A.
PENDAHULUAN
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah (Pemilukada) adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
(lumer – jurdil), yaitu pemilihan umum
Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Daerah Provinsi, Bupati dan Wakil
Bupati untuk Daerah Kabupaten dan Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.
Adanya pemilukada secara langsung
ini disadari atau tidak dapat menimbulkan permasalahan sengketa pemilukada di
daerah-daerah, yang berdampak kepada perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam pemilukada hal yang disengketakan dapat
berupa adanya pengelembungan suara, masalah daftar pemilih, politik uang, tidak netralnya panitia penyelenggara, adanya
ancaman atau intimidasi dan masih banyak lainnya. Dari berbagai sengketa
pemilukada itu muncul istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif
dalam putusan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak adanya perpindahan kewenangan
dalam memutus perselisihan hasil pemilukada dari Mahkamah Agung (MA) pada tahun
2008. Maka sampai dengan awal tahun 2014, dalam melaksanakan kewenangan
mengadili perselisihan hasil pemilukada, MK telah mengeluarkan 689[1]
putusan.
Salah satu kewenangan MK adalah
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu) dan pemilukada. Kewenangan
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, serta Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum.
Dalam melaksanakan kewenangan
tersebut, MK menerapkan mekanisme peradilan cepat atau speedy trial. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 78
huruf a menentukan, hanya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, permohonan
penyelesaian perselisihan hasil pemilukada sudah harus diputus oleh MK setelah
melalui proses persidangan.
Dalam proses persidangan yang
singkat tersebut, Hakim MK menilai seluruh alat bukti yang diajukan ke
persidangan sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan
dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Pemeriksaan alat bukti dalam proses
persidangan perselisihan hasil pemilukada menjadi hal yang sangat penting,
karena atas dasar pemeriksaan inilah MK menjatuhkan putusan. Pada sisi yang
lain terdapat pula faktor keyakinan hakim MK berdasarkan alat bukti yang
menjadi penentu dalam proses pengambilan putusan.
Dalam rangka melengkapi pengaturan
tentang mekanisme persidangan dalam penyelesaian sengketa pemilukada itu, MK
kemudian membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan
demikian, disamping terdapat Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (sebagaimana
diatur dalam UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) yang menjadi
landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilukada,
juga terdapat hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilukada
(sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008)
yang menjadi landasan hukum bersifat khusus bagi MK.
Pelanggaran proses pemilukada yang terjadi
di Indonesia bersifat terstruktur, sistematis, dan masif justru berpengaruh
secara mendasar pada hasil akhir. Namun memang tidak semua kecurangan itu
menjadi pertimbangan bagi MK, tentunya jika bukti-bukti yang dihadapkan telah
memenuhi syarat keabsahan dan bobot peristiwa yang signifikan. Harus
ditegaskan, bahwa langkah MK tersebut tidak dimaksudkan untuk mengambil alih
kewenangan memutus pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilukada,
melainkan menilai dan mempertimbangkan implikasinya terhadap perolehan suara
yang dihitung dalam rekapitulasi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
B. PEMBAHASAN
1.
Mahkamah
Konstitusi Dalam Ketatanegaraan Indonseia
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta
mengenai judicial review, yang
sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Peristiwa penting dari sejarah MK di Indonesia
yang patut dicermati yaitu gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan
perdebatan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Republik Indonesia (PAH I MPR RI)
pada sidang-sidang dalam rangka Amandemen UUD 1945.
a.
Gagasan Mohammad Yamin Dalam Sidang BPUPKI
Sementara di Indonesia
sendiri, sejarah peristiwa yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah
satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil (sengketa
konstitusi) atau constitutional disputes (perselisihan
konstitusi). Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil)
terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk membandingkan
undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa :
Pertama, konsep dasar yang dianut
dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep
pembagian kekuasaan (distribution of
power); kedua, tugas hakim adalah
menerapkan UU, bukan menguji UU; ketiga,
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian UU bertentangan dengan konsep
supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan keempat, sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli
mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu batal diadopsi dalam UUD 1945.
Sementara, Laica Marzuki sendiri berpendapat bahwa “pernyataan Soepomo hendaknya ditafsirkan sebagai penangguhan
pembentukan pengadilan konstitusi, bukan penolakan”[2].
b.
Perdebatan
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI
Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD
1945. Gagasan membentuk MK muncul pada sidang kedua PAH I BP MPR RI, pada Maret
s.d April tahun 2000. Mulanya MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA dengan
kewenangan melakukan uji materil atas UU, memberikan putusan atas pertentangan
antar UU serta kewenangan lain yang diberikan UU. Usulan lainnya, MK diberi
kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga
negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah
dengan pemerintah daerah. Setelah melewati perdebatan panjang dengan mengkaji
lembaga pengujian konstitusional UU di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan dari berbagai pihak terutama para pakar hukum tata negara. Rumusan
mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD
1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga
yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD
1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai,
tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24C, dan Pasal 7B pada tanggal 9 November 2001.
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan
mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945.
Berdasarkan division of power yang
dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR
berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat,
MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di
bawah MPR, kekuasaan dibagi lagi ke sejumlah lembaga negara. Yakni Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan
masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi
terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga
negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain,
kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada
lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara
berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga
negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD
1945. MK menjadi salah satu lembaga negara yang baru oleh konstitusi diberikan
kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi
adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga,
sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi
dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru.
Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama
lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK
untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan
konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD
1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional
menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MK mempunyai empat
kewenangan konstitusional (conctitutionally
entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal
10 ayat (1) huruf a sampai dengan d, dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK itu adalah :
1.
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
2.
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
3.
Memutus pembubaran partai politik; dan
4.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, kewajiban MK adalah memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945.
2.
Pengertian
Kecurangan Terstruktur, Sistimatis Dan Masif Dalam Sengketa Pemilihan Umum Kepala
Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Kecurangan dalam pemilukada yang
bersifat terstruktur, sistematis, dan masif pada prinsipnya merupakan penegasan
terhadap kecurangan pemilukada yang terungkap di dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi. Munculnya istilah kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif
pada saat MK memeriksa sengketa pemilukada Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008
yang lalu. Pada mulanya, MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan
umum. Namun dalam perkembangan saat sidang berlangsung, ternyata terungkap pula
sejumlah pelanggaran-pelanggaran pemilu yang secara luar biasa telah merusak
nilai-nilai yang terkandung dalam sistem demokrasi. Jadi, bukan pelanggaran
pemilu yang hanya bersifat insidental, individual, dan sporadis dalam batasan-batasan
yang wajar.
Meskipun pelanggaran-pelanggaran
pemilu yang seharusnya menjadi kewenangan peradilan lain, namun MK pada
akhirnya harus memeriksa pelanggaran-pelanggaran ini karena ternyata banyak
pelanggaran pemilu dan pemilukada, baik administratif maupun pidana yang bukan
menjadi kewenangan MK untuk menanganinya, realitasnya tidak pernah secara
tuntas dapat diselesaikan oleh lembaga di luar MK yang mempunyai kewenangan.
Meskipun UU pemilu legislatif telah memuat ketentuan bahwa berbagai pelanggaran
pidana pemilu yang mempengaruhi hasil pemilu sudah harus selesai sebelum hasil
pemilu ditetapkan (terkait pemilukada malahan tidak memuat ketentuan seperti
itu), “mungkin hal itu disebabkan oleh lemahnya berbagai peraturan
perundang-undangan yang kurang/tidak memberikan “empowering” kepada lembaga pengawasan pemilu dan pemilukada, sehingga
pengawasan pemilu dan pemilukada terkesan tidak pernah efektif”[3].
Berdasarkan kenyataan objektif
demikian, maka dapat dipahami bahwa MK kemudian mengembangkan suatu pandangan
baru dalam menangani sengketa pemilukada yang tidak hanya terpaku pada angka-angka
hasil dari penghitungan suara, melainkan juga pada aspek dari proses-proses
pemilu yang mempengaruhi kualitas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Artinya, mau tidak mau atau tidak terhindarkan lagi bahwa MK
akan menilai berbagai dalil pemohon dalam hal sengketa pemilukada mengenai
berbagai pelanggaran pemilu yang seharusnya sudah secara tuntas ditangani oleh
lembaga-lembaga lain sebelum kasus dibawa ke MK. Dalam posisi ini, MK tidak
akan menjalankan fungsi peradilan lain dalam memberikan sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran administratif maupun pidana. Akan tetapi
pelanggaran-pelanggaran ini akan menjadi ukuran yang di pakai oleh MK untuk
membatalkan hasil pemilukada apabila terbukti adanya kecurangan yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif.
Dari berbagai putusan MK, setelah
dilakukan penelusuran terhadap putusan-putusan MK dari tahun 2008 sampai dengan
awal tahun 2014, ada 689 perkara yang dikabulkan untuk di sidangkan. Namun,
dari 689 perkara yang dikabulkan untuk disidangkan itu, hanya ada 68 perkara
yang dikabulkan oleh MK termasuk 12 putusan sela, karena terbukti adanya
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Sedangkan, 450
perkara dibatalkan oleh MK, karena bagi Mahkamah pemohon dalam mengajukan
permohonannya tidak beralasan secara hukum.
Setelah dilakukan penelusuran
terhadap putusan MK tersebut, ternyata pertimbangan Mahkamah dalam mengabulkan
perselisihan hasil pemilukada yang diajukan oleh pemohon dalam permohonannya
mempunyai 2 sifat, yaitu :
a. Mahkamah
menilai bahwa kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait itu memenuhi ketiga
unsur, yakni unsur sistematis, terstruktur dan masif; dan;
b. Bahwa
kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait, hanya terpenuhi satu unsur saja
dari ketiga unsur itu maka sudah cukup membatalkan hasil pemilukada. Misal,
hanya terpenuhi 1 (satu) unsur saja. Contohnya, unsur terstruktur saja, masif
saja ataupun sistematis saja.
3. Kriteria
Kecurangan Terstruktur, Sistimatis Dan Masif Dalam Sengketa Pemilihan Umun
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Kecurangan-kecurangan pemilukada
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ada dua jenis
pelanggaran dalam pemilukada, yaitu pelanggaran pidana dan pelanggaran terhadap
tata cara pelaksanaan kampanye.
Kecurangan-kecurangan pemilukada
terjadi tidak hanya pada proses pemilihan, tetapi juga terjadi sebelum dan
sesudah proses pemilukada. Mengenai kriteria-kriteria kecurangan dalam
pemilukada sebagai berikut :
a.
Politik
uang (Money Politics)
Pelanggaran yang tidak mungkin kita hindarkan serta lagi trend pada waktu
sekarang dan yang paling banyak dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah
dalam pemilukada, yakni politik uang (money
politics) dengan cara memberi uang atau bagaimanapun caranya yang dapat
mempengaruhi pemilih untuk memilih pasangan calon tersebut.
Pada umumnya, politik uang ini hampir semua pasangan calon melakukan
politik uang ini, hanya caranya saja yang berbeda-beda. Ada yang memberi uang langsung
atau memberi barang kepada para pemilih ataupun juga melalui tim sukses dari
masing-masing pasangan calon. Semua upaya ini dilakukan pasangan calon dengan
tujuan mempengaruhi pemilih untuk memilihnya. Politik uang ini dilakukan merata
hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang sedang melangsungkan pesta
demokrasi yang bernama pemilukada. Pelanggaran berupa politik uang (money politics) ini dapat menjadi salah
satu pertimbangan Mahkamah untuk membatalkan hasil pemilukada. Apalagi jika
pelanggaran itu dilakukan secara menyeluruh dan terencana. Bentuk pelanggaran
berupa politik uang dapat membahayakan nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri.
Terlepas dari pemikiran pemilih sendiri, bahwa politik uang inilah yang
sesungguhnya pesta dari demokrasi itu sendiri, karena mungkin secara tidak
langsung, pemilih berpikir bahwa siapapun pasangan calon yang terpilih nanti
tidak akan memikirkan kehidupan pemilih dalam 5 tahun kedepan.
b.
Politisasi
Birokrasi
Politisasi birokrasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan pasangan calon
kepala daerah, terutama pasangan calon patahana yang masih memiliki kekuasaan
dan mempunyai pengaruh untuk menggerakan birokrasi pemerintahan agar membantu
pasangan calon tersebut, karena pasangan calon itu mencalonkan diri lagi
menjadi kepala daerah. Birokrat yang terlibat biasanya tersitematis, dari
struktur atas hingga struktur bawah dalam pemerintahan daerah. (Ex :
Putusan MK Nomo :. 22/PHPU.D-VIII/2010)
c.
Kelalaian
Petugas Penyelenggara
Kelalaian petugas sebagai penyelenggara bisa juga menjadi salah satu
faktor pertimbangan Mahkamah dalam membatalkan hasil pemilukada. Kelalaian
petugas ini juga, bisa jadi karena kurangnya pengetahuan petugas tersebut dalam
menguasai peraturan mengenai bagaimana teknis dalam penyelenggaraan pemilukada
tersebut. (Ex : Putusan MK Nomor : 71/PHPU.D-XI/2013).
d.
Manipulasi
Syarat Administrasi Pencalonan
Dalam hal ini, manipulasi syarat administrasi pencalonan yang dilakukan
pasangan calon kepala daerah ini juga termasuk salah satu pertimbangan Mahkamah
dalam membatalkan perselisihan hasil pemilukada. Manipulasi syarat administrasi
pencalonan ini biasanya terjadi di awal proses pemilukada. Mengenai manipulasi
syarat administrasi pencalonan ini, biasanya berhubungan erat juga dengan pihak
penyelenggara dalam hal ini KPUD setempat. Karena KPUD lah yang mempunyai hak
untuk memeriksa dan memutuskan apakah bakal calon tersebut telah memenuhui
syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum
ditetapkannya menjadi peserta pemilukada. (Ex : Putusan MK Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010).
e.
Memanipulasi
Suara
Pada kasus ini, memanipulasi suara juga termasuk kriteria Mahkamah
Konstitusi dalam mempertimbangkan putusannya dan menetapkan bahwa pasangan
calon telah melakukan kecurangan dalam pemilukada. Tidak menutup kemungkinan
Mahkamah menunda kemenangan dari pihak terkait. Dalam hal memanipulasi suara,
pihak penyelenggara pemilukada juga ikut andil dalam memuluskan rencana
kecurangan manipulasi suara, dalam hal ini tingkat KPPS lah yang mempunyai
kesempatan terbesar dalam melakukan kecurangan ini. (Ex : Putusan MK Nomor : 25/PHPU.D-VIII/2010).
f.
Ancaman
atau Intimidasi
Pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi baik kepada warga masyarakat mapun
pada Badan Penyelenggara Pemilu (Panwaslu) yang dilakukan oleh salah satu
pasangan calon dan tim suksesnya. (Ex :
Putusan MK Nomor: 45/PHPU.D-VIII/2010).
g.
Ketidak
Netralan Panitia Penyelenggara Pemilukada
Dalam hal ini adalah Badan Penyelenggara Pemilu (KPUD) dengan secara
sengaja melakukan tindakan menghalang-halangi salah satu bakal calon menjadi
pasangan calon, yang selanjutnya Mahkamah benar-benar merealisasikan
tindakannya untuk memberikan kedudukan hukum pada bakal calon yang telah
dizalimi oleh KPU. Bahkan Mahkamah melakukan Pemilukada ulang dengan mewajibkan
agar bakal calon yang dicoret dimasukkan dalam daftar pasangan calon untuk
mengikuti pemilukada ulang tersebut. (Ex:
Putusan MK Nomor : 198/PHPU.D-VIII/2010).
h.
Politisasi
Penggunaan Anggaran Oleh Petahana
Politisasi penyalahgunaan APBD dapat secara leluasa dilakukan oleh calon
petahana, sehingga peluang untuk penyalahgunaan APBD dapat terjadi untuk
keperluan pemenangan calon tersebut. Sebagai calon, petahana cenderung
melakukan politisasi anggaran dengan cara memanfaatkan pos-pos belanja APBD,
yaitu belanja hibah dan belanja bantuan sosial. (Ex : Putusan MK Nomor : 79/PHPU.D-XI/2013).
Terkait dengan kriteria kecurangan
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam pelanggaran pemilukada.
Mahkamah dalam putusannya nomor 190/PHPU.D-VIII/2010, bahwa dalam menilai
proses terhadap hasil pemilu atau pemilukada tersebut Mahkamah membedakan
berbagai pelanggaran ke dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori itu sebagai
berikut :
a. Pelanggaran
dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya
terhadap hasil suara pemilu atau pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas
simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata
cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. (untuk jenis
pelanggaran yang seperti ini Mahkamah tidak dapat menjadikannya sebagai dasar
pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum
dan/atau PTUN.
b. Pelanggaran
dalam proses pemilu atau pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau
pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan
pidana pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan
hasil pemilu atau pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni
karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya
telah ditetapkan dalam berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang
sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil pemilu atau pemilukada seperti yang
bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa
dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh
Mahkamah untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota.
c. Pelanggaran
tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur
(seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan
dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil
pemilu atau pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak
awal.
C.
KESIMPULAN
Kecurangan yang bersifat sistematis
artinya pelanggaran ini benar-benar direncanakan secara matang, tersusun,
bahkan sangat rapi. Sementara kecurangan bersifat terstruktur, artinya
kecurangan ini dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun
penyelenggara pemilukada secara kolektif bukan dilakukan secara individual
ataupun sendiri-sendiri. Sedangankan kecurangan itu bersifat masif, artinya
dampak pelanggaran ini sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilukada dan
bukan hanya sebagian-sebagian.
Kriteria Mahkamah dalam memutuskan
bahwa calon kepala daerah itu telah melakukan kecurangan dalam pemilukada
sebagai berikut :
1.
Politik uang, artinya
membagi-bagikan uang pada saat pemilukada agar mempengaruhi pemilih untuk
memilih calon kepala daerah itu.
2.
Politisasi birokrasi, artinya upaya
yang dilakukan pasangan calon kepala daerah, terutama pasangan calon patahana
yang masih memiliki kekuasaan dan mempunyai pengaruh untuk menggerakan
birokrasi pemerintahan agar membantu pasangan calon tersebut, karena pasangan
calon itu mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah.
3.
Kelalaian petugas penyelenggara,
disebabkan kurang pahamnya panitia penyelenggara dalam hal menguasai pengaturan
tentang teknis pemilu maupun pemilukada.
4.
Manipulasi syarat administrasi pencalonan,
artinya ada keterlibatan panitia penyelenggara terhadap pasangan calon, padahal
panitia penyelenggara sendiri tahu bahwa pasangan calon tersebut tidak memenuhi
syarat sebagai calon kepala daerah.
5.
Memanipulasi suara, artinya ada
semacam upaya kecurangan yaitu pencoblosan surat suara yang dilakukan oleh
sekelopok orang, untuk memenangkan pasangan calon sebelum pencoblosan
pemilukada itu dimulai.
6.
Ancaman atau Imidasi, adanya suatu
tekanan baik lahir maupun bathin untuk pemilih yang dilakukan oleh pasangan
calon maupun tim sukses agar pemilih dalam pemilukada memilih pasangan calon
tersebut.
7.
Ketidak netralan Panitia Penyelenggara,
artinya tindakan yang menghalang-halangi pasangan calon, untuk mencalonkan diri
sebagai peserta pemilukada, yang dilakukan oleh panitia penyelenggara pemilu
ataupun pemilukada, sehingga pasangan calon tersebut tidak menjadi peserta
pemilukada.
8.
Politisasi Penggunaan Anggaran Oleh
Petahana, artinya
penyelewengan dana anggaran yang dilakukan oleh seorang kepala daerah yang
mencalonkan diri lagi untuk kepentingan dalam pemenangan dirinya kembali.
Selain itu, Mahkamah membagi 3
(tiga) kategori mengenai pelanggaran :
1. Pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh
atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadaphasil suara pemilu atau
pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang,
dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan;
2. Pelanggaran dalam proses pemilu atau pemilukada
yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau pemilukada seperti money politic,
keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana pemilu, dan sebagainya.
3. Pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon
yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi
pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat
dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu atau pemilukada karena ada
pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
BUKU
Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Hukum Tata Negara”, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
_______________,
“Menuju Negara Hukum Yang
Demokratis”, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008.
Soerjono Soekamto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1981.
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.
Prof. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar
Ilmu Politik”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
“Merambah Pembentukan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia”, Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 2003.
B.
MAKALAH
Abdul Mukhtie Fadjar, “Memahami Original Intent Makna
Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, Dan Masif”,
makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas, tanggal 23 Maret 2011 di Mahkamah
Konstitusi.
C.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
D.
PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan
Nomor 41/PHPU-D.D-VI/2008.
Putusan
Nomor 57/PHPU.D-VI/2008.
Putusan
Nomor 79/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 44/PHPU.D-VI/2008.
Putusan Nomor. 22/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 42/PHPU.D-XI/2013.
Putusan Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 25/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010.
Putusan Nomor 198/PHPU.D-VIII/2010.
[1]
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapPHPUD, pada tanggal 6 Januari 2014 pukul 00.59 WIB.
[2]
Merambah
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterbitkan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
(KRHN), Jakarta, 2003, hlm 81.
[3] Abdul Mukhtie Fadjar, “Memahami Original Intent
Makna Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, Dan Masif”,
makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas, tanggal 23 Maret 2011 di Mahkamah
Konstitusi.
0 komentar:
Posting Komentar