sehingga berakibat memberatkan hukuman.
Amnesti adalah hak Kepala Negara untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap suatu perbuatan atau sekelompok kejahatan. Amnesti diberikan secara massal terhadap suatu perbuatan atau sekelompok kejahatan. Dalam hal ini kejahatan yang dimaksud seolah-olah dilupakan dan dipandang tidak ada, sehingga tidak berakibat hukum apa-apa. Amnesti lahir atas inisiatif Kepala Negara sendiri, bukan dimohon. Dalam hal amnesti, andaikata orang yang bersangkutan berbuat jahat lagi setelah adanya amnesti, disini kejahatan yang pertama yang diberi amnesti dipandang tidak ada lagi, sehingga kejahatan yang berikutnya tidak dipandang sebagai pengulangan dan tidak berakibat memberatkan hukuman.
Abolisi adalah hak Kepala Negara untuk menggugurkan hak penuntutan umum buat menuntut seseorang. Abolisi berlaku dalam hak kejahatan politik seperti amnesti dan abolisi diberikan secara massal ataupun satu orang pada saat sebelum adanya penuntutan.
Rehabilitasi adalah hak Kepala Negara untuk mengembalikan seseorang kepada kedudukan dan nama baiknya yang semula tercemar oleh karena suatu keputusan hakim yang tidak benar.
(7)    Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Pemberian gelar dan tanda jasa ini tidak hanya diberikan kepada warga negara Indonesia, melainkan juga kepada pejabat-pejabat dari negara asing yang dianggap oleh Indonesia telah berjasa. Pemberian tanda-tanda ini kepada warga negara Indonesia ada yang disertai peraturan bahwa si penerima tanda-tanda itu mendapat perlakuan istimewa.
(8)    Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-menteri ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR. Menurut sistem Presidensiil ini, dengan adanya Presiden saja telah ada pemerintahan.
Kedudukan menteri itu tergantung pada Presiden. Presiden berhak penuh mengangkat, memberhentikan, menggantikan menteri dan tidak lagi diperlukan adanya badan sebagai formatur yang berhak menyusun komposisi dan personalia kabinet, berpedoman kepada efisiensi kerja.
Menteri-menteri negara adalah pemimpin departemen. Dalam praktek menteri-menteri inilah yang terutama menjalankan kekuasaan eksekutif. Merekalah yang lebih mengerti tentang seluk beluk departemennya dan pada hakikatnya mereka berpengaruh pada Presiden dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dalam lingkungan departemen masing-masing.
(9)    Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: Dalam hal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dalam Pasal ini memberikan hak kepada pemerintah Presiden) untuk membuat peraturan darurat. Peraturan darurat yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Hak membuat peraturan darurat ini hanya boleh digunakan bila ada hal kegentingan yang memaksa.
Di negara yang aktif menyelenggarakan kesejahteraan umum yakni di negara hukum yang modern, pemerintah sebagai organ eksekutif diikursertakan aktif bahkah untuk menetapkan kebijaksanaan dan langkah-langkah tertentu secara tegas dan cepat, apalagi dalam keadaan mendesak buat menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Jadi sebagian daripada kekuasaan legislatif dari DPR dialihkan kepada pemerintah sepihak. Untuk pelaksanaannya pemerintah dalam Pasal ini diberikan fungsi legislatif yaitu suatu kekuasaan perundang-undangan dalam membuat Perpu.
Kekuasaan undang-undang atas inisiatif sendiri itu, hanya diberikan kepada pemerintah dalam hal adanya keadaan yang memaksa atau mendesak, yaitu pemerintah harus bertindak cepat dan tegas yang penyelenggaraannya tidak dapat ditunda lagi dan tidak dapat ditunggu lagi tersusunnya suatu undang-undang sebagai hasil kompromi antara DPR dan pemerintah. Dalam pembuatan Perpu, memang hak inisiatif diberikan sepenuhnya di tangan pemerintah yang diberikan oleh UUD.[10]

B.     Hak Prerogatif Presiden Setelah Amandemen UUD 1945

MPR RI telah menetapkan perubahan pertama UUD 1945 dalam sidang umum MPR RI tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999. perubahan kedua, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari tanggal 7 sampai dengan tanggal 18 Agustus 2000. perubahan ketiga, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tahun 2001. Dan perubahan keempat, dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 11 Agustus 2002.
Dalam amandemen UUD 1945 tersebut terdapat Pasal-Pasal tentang hak prerogatif Presiden, yaitu:
1.      Pasal 11 ayat (2) UUD 1945: Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang membuat akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
2.      Pasal 13 ayat (2) UUD 1945:
(1)   Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
(2)   Presiden menerima duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
3.      Pasal 14 UUD 1945:
(1)   Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2)   Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
4.      Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
5.      Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
6.      Pasal 23F ayat (1) UUD 1945: Anggota badan pemeriksa keuangan dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
7.      Pasal 24A ayat (3) UUD 1945: Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
8.      Pasal 24B ayat (3) UUD 1945: Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
9.      Pasal 24C ayat (3) UUD 1945: mahkamah konstitusi mempunyai sembilan anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden.

C.    Pergeseran Hak Prerogatif Presiden

Dari ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia itu, pada batang tubuhnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur Hak Prerogatif Presiden. Untuk melihat pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden dalam ketiga UUD yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, berikut ini dijelaskan mengenai sejarah singkat ketiga UUD tersebut beserta ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur mengenai Hak Prerogatif Presiden. Pada Dalam UUD 1945 pengaturan mengenai Hak Prerogatif Presiden tersebut diatur dalam beberapa Pasal, dari  ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal itu kedudukan sebagai pemegang hak prerogatif sangat besar dalam artian tanpa campur tangan pihak lain.
Dalam KRIS 1949 juga terdapat pengaturan mengenai hak prerogatif Presiden, namun dalam KRIS 1949 ini ada pembatasan dalam melaksanakannya seperti harus diisyaratkan terlebih dahulu dengan berdasarkan undang-undang federal. Sedangkan dalam UUDS 1950 pelaksanaan hak prerogatif Presiden sangat besar berada dalam kewenangan Presiden, namun mulai adanya keikutsertaan lembaga lain, misalnya MA dalam pelaksanaan proses pemberian grasi. Walaupun demikian tetap saja hak prerogatif itu mutlak di tangan Presiden.
Setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak tiga kali. Ternyata banyak terdapat beberapa Pasal saja di dalam batang tubuh UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden yang berubah dan ditambah serta satu pasal yang tidak dirubah tapi berdasarkan undang-undang penerapannya berubah. Pasal-Pasal tersebut di atas adalah: Pasal mengenai prosedur pengangkatan Kapolri diatur dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002: Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR, disertai alasan-alasannya. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul Presiden tersebut harus diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Dalam hal DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu yang ditentukan, calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR. Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara RI yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Dengan adanya kasus penonaktifan Kapolri dijabat oleh Jenderal Bimantoro berdasarkan Keputusan Presiden Abdurahman Wahid selaku Presiden RI waktu itu, telah menimbulkan krisis. Penonaktifan Kapolri oleh Presiden pada waktu itu di dasarkan pada UU No. 28 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri itu merupakan kewenangan mutlak Presiden.
Pemberhentian itu terjadi sekitar tahun 2000 setelah dikeluarkannya TAP MPR No. Vi/MPR/2000, yang menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus dengan persetujuan dari DPR. Dalam kasus ini kedua belah pihak saling melontarkan argumentasi-argumentasinya masing-masing. Dari pihak Kapolri penonaktifan itu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, TAP MPR No. Vi/MPR/2000. Sedangkan dari pihak Presiden Keppres itu dkeluarkan karena sudah memenuhi ketentuan dan didasarkan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 dan TAP MPR tersebut berlaku apabila peraturan perundang-undangan lainnya yaitu undang-undang tentang kepolisian yang baru sudah ditetapkan untuk menggantikan undang-undang yang lama.
Sekarang juga dalam pengangkatan Panglima tentara Nasional Indonesia (TNI) dimintakan persetujuannya oleh DPR. Pemerintah mengusulkan calon panglima TNI kepada DPR, kemudian melakukan tes terhadap calon panglima TNI untuk melihat visi dan misi calon tersebut. Setelah calon panglima TNI tersebut memperoleh persetujuan dari DPR, maka calon panglima TNI tersebut akan diangkat oleh Presiden sebagai panglima TNI.
Mengenai Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, mengenai kalimatnya ada perubahan, tetapi dari substansi yang diaturnya masih sama dengan Pasal 11 UD 1945 (sebelum amandemen). Di dalam pembuatan perjanjian internasional itu terkandung tiga tahapan, yaitu: tahapan perundingan, tahapan penandatanganan dan tahapan pengesahan.
Walaupun dalam membuat perjanjian internasional itu mengandung beberapa tahapan, namun tujuan akhirnya adalah menghasilkan adnaya perjanjian tersebut yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Maka yang penting dari tahapan pembuatan perjanjian itu adalah pada tahap pengesahannya dan disinilah DPR mempunyai peran.
Presiden dalam membuat perjanjian internasional itu harus dengan persetujuan DPR, ini berarti terjadinya perjanjian yang mengikat adalah apabila perjanjian itu dilakukan dengan disertai persetujuan dari DPR. Jadi persetujuan dari DPR tersebut tidak perlu ada pada tahap perundingan ataupun penandatanganan, tetapi cukup pada tahap pengesahan. Tidak ada gunanya tahap-tahap perundingan dan penandatanganan itu bagi suatu perjanjian yang mensyaratkan pengesahan apabila pengesahan itu ternyata tidak dapat dilakukan.
Pada Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 terdapat keikutsertaan DPR dengan memberikan pertimbangannya terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain. Dengan adanya peran DPR dalam memberikan pertimbangan berupa pendapat tertentu baik atau buruk walaupun keputusan yang diutarakan sebagai nasehat kepada Presiden. Walaupun demikian keputusan akhir tahap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain tetap berada di pihak Presiden.
Oleh karena itu sebagai pembantu-pembantu Presiden, mereka bertanggungjawab atas pekerjaannya kepada Presiden seperti menteri-menteri lainnya. Sudah semestinya pengangkatan duta itu merupakan kewenangan Presiden. Di dalam hukum internasional, Kepala Negara itu dianggap sebagai lambang negara dengan segala kehormatan dan kewibawaan negara, sehingga dengan sendirinya sudah seharusnya kalau soal pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta konsul adalah menjadi kewenangan Presiden sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Kepala Negara.
Duta merupakan orang yang ditunjuk oleh negara untuk mewakilinya di negara lain di mana ia ditempatkan. Mereka yang pada umumnya dibawah departemen luar negeri setiap negara, adalah merupakan pembantu-pembanu Presiden dalam menjalankan kebijaksanaan politiknya yang lebih difokuskan terhadap hubungan luar negeri.
Mengenai pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR, hal ini dimaksudkan hanya untuk mendapat dukungan saja dari DPR. Apabla dukungan dari DPR terhadap pengangkatan duta dan penerimaan penempatan duta negara lain tidak ada, dan Presiden tetap dengan keputusannya. Maka Presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden. Presiden dapat diberhentukan dari jabatannya itu atas usul DPR kepada MPR hanya dapat di dasarkan pada ketentuan Pasal 7 A UUD 1945.
Pada Pasal 14 UUD 1945, tidak ada pemisahan kewenangan sebelum dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Tetapi setelah dilakukan amandemen, kewenangan tersebut tetap menjadi kewenangan Presiden dengan pemisahan kewenangan memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA dan kewenangan memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

 

KESIMPULAN

1.      Hak prerogatif Presiden merupakan konsekuensi dari kecenderungan menganut faham hukum material (walfare state) dan berdasarkan isi dari pembukuan dan batang tubuh UUD 1945, negara Indonesia menganut konsep negara hukum material yang memungkinkan pemerintah memperluas jaringan tugas-tugasnya di Indonesia yang meliputi bidang-bidang pemerintahan, perundang-undangan dan peradilan.
2.      Dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, mempunyai pengaruh terhadap kedudukan Presiden dalam melaksanakan hak prerogatifnya. Hak prerogatif Presiden yang sebelum amandemen dilaksanakan bukan murni untuk melaksanakan kewajiban Konstitusional Presiden, teapi sering dipergunakan sebagai imbalan jasa politik. Setelah amandemen UUD 1945 terjadi pergeseran dalam penerapan hak prerogatif Presiden, yaitu dengan diikutsertakan lembaga negara lainnya dalam pelaksanaan hak prerogatif.
3.      Dalam sistem pemerintahan negara Indonesia yang sebelum dilakukannya amandemen menggunakan sistem pemerintahan quasi Presidensiil, ternyata setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 masih dipertahankan. Dalam amandemen UUD 1945 mengenai hak prerogatif Presiden tidak mengakibatkan berubahnya sistem pemerintahan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1981.
H.Marshaal, Amandemen UUD 1945 Dalam Sorotan, UMP, Palembang, 2003.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
J.C.T. Simamongkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1983.
M. Solly Lubis, Ketatanegaraan RI, Mandar Maju, Bandung, 1993.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, 1988.
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999.
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
UUD 1945 sebelum amandemen
UUD 1945 sesudah amandemen
Undang-Undang  No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi
Undang-Undang  No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang  No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia




[1] Jimly Asshiddiqie.Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hal. 95.
[2] H.Marshaal, Amandemen UUD 1945 Dalam Sorotan, UMP, Palembang, 2003, Hal. 24.
[3] Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogjakarta, 1999, Hal. 256.
[4] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, 1988, Hal. 83.
[5] Ibid, Hal. 84.
[6] Ibid, Hal. 85.
[7] Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Hal. 52.
[8] Ibid, Hal. 53.
[9] Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Pembangunan, Jakarta, 1981, Hal. 21.
[10] M. Solly Lubis, Ketatanegaraan RI, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hal. 192.

BISNIS HUKUM DALAM PERADILAN


Oleh
Johansyah



Abstrak

Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.  Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Dalam mewujudkan tata kehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib diantaranya dilakukan melalui pembangunan nasional disegala bidang secara bertahap dan berkesinambungan yang diarahkan untuk membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur negara agar mampu bertindak efisien, efektif, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat pengabdian yang tinggi baik kepada negara maupun kepada warga masyarakat.  Akan tetapi walaupun pembangunan nasional tersebut hendak menciptakan suatu kondisi dimana setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana yang aman dan iklim yang tertib serta kepastian hukum yang beritikan keadilan, namun dalam pelaksanaannya ada kemungkinan dan bahkan sering terjadi benturan-benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara warga masyarakat  dan dengan aparatur negara itu sendiri, yang dapat merugikan dan menghambat jalannya pembanguna nasional.




A.    Pendahuluan.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib untuk menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang dan selaras  antara aparatur negara dan warga masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga – lembaga negara lainnya dalam melaksanalan tugasnya harus senantiasa berdasarkan atas hukum dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Selaras dengan semangat UUD 1945, negara hukum dimaksud bukanlah sekedar negara hukum dalam arti formil, yaitu negara hanya bertujuan untuk menjamin keserasian dan ketertiban sehingga tercipta stabilitas keamanan  dalam masyarakat. Negara baru bertindak apabila stabilitas keamanan terganggu.  Pengertian negara hukum menurur UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas yaitu negara hukum dalam arti materil, negara bukan saja menjaga stabilitas keamanan semata-mata, melainkan juga secara aktif ikut serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyatnya.  Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam mewujudkan tata kehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib diantaranya dilakukan melalui pembangunan nasional disegala bidang secara bertahap dan berkesinambungan yang diarahkan untuk membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur negara agar mampu bertindak efisien, efektif, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat pengabdian yang tinggi baik kepada negara maupun kepada warga masyarakat.  Akan tetapi walaupun pembangunan nasional tersebut hendak menciptakan suatu kondisi dimana setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana yang aman dan iklim yang tertib serta kepastian hukum yang beritikan keadilan, namun dalam pelaksanaannya ada kemungkinan dan bahkan sering terjadi benturan-benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara warga masyarakat  dan dengan aparatur negara itu sendiri, yang dapat merugikan dan menghambat jalannya pembanguna nasional. 
Di negara Republik Indonesia dasar hukum peradilan tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945, yang menyatakan :
  1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
  2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuar Mahkamah Konstitusi.
  3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila , demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Undang-undang dimaksud salah satunya adalah Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman. Dalam undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan pokok yang memberi perlindungan terhadap hak azazi manusia dalam peradilan sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam UUD 1945.
Untuk menjamin terlaksananya maksud tersebut sampai dengan mendapatkan hasil yang diharapkam perlu adanya aparatur Penegak Hukum  yang melaksanakan tugas dengan seadil-adilnya dan tidak memihak.
Pasal 2 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa,  Penyelenggaraan kekuasaan kehakimam dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnyadalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Uundang-Undang No 14 Tahun 1985 sebagai relisasi dari ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman, merupakan salah satu pelaksanan kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : Permohonan Kasasi, Sengketa tantang Kewenangan Mengadili, Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah mempunyai Kekuatan Hukum  tetap.

B.     Permasalahan.
Berdasarkan uraian – uraian tersebut diatas, maka  timbul suatu pertanyaaan, yaitu :   “Apakah Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 telah melakasanakan Tugas dan Wewenangnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”.  ?

C.    Pembahasan.
            Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Tap MPR No. IV/MPR/1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi krisis multi dimensi melalui reformasi di segala bidang kehidupan.  Di dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hukum dirumuskan sebagai bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya di perbagai bidang kehidupan.[1]
            Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran HAM dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-wenangan yang terjadi selama ini.  Identifikasi kondisi umum tersebut secara singkat dapat digambarkan seperti sebagai berikut:
            Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial.  Di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan.  Tetapi di pihak lain peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan,, serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga gagasan tentang perlunya menegakkan supremasi hukum baru pada tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata.
            Kedua, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti KKN dan kejahatan ekonomi, keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum.  Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan kerancuan hukum yang acap terjadi, telah mengakibatkan terjadinya krisis hukum di hampir semua tingkatan.[2]
            Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.  Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan tersebut juga menggarisbawahi betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
            Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah kebijakan hukum yang harus dicapai adalah sebagai berikut:
  1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum.
  2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
  3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum dan menghargai HAM.
  4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang.
  5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan,, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
  6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari penguasa dan pihak manapun.
  7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
  8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah,, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas keadialan dan kebenaran.        
  9. Meningkatkan pemahaman kesadaran, perlindungan,, penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan.
  10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.[3]
Untuk selanjutnya dengan cara mengidentifikasi peta kekuatan,, kelemahan, peluang dan ancaman atau kendala yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, harus diajukan berbagai alternatif pemecahan guna meningkatkan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi.
Kelemahan pembangunan bidang hukum Indonesia saat ini sebenarnya sudah dapat diidentifikasi dari kondisi umum, visi dan misi, serta kebijakan di bidang hukum yang telah dirumuskan secara garis besar oleh perumus GBHN di atas.  Faktor-faktor yang sangat menonjol dari rumusan itu antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.                      Masih diperlukannya peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan hukum, kepastian dan keadilan hukum;
2.                      Perlunya peningkatan tekad dan kesungguhan aparaturr penegak hukum;
3.                      Masih adanya praktek campur tangan dalam peradilan, sehingga perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman perlu terus dilakukan;
4.                      Masih adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum;
5.                      Belum terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan kebenaran;
6.                      Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang HAM;
7.                      Masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas, meskipun tanpa melupakan kepentingan nasional;
8.                      Masih belum terwujudnya peradilan yang cepat, murah,, mudah, terbuka dan bebas dari KKN;
9.                      Promosi dan perlindungan HAM yang masih perlu ditingkatkan, termasuk penegakan hukum terhadap pelanggar HAM.[4]
            Mahkamah Agung yang berada di puncak institusi pengadilan yang mengemban tugas memberi keadilan kepada masyarakat (dispensing justice) terhadap keadaan hukum kita sekarang, memang sama sekali bisa dimengerti.    Tetapi, barangkali ada baiknya juga kalau kita mencoba memandangnya dengan pikiran yang berusaha untuk memahami kenapa keadaan menjadi seperti sekarang ini.  Dengan demikian, hasilnya adalah tidak lagi (hanya) “menghakimi” (judging), tetapi (juga) “mengerti” (understanding).  Dalam usaha untuk mengerti itu kita akan mengambil jarak dari praktik hukum dalam masyarakat sekarang ini dan menyelidiki apa yang sesungguhnya (sedang) terjadi.
            Hukum ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban dan memberikan keadilan.  Muncul pertanyaan, “hukum untuk masyarakat’ atau “masyarakat untuk hukum”?  Memilih yang pertama menimbulkan suasana yang dinamis, sedang yang kedua statis dan stagmant atau macet.  Kiranya cukup jelas, bahwa kemacetan tersebut terjadi karena masyarakat yang berubah itu dipaksa untuk dimasukkan ke dalam bagan-bagan hukum yang ada.  Tetapi, kendati kita memilih yang pertama, yaitu “hukum untuk masyarakat”, bagi suatu bangsa yang berubah dengan cepat, siasat tersebut tidak sepenuhnya menjamin bahwa keadaan akan teratasi dengan baik.  Sebab pertanyaan yang kemudian bisa diajukan adalah “seberapa besar” perubahan dilakukan agar hukum benar-benar dapat disiapkan untuk melayani masyarakatnya dengan baik?
            Perubahan sosial yang begitu besar dan terjadi dengan begitu cepat ingin ditunjuk sebagai faktor penting yang menyebabkan hukum sulit untuk mengakomodasikannya ke dalam sistem yang ada.  Persoalan-persoalan baru dan besar muncul yang secara kualitatif berbeda daripada sebelumnya.  Perubahan tersebut termasuk perubahan dalam (pola) perilaku.  Yang dapat diamati adalah misalnya, perilaku bangsa kita yang tampaknya makin cenderung berorientasi kepada keuntungan, atau dalam jargon sekarang, bersifat kapitalis.  Perilaku tersebut berpengaruh besar terhadap praktik-praktik hukum.[5]
            Kalau kita memilih strategi yang pertama, maka kita akan berbicara secara sistematis dan berencana tentang “pembangunan hukum”.  Kita menyadari, bahwa karena masyarakat berubah, maka hukum pun perlu dibangun agar mampu untuk mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut.  Siasat itu pulalah yang kita pilih, bahkan GBHN kita makin menyadari perlunya ada akselerasi dalam melakukan pembangunan tersebut dengan mengangkat kedudukannya dari subsektor menjadi bidang penuh.   
            Akan tetapi, kita juga baik mengambil sikap reserve, artinya berhati-hati, sebab mendapat kesempatan untuk membangun hukum tidak sama artinya dengan mendapat keleluasaan 100%, bahkan mungkin juga tidak 80% dari yang kita inginkan.  Jadi, sebaiknya kita tidak cepat bergembira dan puas dengan alokasi dalam GBHN tersebut, oleh karena kendala dan hambatannya juga tidak kecil.  Secara singkat hambatan itu digolongkan ke dalam yang bersifat teknis dan politis.
            Kalau kita mencoba berbicara lebih terbatas dalam ruang lingkup pengadilan, maka pembangunan yang dibutuhkan untuk bisa bersaing dengan dinamika masyarakat antara lain adalah:
(1)   memperluas pintu-pintu masuk ke pemberian keadilan,
(2)   menyediakan personel-personel dalam jumlah maupun kualitas yang diperlukan,
(3)   menyediakan sarana-sarana untuk menghadapi meluapnya tuntutan masyarakat,
(4)   membereskan aspek-aspek administratif dan prosedur.[6]
            Masalah idealisme, moral dalam hukum, kepercayaan kepada hukum, dan sebagainya tetap merupakan modal yang sangat penting dalam suatu negara berdasarkan hukum (NBH).  Namun demikian, Prof. Tjip selalu mengingatkan agar kita juga perlu mewaspadai hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum.  Salah satu kemungkinanny adalah bergesernya hukum menjadi “permainan” dan “bisnis”, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya derajat hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).   Harus diakui bahwa hukum sebagai peluang bisnis merupakan tren baru di dunia yang pertama kali muncul di Amerika Serikat dengan sebutan “Megalawyering”.  Praktik hukum seperti itu tak murni lagi menjalankan urusan hukum, karena ia menjalankan dua hal sekaligus, yakni sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis.  Dalam situasi dualistis tersebut, demikian tulis Marc Galanter, “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis ketimbang berusaha untuk meringankan penderitaan manusia dan menolong orang”.[7]
            Praktik hukum yang “berwajah jamak” seperti itu bukan semata monopoli orang Amerika Serikat, tapi sudah mengglobal dan merambah hampir ke semua negara Eropa dan tidak ketinggalan negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Dari sisi ini, Indonesia jelas mengalami tantangan yang berat, kalau ingin memilih untuk tetap berseberangan dengan semua praktik dan tren hukum yang berorientasi bisnis tersebut.  Tantangan itu semakin berat, karena legalisme yang ingin dibangun di Indonesia adalah “legalisme Pancasila” yang penuh dengan muatan moral, ketimbang “legalisme liberal” yang lebih mendukung kapitalisme dan liberalisme.
            Harus diakui pula bahwa pengadilan sebagai “jantung” hukum modern telah dihinggapi juga oleh “penyakit hukum yang bersifat teknologi” sehingga lebih berkonsentrasi pada hal-hal teknis dan menjauhkan dirinya dari wacana moral.  Akibatnya, ia cenderung melahirkan keadilan formal atau keadilan yuridis ketimbang keadilan substansial.  Oleh karena itu, biar bagaimanapun adilnya suatu putusan hukum, tetapi kalau sang hakim tidak bekerja sesuai prosedur, maka putusan yang bagus dan adil itu pun rawan terhadap gugatan, karena dinilai “cacat hukum” atau “cacat prosedur”.  Sebaliknya, sekalipun suatu putusan hukum “tidak adil”, tetapi karena proses yang ditempuhnya sudah betul, maka status putusan tersebut lebih aman daripada putusan yang adil tetapi “cacat prosedur”.
            Ketika kita dihadapkan kepada kekecewaan mengenai praktik hukum tersebut, tetapi disisi yang lain Prof. Tjip justru melihat adanya unsur irasional berupa “kepercayaan” dari masyarakat terhadap hukum itu ternyata tidak surut.  Itu sebagai pertanda bahwa sekalipun praktik-praktik hukum yang negatif itu bisa menggugurkan penerimaan secara irasional ternyata tidak pernah gugur.  Dari sini kita harus mengakui bahwa ternyata ukuran obyektif-rasional dalam hukum itu tidak berarti segalanya, karena masih harus ditentukan oleh kekuatan “irasional-primordial” di luar dirinya yang muncul dalam bentuk “kepercayaan”.  Adanya kekuatan irasional-primordial itulah yang menyebabkan hukum tetap bertahan hingga kini, sekalipun ada begitu banyak kekurangannya, baik dilihat dari cara kerja pengadilan, pembuatan undang-undang, maupun penegakan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparatnya.
            Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat itu jangan lalu disia-siakan begitu saja oleh para arsitek hukum dalam menjalankan hukum.  Langkah yang paling pertama dan utama untuk membangun kepercayaan itu adalah dengan melakukan perubahan “Paradigma” hukum yang selama ini dipakai, yakni dari “Paradigma Formal ke Paradigma Substansial”.  Dengan begitu’ para penegak hukum tidak sekedar “menjalankan hukum” secara prosedural semata, tetapi menggunakannya dengan penuh determinasi untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.  Proses perubahan paradigma ini dapat terwujud, menurut Prof. Tjip, sangat ditentukan pula oleh perilaku “Pemerintahan yang tidak bohong”.
            Berbicara soal karaateristik kekuasaan, Prof. Tjip berpendapat bahwa negara modern yang sentralistis, monopolistis, dan birokratis, cenderung memiliki kekuasaan yang berwatak jahat, seperti cenderung korup dan melakukan tindakan- tindakan  kekerasan yang lain.  Orang sering berpendapat bahwa begitu datangnya orde hukum, maka sekalian praktik  yang menggunakan kekkuasaan “telanjang” menjadi berhenti atau ditabuhkan sama sekali.  Tetapi, optik sosiologis justru menemukan bahwa kekuasaan itu tetap ada  secara laten dan pada saat – saat tertentu dapat muncul kembali dengan menggunakan hukum sebagai “selimutnya”.   Mengikuti jalan pikirannya Lord Acton, Prof. Tjip berpendapat bahwa kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktik-praktik negatif.
            Karakteristik seperti itu justru berseberangan dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk, baik dilihat dari segi geografis, etnis, maupun sosiologis.  Itulah sebabnya, Tjip berpendapat bahwa rasanya sulit untuk membangun suatu negara yang bersifat “kekeluargaan” andaikata kekuasaan berwatak jahat seperti itu.  Menurut Tjip, agar dapat berhasil membangun negara kekeluargaan dan dengan demikian dapat menghindari watak-watak yang jahat dari kekuasaan sebagaimana diuraikan di atas, maka suatu kekuasaan minimal memenuhi criteria-kriteria seperti:
(a)    kekuasaan harus berwatak mengabdi kepada kepentingan umum,
(b)   kekuasaan harus melihat kepada lapisan masyarakat yang susah,
(c)    kekuasaan harus selalu memikirkan kepentingan publik,
(d)   kekuasaan harus kosong dari kepercayaan subyektif,
(e)    kekuasaan harus bersifat mengasihi.
            Tidaklah salah apabila orang berharap banyak terhadap hukum, karena negara ini memanglah negara berdasarkan hukum.  Tetapi, celakanya, hukum kita belum banyak memenuhi harapan tersebut.  Aspek moral (dari dan dalam) hukum.  Kehadiran moral dalam hukum dilambangkan oleh “keadilan”, yang dikenal sehari-hari melalui “pengadilan”.  Kehadiran moral dalam hukum, oleh karena dengan rasa keprihatinan kita melihat betapa di sekeliling kita moral dan keadilan itu sudah banyak digusur oleh kepentingan dan pertimbangan politik serta ekonomi.
            Ditengah hiruk-pikuk industrialisasi, pembangunan, dan sebagainya, orang Indonesia menjadi sangat sibuk dengan urusan dunia dan materi.  Sasaran utama pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Dalam keadaan seperti itu, keadilan yang melambangkan kehadiran moral dalam hukum terdengar seperti suara yang dating dari dunia lain.  Tempatnya sangat tinggi cum ideal.
            Barangkali orang sekarang akan mengatakan, bahwa bicara mengenai keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah kuno,, karena hukum modern memang sudah makin berwatak teknologi.  Teknologi inilah yang kita pakai untuk menyelesaikan masalah tanah, perburuhan, yang sangat erat kaitannya dengan pembangunan.  Hukum modern yang menekankan pada struktur rasionalnya, pada prosedur dan format, memang memungkinkan sekalian hal tersebut terjadi dan berlangsung sebagai sesuatu yang “lumrah”. 
            Apabila pengadilan boleh kita sebut sebagai jantung hukum dalam suatu negara berdasarkan hukum, maka “penyakit teknologi” sudah masuk juga ke situ.  Teknologi di sini adalah teknologi untuk memenangkan perkara dengan berkonsentrasi pada hal-hal teknis yang memang disediakan oleh hukum.  Ini merupakan penyakit yang melekat kepada institusi hukum modern di mana pun di dunia. Oleh sebab itu, semakin tinggi kepercayaan orang kepada hukum (modern), semakin canggih pula permainan teknik di situ.
              Seorang mantan hakim, Harold Rothwax, telah menulis buku berjudul Guilty-The Collapse of The Criminal Justice SystemMenurut Rothwax, di Amerika orang tidak lagi mencari keadilan, melainkan mencari kemenangan dengan segala cara.  Hal itu terakhir kita lihat terjadi dalam kasus O. J. Simpson yang disebut-sebut sebagai “Pengadilan Abad Ini”.  Para pengacara Simpson yang handal dan mahal bukan berkonsentrasi untuk membuktikan ketidaksalahan Simpson, melainkan pada kecerobohan polisi.  Dengan cara itu Tim Advokat Simpson telah berhasil mempengaruhi para juri.  Memang bukan sekali itu saja sistem peradilan Amerika digugat.
            Suatu gugatan yang lebih sistimatis dan kaya dengan pengalaman, telah dilakukan oleh advokat senior Gerry Spence dalam bukunya With Justice for none (1989).
            Maka, kita di Indonesia baik berhati-hati untuk tidak terjebak ke dalam mesin peradilan yang diciptakan oleh sistem hukum modern itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran hakim-hakim yang “bernurani kuat”, sangat dibutuhkan untuk menjinakkan hukum yang sudah menjadi tehnologi dan pengadilan yang sudah makin menjadi mesin itu.  Menjadi negara hukum yang baik itu perlu, tetapi untuk itu kita tidak perlu menyerahkan hidup kita kepada mesin.
            Hukum modern yang sudah menjadi teknologis itu juga menjauhkan dirinya dari wacana moral.  Dalam suasana keadaan seperti diuraikan di atas, hal itu adalah logis.  Keadaan tersebut juga menjadi dadakan bagi munculnya berbagai aliran hukum, seperti aliran-aliran “Minimalis” dan “Idealis”.[8]
            “Aliran Minimalis” mengatakan, bahwa hukum sudah dijalankan apabila peraturan-peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ.  Ini adalah tampang hukum sebagai teknologi.
            Sedang “Aliran Idealis” berpendapat, bahwa menerapkan peraturan begitu saja tidak cukup, melainkan kita juga perlu memikirkan nilai-nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum dan yang tidak dengan mudah dibaca dalam peraturan.  Hukum bukan semata-mata teknologi, melainkan sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral.
            Sejak hukum modern sudah menjadi sangat teknologis, maka ia sangat memberi peluang bagi terjadinya pengebirian hukum dari kandungan moralnya.  Sebab menegakkan atau menjalankan hukum dapat menjadi senonim untuk menjalankan peraturan semata.  Keadilan sudah ditegakkan dengan menjalankan peraturan.  Ganti rugi yang sudah diputus oleh lembaga pengadilan tertinggi dibatalkan, polisi harus meloloskan pengedar pil-pil ekstasi, undang-undang yang “salah” tidak dapat digugat.  Sekalian contoh tersebut menunjukkan ketidakmampuan hukum untuk memberikan dan menegakkan keadilan secara substansial, oleh karena dibelenggu dan dikebiri eksistensinya sebagai institusi moral dan pelindung serta penjaga moral bangsa. 
            Kita memang bersyukur bahwa dalam GBHN hukum sudah dinaikkan menjadi bidang yang berdiri sendiri.  Memang sejak saat itu suatu kegairahan baru, bahkan suatu eforia muncul dikalangan hukum.  Banyak orang ikut memperkuat pendapat, bahwa sudah waktunya hukum itu diberi kesempatan mengarahkan proses-proses sosial, politik, ekonomi secara lebih tertib.
            Kendati demikian, keadaan tidak segera membaik dan segera kita menyadari, bahwa untuk membangun hukum, tidak hanya bidang yang langsung berhubungan dengan hukum yang harus digarap, melainkan lebih luas daripada itu, seperti kekuasaan politik dan budaya bangsa.  Untuk itu perlu diajukan gagasan untuk juga mewaspadai kemungkinan perkembangan hukum yang berbeda dengan yang kita cita-citakan.
            Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naïf, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan membarikan perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat.  Apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat. 
            Yang disebut sebagai pikiran naïf  dimuka adalah yang melihat hukum semata-mata secara etis dan moralis, yang melihat hukum sebagai dewa penyelamat bagi ketidakadilan, kebobrokan, dan kejahatan di dunia ini.    Idealisme, moral dalam hukum, kepercayaan kepada hukum dan sebagainya, tetap merupakan modal yang sangat penting.  Namun demikian,, sebaiknya kita juga dapat memahami lebih baik mengenai hal-hal negatif yang dapat muncul dari hukum.
            Salah satu dari kemungkinan yang mesti diwaspadai adalah bergesernya hukum menjadi “permainan”. Yang dimaksud permainan disini adalah menurunkan derajat hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri.  Dengan demikian, tujuan hukum untuk memberikan keadilan (dispensing justice) telah mengalami kemerosotan menjadi permainan.  Hukum modern sebagai tipe hukum yang memberikan pengaturan positif secara luas, yang memberikan sarana untuk melakukan berbagai upaya hukum, melindungi individu, dapat berbalik menjadi alat untuk menyalurkan kepentingan pribadi yang aman menurut hukum.  Inilah perumpaan hukum sebagai “gerobak” tersebut di atas.  Di Indonesia, hal itu dapat dilihat pada tren penggusuran perkara ke atas dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian meminta kasasi ke Mahkamah Agung.  Barangkali para advokat tidak dapat mengendalikan nasabahnya untuk menyerah dengan mengatakan, bahwa secara hukum posisinya memang sudah payah.  Tetapi, nasabah juga tidak dapat disalahkan begitu saja, karena mereka diberitahu adanya upaya hukum banding dan kasasi.
Disamping itu pula, menurut pendapat Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM, dalam bukunya yang berjudul : “Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah”,  yang mengatakan bahwa banyak sekali kebiasaan-kebiasaan kita yang tidak pernah terlintas dibenak orang-orang barat, dibidang hukum misalnya, tidak pernah terbayangkan oleh mereka kalau di Indonesia merupakan soal biasa saja pengacara mendatangi hakim, kemudian membicarakan soal perkara yang sedang mereka tangani.. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku bertajuk Menyikap Tabir Mafia Peradilan memberikan gambaran bagaimana pola korupsi di Mahkamah Agung, lembaga hukum tertinggi di Indonesia. Ada delapan perilaku korupsi di Mahkamah Agung, yaitu melalui :  Surat Sakti, Pemerasan, Vonis Yang Tidak Bisa di Eksekusi, Makelar Perkara, Pengaburan Perkara, Pengaturan Majelis Hakim Yang Menguntungkan, Pemalsuan Vonis dan Penyuapan.[9]
            Dengan demikian, upaya hukum itu sudah tidak lagi menjadi upaya untuk memperjuangkan keadilan, tetapi untuk mencari menang.  Dan, kalau yang dicari adalah kemenangan, maka segala cara tentunya juga akan ditempuh.  Keadaan yang demikian itu menimbulkan suatu ironi besar,  Ironinya adalah, bahwa justru semakin maju dan canggih praktik hukum, semakin besar pula peluang untuk mendaya gunakan hukum secara “anti keadilan” itu.  Dengan demikian, perangkat hukum, proses hukum, dan sekalian personelnya, justru dimobilisasi kecanggihannya, untuk hanya melayani keinginan dan kepentingan sendiri.   Orang sudah menggunakan hukum dan pengadilan tidak untuk mencari keadilan, tetapi mencari menang.
            Hubungan antara hukum sebagai suatui permainan dan hukum sebagi bisnis cukup dekat.  Menjalankan hukum sebagai bisnis itu memang tidak “sejahat” menjalankannya sebagai suatu permainan, tetapi tetap saja tujuan hukum untuk mendatangjkan keadilan menjadi melenceng.  Hukum sebagai bisnis juga merupakan tren baru.  dimana praktik hukum itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak murni menjalankan urusan hukum, melainkan “sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis”.
“Sebagai contoh kasus yang tejadi di dunia peradilan  Indonesia saat ini, yaitu Kasus Suap atas laopran pengusaha Probosutedjo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bagir Manan,  dimana dalam kasus tersebut Probosutedjo melalui Pengacaranya Harini Wiyoso yang adalah juga Mantah Hakim Tinggi di Yogyakarta untuk mengurus perkara pidananya di tingkat kasasi yang menghabiskan uang untuk suap ke Mahkamah Agung sebesar Rp. 800 juta, sebelumnya Probosutedjo juga sudah menghabikan uang miliaran rupiah     demi bebas dari hukuman atas perkara korupsi dana reboisasi sebesar Rp. 100.93 Miliar, Ia berharap Majelis Hakim yang di Ketuai oleh Bagir Manan dengan anggota Suparman dan Usman Karim membebaskanya.”[10]
Dari contoh kasus tersebut dapat diartikan bahwa, “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis, praktik hukum seperti itulah yang pelan-pelan mulai menyebar dan mendominasi dunia hukum dewasa ini.  
            Dalam membangun hukum, seperti diamanatkan dan dirumuskan dalam GBHN, sebaiknya kita belajar dari hal-hal yang negatif yang dipertontonkan di panggung dunia.  Cita-cita pembangunan hukum dan UUD kita sarat dengan muatan-muatan moral dan keadilan material.  Cita-cita seperti itu baik sekali untuk menjadi benteng bagi kemerosotan kualitas penyelenggaraan hukum di dunia.  Namun, mewujudkan cita-cita tersebut sama sekali juga tidak ringan karena harus berhadapan dengan tren yang makin pragmatis dan ekonomis.        

D. Penutup.
Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di Indonesia merupakan instrumen terpenting dalam upaya pencarian keadilan dan kebenaran, dan bukan sekedar sebagai tempat dimana hukum formal berproses.  Dalam Konteks negara hukum, seyogyanya Mahkamah Agung menjadi sarana terpital dalam peradilan, sesuai dengan azasnya, Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tentunya yang kita harapkan adalah agar Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjadi “Filter” untuk menepis berbagai kinerja buruk yang masih berlangsung baik lembaga Mahkamag Agung itu sendiri, maupun yang masih berlangsung dinstansi penegak hukum lainnya. Kasus Suap oleh pengusaha Probosutedjo yang melibatkan Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, membuktikan bahwa hukum, paling tidak law enforcement belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Harapan-harapan yang demikian telah mebersitkan cahaya pengharapan , semoga saja tidak semakin pudar, tetapi semakin hari semakin cemerlang, indikatornya :
  1. Para Hakim Agung baru sudah merupakan hasil fit and proper test si DPR RI.
  2. Dibutuhkam sosok Hakim Agung yang besar kepeduliannya untuk memperbaiki citra pranata hukum tertinggi, yang berwawasan luas, memiliki kedalaman ilmu hukum, mempunyai kedekatan dengan rasa keadilan rakyat banyak, dan tidak berkiblat pada kepentingan politik partai atau golongan tertentu.[11]
Akhirnya, agar perilaku aparat penegak hukum, mencakup : Polisi, Pengacara, Jaksa, dan Hakim, dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat, dengan cara menjalankan tugasnya lebih banyak bertanya pada hati nurani, bukan berdasarkan kepentingan pribadi (bisnis), kembalikan hukum pada akar moralitas dan relegius. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang filsof bernama Taverne : “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun, saya akan menghasilkan putusan yang adil”.









Daftar Pustaka.
  1. Prof. Dr. Achmad Ali, SH. M.H.  Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002.
  2. Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala DaerahGhalia Indonesia. Jakarta. 2003.
  3. Prof. Dr. Muladi, SH.  Demokratisasi, Hak Azazi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta. 2002.
  4. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.  Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Kompas. Jakarta. 2003.
  5. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman  (UU No 4 Tahun 2004). Sinar Grafika. Jakarta. 2004.
  6. Majalah Tempo. Edisi Khusus Setahun Pemerintahan SBY-JK. Edisi 24-30 Oktober 2005.
  7. Majalah Gatra. No 50 Tahun XI. 29 Oktober 2005.

















[1] Ketetapan-Ketetapan MPR 1999. Sinar Grafika. Jakarta. 1999
[2] Prof.Dr. Muladi, SH. Demokratisasi Hak Azazi Manusia Dan Reformasi Hukum Di Indonesia.  The Habibie Center. Jakarta. 2002. hal. 3.
[3] Prof.Dr. Muladi, SH. Ibid. hal. 4.
[4] Prof. Dr. Muladi, SH. Ibid. hal. 10.
[5] Prof.Dr. Satjioto Rahardjo, SH. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Kompas. Jakarta. 2003. hal. 44.
[6] Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Ibid. hal. 45.
[7] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Ibid. hal. 52.
[8] Prof.Dr. Satjipto Rahardjo. Ibid. Hal. 58.
[9] Dr. Amzulian Rifai, SH. LLM. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003. hal. 13.
[10]Majalah Tempo Edisi 24-30 Oktober 2005. hal. 132. Dan Majalah Gatra No 50 Tahun XI . 29 Oktober 2005. hal. 86.
[11] Pror. Dr. Achmad Ali, SH. M.H. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002. hal 22.