Rabu, 23 Maret 2016

PENGERTIAN KECURANGAN TERSTRUKTUR, SISTEMATIS, DAN MASIF DALAM SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

A.    PENDAHULUAN
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (lumer – jurdil), yaitu  pemilihan umum Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Daerah Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Daerah Kabupaten dan Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.
Adanya pemilukada secara langsung ini disadari atau tidak dapat menimbulkan permasalahan sengketa pemilukada di daerah-daerah, yang berdampak kepada perpecahan di tengah-tengah masyarakat.  Dalam pemilukada hal yang disengketakan dapat berupa adanya pengelembungan suara, masalah daftar pemilih, politik uang,  tidak netralnya panitia penyelenggara, adanya ancaman atau intimidasi dan masih banyak lainnya. Dari berbagai sengketa pemilukada itu muncul istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam putusan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak adanya perpindahan kewenangan dalam memutus perselisihan hasil pemilukada dari Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2008. Maka sampai dengan awal tahun 2014, dalam melaksanakan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada, MK telah mengeluarkan 689[1] putusan.
Salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu) dan pemilukada. Kewenangan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, MK menerapkan mekanisme peradilan cepat atau speedy trial. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 78 huruf a menentukan, hanya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada sudah harus diputus oleh MK setelah melalui proses persidangan.
Dalam proses persidangan yang singkat tersebut, Hakim MK menilai seluruh alat bukti yang diajukan ke persidangan sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang  satu dengan alat bukti yang lain.
Pemeriksaan alat bukti dalam proses persidangan perselisihan hasil pemilukada menjadi hal yang sangat penting, karena atas dasar pemeriksaan inilah MK menjatuhkan putusan. Pada sisi yang lain terdapat pula faktor keyakinan hakim MK berdasarkan alat bukti yang menjadi penentu dalam proses pengambilan putusan.
Dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa pemilukada itu, MK kemudian membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, disamping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada, juga terdapat hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilukada (sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008) yang menjadi landasan hukum bersifat khusus bagi MK.
Pelanggaran proses pemilukada yang terjadi di Indonesia bersifat terstruktur, sistematis, dan masif justru berpengaruh secara mendasar pada hasil akhir. Namun memang tidak semua kecurangan itu menjadi pertimbangan bagi MK, tentunya jika bukti-bukti yang dihadapkan telah memenuhi syarat keabsahan dan bobot peristiwa yang signifikan. Harus ditegaskan, bahwa langkah MK tersebut tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kewenangan memutus pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilukada, melainkan menilai dan mempertimbangkan implikasinya terhadap perolehan suara yang dihitung dalam rekapitulasi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

B. PEMBAHASAN
1.      Mahkamah Konstitusi Dalam Ketatanegaraan Indonseia
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK.  Peristiwa penting dari sejarah MK di Indonesia yang patut dicermati yaitu gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Republik Indonesia (PAH I MPR RI) pada sidang-sidang dalam rangka Amandemen UUD 1945.
a.         Gagasan Mohammad Yamin Dalam Sidang BPUPKI
Sementara di Indonesia sendiri, sejarah peristiwa yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil (sengketa konstitusi) atau constitutional disputes (perselisihan konstitusi). Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk membandingkan undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa : Pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan UU, bukan menguji UU; ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian UU bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan keempat, sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu batal diadopsi dalam UUD 1945. Sementara, Laica Marzuki sendiri berpendapat bahwa “pernyataan Soepomo hendaknya ditafsirkan sebagai penangguhan pembentukan pengadilan konstitusi, bukan penolakan”[2].

b.      Perdebatan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI
Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk MK muncul pada sidang kedua PAH I BP MPR RI, pada Maret s.d April tahun 2000. Mulanya MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA dengan kewenangan melakukan uji materil atas UU, memberikan putusan atas pertentangan antar UU serta kewenangan lain yang diberikan UU. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. Setelah melewati perdebatan panjang dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional UU di berbagai negara, serta mendengarkan masukan dari berbagai pihak terutama para pakar hukum tata negara. Rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada tanggal 9 November 2001.
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi lagi ke sejumlah lembaga negara. Yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara yang baru oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d, dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK itu adalah :
1.             Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
2.             Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
3.             Memutus pembubaran partai politik; dan
4.             Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

2.      Pengertian Kecurangan Terstruktur, Sistimatis Dan Masif Dalam Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Kecurangan dalam pemilukada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif pada prinsipnya merupakan penegasan terhadap kecurangan pemilukada yang terungkap di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Munculnya istilah kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada saat MK memeriksa sengketa pemilukada Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008 yang lalu. Pada mulanya, MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum. Namun dalam perkembangan saat sidang berlangsung, ternyata terungkap pula sejumlah pelanggaran-pelanggaran pemilu yang secara luar biasa telah merusak nilai-nilai yang terkandung dalam sistem demokrasi. Jadi, bukan pelanggaran pemilu yang hanya bersifat insidental, individual, dan sporadis dalam batasan-batasan yang wajar.
Meskipun pelanggaran-pelanggaran pemilu yang seharusnya menjadi kewenangan peradilan lain, namun MK pada akhirnya harus memeriksa pelanggaran-pelanggaran ini karena ternyata banyak pelanggaran pemilu dan pemilukada, baik administratif maupun pidana yang bukan menjadi kewenangan MK untuk menanganinya, realitasnya tidak pernah secara tuntas dapat diselesaikan oleh lembaga di luar MK yang mempunyai kewenangan. Meskipun UU pemilu legislatif telah memuat ketentuan bahwa berbagai pelanggaran pidana pemilu yang mempengaruhi hasil pemilu sudah harus selesai sebelum hasil pemilu ditetapkan (terkait pemilukada malahan tidak memuat ketentuan seperti itu), “mungkin hal itu disebabkan oleh lemahnya berbagai peraturan perundang-undangan yang kurang/tidak memberikan “empowering” kepada lembaga pengawasan pemilu dan pemilukada, sehingga pengawasan pemilu dan pemilukada terkesan tidak pernah efektif”[3].
Berdasarkan kenyataan objektif demikian, maka dapat dipahami bahwa MK kemudian mengembangkan suatu pandangan baru dalam menangani sengketa pemilukada yang tidak hanya terpaku pada angka-angka hasil dari penghitungan suara, melainkan juga pada aspek dari proses-proses pemilu yang mempengaruhi kualitas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Artinya, mau tidak mau atau tidak terhindarkan lagi bahwa MK akan menilai berbagai dalil pemohon dalam hal sengketa pemilukada mengenai berbagai pelanggaran pemilu yang seharusnya sudah secara tuntas ditangani oleh lembaga-lembaga lain sebelum kasus dibawa ke MK. Dalam posisi ini, MK tidak akan menjalankan fungsi peradilan lain dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran administratif maupun pidana. Akan tetapi pelanggaran-pelanggaran ini akan menjadi ukuran yang di pakai oleh MK untuk membatalkan hasil pemilukada apabila terbukti adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Dari berbagai putusan MK, setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan-putusan MK dari tahun 2008 sampai dengan awal tahun 2014, ada 689 perkara yang dikabulkan untuk di sidangkan. Namun, dari 689 perkara yang dikabulkan untuk disidangkan itu, hanya ada 68 perkara yang dikabulkan oleh MK termasuk 12 putusan sela, karena terbukti adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Sedangkan, 450 perkara dibatalkan oleh MK, karena bagi Mahkamah pemohon dalam mengajukan permohonannya tidak beralasan secara hukum.
Setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan MK tersebut, ternyata pertimbangan Mahkamah dalam mengabulkan perselisihan hasil pemilukada yang diajukan oleh pemohon dalam permohonannya mempunyai 2 sifat, yaitu :
a.       Mahkamah menilai bahwa kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait itu memenuhi ketiga unsur, yakni unsur sistematis, terstruktur dan masif; dan;
b.      Bahwa kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait, hanya terpenuhi satu unsur saja dari ketiga unsur itu maka sudah cukup membatalkan hasil pemilukada. Misal, hanya terpenuhi 1 (satu) unsur saja. Contohnya, unsur terstruktur saja, masif saja ataupun sistematis saja.

3.            Kriteria Kecurangan Terstruktur, Sistimatis Dan Masif Dalam Sengketa Pemilihan Umun Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Kecurangan-kecurangan pemilukada diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ada dua jenis pelanggaran dalam pemilukada, yaitu pelanggaran pidana dan pelanggaran terhadap tata cara pelaksanaan kampanye.
Kecurangan-kecurangan pemilukada terjadi tidak hanya pada proses pemilihan, tetapi juga terjadi sebelum dan sesudah proses pemilukada. Mengenai kriteria-kriteria kecurangan dalam pemilukada sebagai berikut :
a.      Politik uang (Money Politics)
Pelanggaran yang tidak mungkin kita hindarkan serta lagi trend pada waktu sekarang dan yang paling banyak dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah dalam pemilukada, yakni politik uang (money politics) dengan cara memberi uang atau bagaimanapun caranya yang dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan calon tersebut.
Pada umumnya, politik uang ini hampir semua pasangan calon melakukan politik uang ini, hanya caranya saja yang berbeda-beda. Ada yang memberi uang langsung atau memberi barang kepada para pemilih ataupun juga melalui tim sukses dari masing-masing pasangan calon. Semua upaya ini dilakukan pasangan calon dengan tujuan mempengaruhi pemilih untuk memilihnya. Politik uang ini dilakukan merata hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang sedang melangsungkan pesta demokrasi yang bernama pemilukada. Pelanggaran berupa politik uang (money politics) ini dapat menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah untuk membatalkan hasil pemilukada. Apalagi jika pelanggaran itu dilakukan secara menyeluruh dan terencana. Bentuk pelanggaran berupa politik uang dapat membahayakan nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri. Terlepas dari pemikiran pemilih sendiri, bahwa politik uang inilah yang sesungguhnya pesta dari demokrasi itu sendiri, karena mungkin secara tidak langsung, pemilih berpikir bahwa siapapun pasangan calon yang terpilih nanti tidak akan memikirkan kehidupan pemilih dalam 5 tahun kedepan.

b.      Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan pasangan calon kepala daerah, terutama pasangan calon patahana yang masih memiliki kekuasaan dan mempunyai pengaruh untuk menggerakan birokrasi pemerintahan agar membantu pasangan calon tersebut, karena pasangan calon itu mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah. Birokrat yang terlibat biasanya tersitematis, dari struktur atas hingga struktur bawah dalam pemerintahan daerah. (Ex : Putusan MK  Nomo :. 22/PHPU.D-VIII/2010)

c.              Kelalaian Petugas Penyelenggara
Kelalaian petugas sebagai penyelenggara bisa juga menjadi salah satu faktor pertimbangan Mahkamah dalam membatalkan hasil pemilukada. Kelalaian petugas ini juga, bisa jadi karena kurangnya pengetahuan petugas tersebut dalam menguasai peraturan mengenai bagaimana teknis dalam penyelenggaraan pemilukada tersebut. (Ex : Putusan MK Nomor : 71/PHPU.D-XI/2013).

d.      Manipulasi Syarat Administrasi Pencalonan
Dalam hal ini, manipulasi syarat administrasi pencalonan yang dilakukan pasangan calon kepala daerah ini juga termasuk salah satu pertimbangan Mahkamah dalam membatalkan perselisihan hasil pemilukada. Manipulasi syarat administrasi pencalonan ini biasanya terjadi di awal proses pemilukada. Mengenai manipulasi syarat administrasi pencalonan ini, biasanya berhubungan erat juga dengan pihak penyelenggara dalam hal ini KPUD setempat. Karena KPUD lah yang mempunyai hak untuk memeriksa dan memutuskan apakah bakal calon tersebut telah memenuhui syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum ditetapkannya menjadi peserta pemilukada. (Ex : Putusan MK Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010).

e.              Memanipulasi Suara
Pada kasus ini, memanipulasi suara juga termasuk kriteria Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan putusannya dan menetapkan bahwa pasangan calon telah melakukan kecurangan dalam pemilukada. Tidak menutup kemungkinan Mahkamah menunda kemenangan dari pihak terkait. Dalam hal memanipulasi suara, pihak penyelenggara pemilukada juga ikut andil dalam memuluskan rencana kecurangan manipulasi suara, dalam hal ini tingkat KPPS lah yang mempunyai kesempatan terbesar dalam melakukan kecurangan ini. (Ex : Putusan MK Nomor : 25/PHPU.D-VIII/2010).

f.              Ancaman atau Intimidasi
Pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi baik kepada warga masyarakat mapun pada Badan Penyelenggara Pemilu (Panwaslu) yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon dan tim suksesnya.  (Ex : Putusan MK Nomor:  45/PHPU.D-VIII/2010). 

g.             Ketidak Netralan Panitia Penyelenggara Pemilukada
Dalam hal ini adalah Badan Penyelenggara Pemilu (KPUD) dengan secara sengaja melakukan tindakan menghalang-halangi salah satu bakal calon menjadi pasangan calon, yang selanjutnya Mahkamah benar-benar merealisasikan tindakannya untuk memberikan kedudukan hukum pada bakal calon yang telah dizalimi oleh KPU. Bahkan Mahkamah melakukan Pemilukada ulang dengan mewajibkan agar bakal calon yang dicoret dimasukkan dalam daftar pasangan calon untuk mengikuti pemilukada ulang tersebut.  (Ex: Putusan MK Nomor : 198/PHPU.D-VIII/2010).

h.      Politisasi Penggunaan Anggaran Oleh Petahana
Politisasi penyalahgunaan APBD dapat secara leluasa dilakukan oleh calon petahana, sehingga peluang untuk penyalahgunaan APBD dapat terjadi untuk keperluan pemenangan calon tersebut. Sebagai calon, petahana cenderung melakukan politisasi anggaran dengan cara memanfaatkan pos-pos belanja APBD, yaitu belanja hibah dan belanja bantuan sosial.  (Ex : Putusan MK  Nomor : 79/PHPU.D-XI/2013).

Terkait dengan kriteria kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam pelanggaran pemilukada. Mahkamah dalam putusannya nomor 190/PHPU.D-VIII/2010, bahwa dalam menilai proses terhadap hasil pemilu atau pemilukada tersebut Mahkamah membedakan berbagai pelanggaran ke dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori itu sebagai berikut :
a.       Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara pemilu atau pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. (untuk jenis pelanggaran yang seperti ini Mahkamah tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN.
b.      Pelanggaran dalam proses pemilu atau pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil pemilu atau pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil pemilu atau pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh Mahkamah untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.
c.       Pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu atau pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.

C.    KESIMPULAN
Kecurangan yang bersifat sistematis artinya pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sementara kecurangan bersifat terstruktur, artinya kecurangan ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilukada secara kolektif bukan dilakukan secara individual ataupun sendiri-sendiri. Sedangankan kecurangan itu bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilukada dan bukan hanya sebagian-sebagian.
Kriteria Mahkamah dalam memutuskan bahwa calon kepala daerah itu telah melakukan kecurangan dalam pemilukada sebagai berikut :
1.             Politik uang, artinya membagi-bagikan uang pada saat pemilukada agar mempengaruhi pemilih untuk memilih calon kepala daerah itu.
2.             Politisasi birokrasi, artinya upaya yang dilakukan pasangan calon kepala daerah, terutama pasangan calon patahana yang masih memiliki kekuasaan dan mempunyai pengaruh untuk menggerakan birokrasi pemerintahan agar membantu pasangan calon tersebut, karena pasangan calon itu mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah.
3.             Kelalaian petugas penyelenggara, disebabkan kurang pahamnya panitia penyelenggara dalam hal menguasai pengaturan tentang teknis pemilu maupun pemilukada.
4.             Manipulasi syarat administrasi pencalonan, artinya ada keterlibatan panitia penyelenggara terhadap pasangan calon, padahal panitia penyelenggara sendiri tahu bahwa pasangan calon tersebut tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
5.             Memanipulasi suara, artinya ada semacam upaya kecurangan yaitu pencoblosan surat suara yang dilakukan oleh sekelopok orang, untuk memenangkan pasangan calon sebelum pencoblosan pemilukada itu dimulai.
6.             Ancaman atau Imidasi, adanya suatu tekanan baik lahir maupun bathin untuk pemilih yang dilakukan oleh pasangan calon maupun tim sukses agar pemilih dalam pemilukada memilih pasangan calon tersebut.
7.             Ketidak netralan Panitia Penyelenggara, artinya tindakan yang menghalang-halangi pasangan calon, untuk mencalonkan diri sebagai peserta pemilukada, yang dilakukan oleh panitia penyelenggara pemilu ataupun pemilukada, sehingga pasangan calon tersebut tidak menjadi peserta pemilukada.
8.             Politisasi Penggunaan Anggaran Oleh Petahana, artinya penyelewengan dana anggaran yang dilakukan oleh seorang kepala daerah yang mencalonkan diri lagi untuk kepentingan dalam pemenangan dirinya kembali.

Selain itu, Mahkamah membagi 3 (tiga) kategori mengenai pelanggaran :
1.    Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadaphasil suara pemilu atau pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan;
2.            Pelanggaran dalam proses pemilu atau pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana pemilu, dan sebagainya.
3.         Pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu atau pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.



 DAFTAR PUSTAKA
A.           BUKU
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Hukum Tata Negara”, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
_______________, “Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.
Soerjono Soekamto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1981.
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.
Prof. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia”, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2003.

B.            MAKALAH
Abdul Mukhtie Fadjar, “Memahami Original Intent Makna Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, Dan Masif”, makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas, tanggal 23 Maret 2011 di Mahkamah Konstitusi.

C.           PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

D.           PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan Nomor 41/PHPU-D.D-VI/2008.
Putusan Nomor 57/PHPU.D-VI/2008.
Putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 44/PHPU.D-VI/2008.
Putusan Nomor. 22/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 42/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 25/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 198/PHPU.D-VIII/2010.





[1] Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php? page=web.RekapPHPUD, pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 00.59 WIB.
[2] Merambah Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2003, hlm 81.
[3] Abdul Mukhtie Fadjar, “Memahami Original Intent Makna Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, Dan Masif”, makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas, tanggal 23 Maret 2011 di Mahkamah Konstitusi.

0 komentar:

Posting Komentar