Senin, 15 Juni 2015

PENGATURAN YAYASAN DALAM UU NO. 16 TAHUN 2001 DAN UU NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN. (Yayasan Sebagai Badan Hukum Bersifat Non Profit Oriented)

ABSTRAK
Pendirian yayasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang lingkup gerak yayasan di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama hanya didasarkan pada hukum kebiasaan ataupun jurisprudensi meskipun mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian dengan kebutuhan. Dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang yayasan di Indonesia, maka juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat pendirian yayasan, juga tidak ada suatu ketentuan yang menjelaskan bahwa yayasan harus didirikan dengan akta notaris.
Kata Kunci: Yayasan, Badan Hukum dan  Non Profit Oriented

A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial tentu sering terjadi perbedaan paham, perang opini, bentrok fisik, perebutan hak, dan bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Nah, untuk menengahi permasalahan atau mungkin pelanggaran-pelanggaran lain yang mayoritas terjadi, itulah di antara alasan kenapa ada Hukum. Ketika manusia hidup berdampingan satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak jarang, menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang di timbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya adalah manusia yang saling bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama memperoleh keadilan. Langkah awal ini di pahami sebagai sebuah proses untuk menuju sebuah sistem (tatanan) hukum.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa menggantikan kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis.  Inilah yang disebut hukum undang-undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibentuk atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan terstruktur atau terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata formal sifatnya, yang oleh sebab itu akan ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berkewenangan untuk mendayagunakan sanksi.
Hukum merupakan aturan tentang bagaimana subjek hukum seharusnya berpola tingkah lak dalam masyarkat. Hukum ibarat rel (instrumen) bagi setiap subjek hukum untuk melakukan kegiatan, sehingga masing-masing subjek hukum tidak melanggar hak-hak subjek hukum yang lain. Sehingga tidaklah salah apabila dikatakan hukum merupakan standar, patokan, ukuran ataupun pedoman bagi setiap subjek hukum untuk berprikelakuan atau berpola tingkah laku.[1]
Hukum merupakan rules of the game, aturan-aturan permainan yang akan mencegah atau menghalangi penguasa dan manusia bisa berbuat sewenang-wenang. Hukum merupakan batas-batas kebebasan individu dan penguasa dalam setiap interaksi kemasyarakatan, shingga hukum akan merupakan perlindungan atas ketenteraman umum dan keadilan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat manusia.[2]
Hukum yang dibentuk secara formal oleh lembaga yang berwenang untuk itu yang biasa disebut dengan Undang-undang, maupun secara material, yakni yang terbentuk dalam masyarakat dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat bersangkutan, tentunya hanyalah untuk mengatur subjek hukum. Hukum yang terbentuk tersebut dapat dipastikan akan dijalankan oleh subjek hukum, baik subjek hukum sebagai naturlijk persoon maupun subjek hukum dalam bentuk recht persoon baik oleh manusia maupun oleh badan hukum.
Badan hukum sebagai subjek hukum privat memiliki berbagai bentuk diantaranya dalam bentuk yayasan.  Menurut  Mr. Paul  Scholten sebagai berikut: “Yayasan  adalah  suatu  badan  hukum yang dilahirkan  oleh  suatu pernyataan  sepihak.  Pernyataan  itu  harus berisikan pemisahan  suatu  kekayaan  untuk  tujuan  tertentu  dengan menunjukkan bagaimanakah kekayaan itu diurus atau digunakan.[3] Sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan, sebagai badan hukum (recht persoon) yayasan sudah sejak lama diakui dan tidak diragukan. Leskipun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Dalam lalu lintas hukum sehari-hari, Yayasan diperlakukan sebagai legal entity.[4]
Dari uraian singkat di atas, membicarakan tentang keberadaan yayasan memiliki banyak permasalahan yang urgen dilakukan penelitian, mulai dari sejarah, keberadaan maupun eksistensi aturan hukum yang menjadi payung hukum pelindung yayasan tersebut. Adapun  yang menjadi judul makalah ini adalah: PENGATURAN YAYASAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR. 16 TAHUN 2001 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN. (Yayasan Sebagai Badan Hukum  Non Profit Oriented)

B.     Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah Kedudukan Yayasan dalam Hukum Formal Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan?
2.      Bagaimanakah Pengaturan Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Non Profit Oriented?

C.    Metode Penelitan
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif bersifat eksplanatoris  dengan pendekatan Perundang-undangan, dan pendekatan kasus.
Bahan hukum yang telah dikumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Setelah diperoleh gambaran yang jelas, maka akan disimpulkan dengan metode induksi dan metode deduksi.

D.    Pembahasan
D.1. Pengertian
Menurut Mochtar Kusumaatmaja dalam Chaidir Ali mengartikan hukum dalam artian yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi lembaga-lembaga (institutions) demi proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat lagi oleh Cicero yang mengatakan dimana ada masyarakat disana ada hukum.[5]
Beranjak pada kedua pendapat tersebut kita dapati bahwa hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat, dimana hukum bukan hanya seperangkat aturan, namun termasuk juga didalamnya lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses yang menyebabkan terjadinya kaidah-kaidah tersebut.
Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah pembawa hal dalam artian bahwa ia memiliki hak dan kewajiban, sehingga karena itu tiap-tiap orang itu disebut sebagai subyek hukum (subjetcum juris). Adapun yang dimaksud sebagai subyek hukum menurut Prof Drs. C.S.T. Karsil, SH Chfistine S.T. Kansil, SH, MH, subyek hukum ialah: Siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak adalah subjek hukum atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk bertindak.[6]
Namun perlu diketahui bahwa pengertian siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum disamping mengarah kepada orang sebagai subyek hukum juga dengan kondisi yang berkembang di masyarakat dewasa ini tidak hanya terbatas pada orang saja, tetapi ada hal lain yaitu yang disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon).
Untuk lebih jelasnya lagi Soenawir Soekowati dalam Chaidir Ali memberikan batasan subyek hukum sebagai berikut: Subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan. Masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.[7]
Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dewasa ini subyek hukum terdiri dari:
a.       Manusia (nature life person) yang disebut orang dalam bentuk manusia atau manusia pribadi.
b.      Rechts Persoon yang disebut orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi atau persona ficta.
Badan hukum ini oleh hukum diberi status sebagai “person” yang mempunyai hak dan kewajiban badan hukum sebagai pembawa hak dapat melakukan/bertindak sebagai pembawa hak manusia, yaitu badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggotanya.[8]
Badan hukum tersebut terbagi dalam 2 bagian yaitu badan hukum publik (public rechts person) dan badan hukum privat. Badan hukum publik (public rechts person) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan negara dan mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, misalnya negara, provinsi, kabupaten dll.
Badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata, yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam bentuk hukum itu. Badan hukum itu merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, sosial, politik, kebudayaan, kesenian, olah raga, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah, misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan dll.
Istilah Yayasan pada mulanya digunakan dari sebagai terjemahan dari istilah “stichting” dalam Bahasa Belanda dan “foundation” dalam Bahasa Inggris.[9] Sebagaimana istilah Yayasan yang berasal dari penterjemahan bahasa Belanda, lembaga Yayasan pun sebenarnya sejak zaman Hindia Belanda sudah dikenal dan banyak digunakan dalam masyarakat. Hal ini berlaku terus sampai Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.[10] Karena bentuknya yang sudah melekat pada masyarakat luas di Indonesia maka bentuk Yayasan tumbuh, hidup dan berkembang sehingga setiap kegiatan non profit yang dilembagakan akan memakai lernbaga bentuk Yayasan.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, yang mengatur tentang Yayasan, selama ini perundang-undangan sama sekali tidak mengatur tentang badan hukum yayasan. Hanya dalam beberapa undang-undang menyinggung adanya lembaga yayasan, seperti Pasal 365 KUHPerdata rnenyebutkan :
Dalam segala hal hakim harus mengangkat seorang wali, perwalian itu boleh diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau lembaga amal yang bertempat kedudukan disini pula, yang menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau regelemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa pada waktu yang lama.
Dalam pasal tersebut cuma disinggung tentang yayasan dapat melakukan perbuatan hukum seperti tersebut diatas tapi tidak menjelaskan tentang lembaga yayasan itu sendiri. Dalam Pasal 900 dan Pasal 1680 KUHPerdata yang hanya menyinggung tentang penerimaan wasiat dan hibah oleh lembaga atau badan yayasan harus oleh orang atau pengurus yang berwenang untuk itu serta memerlukan penunjukan Penguasa atau Pemerintah, kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 IR. Dalam pasal-pasal tersebut sama sekali tidak memberi rumusan tentang yayasan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah yayasan adalah badan atau organisasi yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan pendidikan yang bertujuan tidak mencari keuntungan. Bila dilihat dalam Black Law Dictionary terdapat istilah foundation: Permanent fund established and maintened by contributions ,for charitable, educated, religious or other benevolent purpose, and Institution or associaton given to rendering financial aid to cooleges schools and charities and generaly supported by gifts for such purpose. (Yayasan adalah dana abadi yang telah ditetapkan dan pembiayaannya didanai untuk amal sosial, pendidikan, keagamaan, atau kegiatan sosial, dan institusi atau asosiasi memberikan bantuan keuangan kepada universitas dan lembaga amal dan pada umumnya pemberian bantuan itu untuk suatu tujuan sosial).[11]
Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya berjudul “Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu”, berpendapat bahwa Yayasan adalah badan hukum. Dasar suatu Yayasan adalah suatu harta benda kekayaan yang dengan kemauan memiliki ditetapkan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Pengurus yayasan juga ditetapkan oleh pendiri Yayasan itu. Pendiri dapat mengadakan peraturan untuk mengisi lowongan dalam pengurus. Sebagai badan hukum yang dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat, artinya dapat dijual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain dengan mempunyai kekayaan terpisah dari barang-barang, kekayaan orang yang mengurus Yayasan itu.[12]
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil. Bahwa yayasan harus bertujuan sosial dan kemanusiaan sangat jelas dari pandangan Hayati Soeroredjo. Menurutnya yayasan harus bersifat sosial dan kemanusiaan serta idialistis dan pasti tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,ketertiban umum, dan atau kesusilaan.[13]
Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa yayasan merupakan suatu badan usaha yang lazimnya bergerak di bidang sosial dan bukan menjadi tujuannya untuk mencari keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk melakukan usaha yang bersifat sosial.[14]

D.2. Kedudukan Yayasan dalam Hukum Formal Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Masyarakat selalu berkembang dengan dinamis dari waktu ke waktu dalam berbagai aktivitas. Interaksi sosial antara anggota masyarakat telah menimbulkan hubungan hukum. Dalam konteks inilah eksistensi hukum sangat signifikan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam masyarakat, walaupun terkadang hukum cenderung tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Fenomena ini dapat dilihat dalam pengaturan hukum tentang yayasan.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Yayasan selama ini lebih dipahami sebagai suatu organisasi sosial nirlaba atau tidak mencari keuntungan dalam kegiatannya, bila seseorang atau beberapa orang akan melakukan kegiatan yang penuh idealisme serta bertujuan sosial dan kemanusiaan, biasanya bentuk organisasi yang dipilih adalah yayasan.
Kegiatan sosial yang dipilih terutama menyangkut bidang kesehatan, pendidikan dan panti-panti sosial. Wadah yayasan dipergunakan oleh para pendirinya untuk melakukan berbagai kegiatan sosial untuk kepentingan umum.
Secara historis Yayasan sebagai wadah kegiatan sosial sudah ada sejak awal sejarah. Para Pharaoh, lebih dari 1000 SM, telah memisahkan sebagian kekayaan untuk tujuan keagamaan, Xenophon mendirikan Yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan hewan-hewan korban. Plato menjelang kematiannya pada tahun 347 SM, membagikan hasil pertanian dari tanah-tanah yang dimilikinya, untuk selamalamanya disumbangkan bagi akademia yang didirikannya. Ini mungkin Yayasan pendidikan yang pertama tercatat dalam sejarah.[15]
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) sudah diakui, dan diberlakukan sebagai badan hukum, namun status yayasan sebagai Badan Hukum dipandang masih lemah, karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan dalam masyarakat atau yurisprudensi.
Pada saat itu masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status Badan Hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Pada hal peranan yayasan disektor sosial, pendididkan, dan agama sangat menonjol, tetapi tidak ada satu Undang-undang pun yang mengatur secara khusus tentang yayasan.
Dengan ketidakpastian hukum ini yayasan sering digunakan untuk menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain, bahkan yayasan dijadikan tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, namun yayasan digunakan untuk usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek manifestasinya.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mulai berlaku tanggal 6 Agustus 2002. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 disahkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 perubahan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pendirian yayasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang lingkup gerak yayasan di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama hanya didasarkan pada hukum kebiasaan ataupun jurisprudensi meskipun mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian dengan kebutuhan. Dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang yayasan di Indonesia, maka juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat pendirian yayasan, juga tidak ada suatu ketentuan yang menjelaskan bahwa yayasan harus didirikan dengan akta notaris.
Dalam perkembangannya yurisprudensi Indonesia ada pendapat dari Pengadilan Umum mengenai yayasan sebagai berikut, yaitu:
a)  Yayasan Sukapura dan Wakaf Sukapura adalah wakaf atau badan hukum. (Putusan Mahkamah Agung No. 152K/Sip/1969 tertanggal 26 November 1969);
b)  Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tentang:
-      bahwa yayasan Dana Pensiun HRM tersebut didirikan di Jakarta dengan nama "Stichting Pensiunfounds H.B.M. Indonesie" dan bertujuan menjamin keuangan para anggotanya.
-      bahwa para anggotanya ialah pegawai-pegawai N.V.H.M.B;
-      bahwa yayasan tersebut mempunyai pengurus sendiri terlepas dari N.V.H.M.B. dimana ketua dan bendahara dipilih oleh direksi N.V.H.B;
-      bahwa pengurus yayasan tersebut mewakili yayasan di dalam dan di luar Pengadilan; 
-      bahwa yayasan rnempunyai harta sendiri, antara lain harta benda hibah dari N.V.H.M.B; dan
-      bahwa dengan demikian yayasan tersebut merupakan badan hukum.
c)      Putusan Mahkamah Agung tanggal 20 April 1977 No.601 K/Sip/1975.
Bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima karena dalam surat gugatannya disebutkan tergugat sebagai pihak yang menjual rumah milik yayasan seharusnya tergugat sebagai pengurus yayasan.
Berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku umum di masyarakat, maka dapat dikemukakan ciri-ciri yayasan sebagai suatu entitas hukum sebagai berikut:
1.      Eksistensi yayasan sebagai entitas hukum di Indonesia belum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas berbeda halnya dengan PT, Koperasi dan badan hukum yang lain;
3.      Yayasan dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, untuk tujuan religius sosial keagamaan, kemanusiaan dan tujuan-tujuan idiil yang lain;
4.      Yayasan didirikan dengan akta notans atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan;
5.      Yayasan tidak menuhi anggota dan tidak dimiliki oleh siapapun, namun mempunyai pengurus atau organ untuk merealisasikan tujuan yayasan;
6.      Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat adanya kekayaan terpisah dan kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiri beda atau lepas dan tujuan pribadi pendiri atau pengurus;
7.      Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang, sebagai subyek hukum mandiri yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan didaftarkan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat; dan
8.      Yayasan dapat dibubarkan oleh Pengadilan bila tujuan yayasan bertentangan dengan hukum, dapat dilikuidasi dan dapat dinyatakan pailit.[16]
Setelah disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan barulah segala hal dan pengertian yayasan baru jelas.
Yayasan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yaitu: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”. Berdasarkan pengertian Yayasan ini, Yayasan diberikan batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan tujuan pendirian Yayasan tersebut.  Sehingga tidak terjadi kekeliruan persepsi tentang Yayasan dan tujuan diberikannya Yayasan. Yang geraknya terbatas di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan sehingga tidak dipakai sebagai kendaraan untuk mencari keuntungan.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dengan Undang-undang Nomor. 28 Tahun 2004 dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Selain itu, mengingat peranan Yayasan dalam masyarakat dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka penyempurnaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan pula agar Yayasan tetap dapat berfungsi dalam usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Cepatnya perubahan atas Undang-undang yang mengatur tentang Yayasan ini menunjukkan bahwa masalah yayasan tidak sederhana dan badan hukum ini memang diperlukan oleh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 ini tidak mengganti Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan ini hanya sekedar mengubah sebagian pasal-pasalnya saja. Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaaan dan akuntabilitas.
Undang-undang ini menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang ini dan diharapkan akan menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan.
Yayasan sebagai organisme dalam hukum, dalam kegiatan rutin maupun tertentu yayasan dibina, diurus, dan diawasi oleh organ yayasan. Adapun sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan: “Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas”
1.  Pembina
Pembina dalam yayasan memiliki kedudukan tertinggi dimana pengawas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 yang berbunyi: Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang ini atau anggaran dasar. Kewenangan         yang diberikan kepada pembina adalah kewenangan yang benar, karena pada umumnya pembina adalah pendiri yayasan tersebut.
Kewenangan yang besar tersebut sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 berbunyi: Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.       Kebutuhan mengenai perubahan anggaran dasar.
b.      Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas.
c.       Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan.
d.      Penyelesaian program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan.
e.       Penetapan  keputusan        mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Dengan kewenangan tersebut di atas tampaknya seperti segalanya ditentukan dan diatur oleh pembina. Namun jika dicermati ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut di atas, kewenangan tersebut hanya kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas. Sesungguhnya pembina mengangkat pengurus dan pengawas, namun pembina tidak boleh mencampuri urusan pengurus dan pengawas, hal ini dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 yang berbunyi: Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan atau anggota pengawas. Demikian juga ketentuan Pasal 31 ayat 3 juncto Pasal 40 ayat (4).

2.      Pengurus
Pengurus adalah organ dalam yayasan yang melaksanakan kegiatan/ pengurusan yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001. Adapun guna menjalankan kegiatan pengurus, maka organ pengurus terbagi atas:
a.       Ketua.
b.      Sekretaris.
c.       Bendahara.
Karena    pengurus diberikan      wewenang untuk menjalankan kegiatan yayasan, maka pengurus bertanggung  jawab untuk  kepentingan dan tujuan yayasan.

3.      Pengawas
Pengawas adalah organ dalam yayasan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan tentang pengertian pengawas yayasan ini termuat dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001. Pengawas di dalam menjalankan tugasnya wajib dengan itikad baik dengan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan seperti yang dimuat dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001.
Yayasan sebagi badan hukum tentu harus memiliki sifat mandiri, tidak tergantung kepada orang atau badan hukum lainnya, melainkan hanya sebagai diri senditi yaitu yayasan tersebut, sehingga ketika sudah didirikan oleh orang atau badan hukum, maka kekayaannya akan menjadi kekayaan yayasan dan tidak dapat ditarik kembali, atau dibagi-bagikan kepada pendiri atau organ yayasan.
Keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu diwujudkan di dalam suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan disebutkan, yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Yang dimaksud dengan orang pada pasal ini adalah orang perseorangan dan badan hukum. Berarti yayasan hanya bisa didirikan oleh orang perseorangan saja atau boleh badan hukum saja. Makna dari memisahkan harta kekayaan pendirinya menunjukkan bahwa pendiri bukanlah pemilik yayasan karena telah sejak awal semula memisahkan sebagian dari kekayan pendirinya menjadi milik yayasan.
Disamping itu yayasan juga dapat didirikan berdasarkan surat wasiat, Pasal 9 ayat (3). Penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat. Pendirian yayasan berdasarkan wasiat wajib dilaksanakan, karena apabila tidak dilaksanakan, maka pihak yang berkepentingan dapat meminta pertanggungjawaban terhadap, ahli waris atau menerima wasiat yang bersangkutan. (Pasal 10 ayat (3))
Pendirian yayasan dilakukan dengan Akta Notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia, hal ini sudah ditentukan tegas dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, sehingga pembuatan akta secara notarial adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dengan memenuhi segala ketentuan notaris dalam pembuatan akta, baik pembacaan, waktu, wilayah kewenangan notaris maupun penandatanganan. 

C.3. Pengaturan Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Non Profit Oriented
Keberadaan Yayasan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala, yang pendiriannya dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin, dan yurisprudensi. Seringkali badan hukum Yayasan, disamping untuk tujuan sosial,  keagamaan, dan kemanusiaan, juga dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain yang  menyimpang dari tujuan semula penciptaan badan hukum ini.
Yayasan telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bukan untuk tujuan  sosial dan kemanusiaan, seperti untuk memperkaya diri sendiri atau pengurus yayasan, menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai suatu lembaga pendidikan untuk selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh bergagai aktifitas dari Negara atau penguasa, dan berbagai tujuan lainnya.
Berbagai macam bentuk anggaran dasarnya Yayasan dibuat dengan semuanya para pendiri tanpa memperhatikan unsur-unsur sosial kemasyarakatan dan mereka mengatur kehendak mereka di dalamnya sehingga jadilah Yayasan-yayasan itu pengurus di balik wajah sosial. Hal ini terjadi karena hukum positif yang khusus mengatur tentang Yayasan memang belum ada, kalaupun ada pengaturan atau penyebutan yayasan hanyalah dalam beberapa pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tidak tegas mengatur tentang keberadaan Yayasan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan dan telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan di Indonesia. Yayasan mempunyai dasar hukum yang kuat serta menjamin kepastian dan ketertiban hukum, dan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dengan tegas  menyebutkan: Yayasan adalah badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Pasal ini dengan tegas menempatkan dan memberikan status Yayasan sebagai suatu badan hukum serta tujuan adalah di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dan juga mempertegas bahwa di dalam Yayasan tidak ada anggota.
Undang-Undang Yayasan menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang didirikan dengan memperhatikan dan mematuhi keseluruhan persyaratan normative yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut. Ketentuan ini membawa konsekuenasi logis bahwa saat ini setiap pendirian Yayasan harus mengacu kepada ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan, sehingga akan menjadi jelas kedudukan dari Yayasan tersebut.
Esensi Yayasan sebagai badan hukum, berdasarkan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yaitu :
-    yayasan pada esensinya adalah kekayaan yang dipisahkan oleh Undang-Undang kemudian diberikan status badan hukum (Pasal 11 ayat (1);
-    kekayaan adalah untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Melihat esensi dari Yayasan ini, maka dapat ditegaskan bahwa Yayasan didirikan oleh seorang atau lebih dengan cara pendiri memisahkan harta kekayaan secara pribadi. Hal ini berbeda dengan pendirian Perseroan Terbatas yang terjadi karena perjanjian sedikitnya dua orang atau lebih yang masing-masing persero membentuk suatu persekutuan modal.
Yang dimaksud dengan kekayaan Yayasan disini adalah yang lazim disebut dengan kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi atau para pendiri dan dijadikan asset Yayasan dalam rangka melakukan maksud dan tujuan Yayasan. Harta kekayaan Yayasan dapat berbentuk uang atau benda. Yang dimaksud dengan benda yang menjadi kekayaan awal tersebut adalah dapat berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud yang dapat diganti dengan uang.
Uang atau benda yang menjadi kekayaan awal Yayasan tersebut tidak lagi mempunyai kaitan dengan pendiri, karena dalam undang-undang telah ditentukan harus dipisahkan dari kekayaan pribadi atau para pendiri, selanjutnya harta    kekayaan atau asset tersebut sepenuhnya beralih atau menjadi milik Yayasan. Hal penting dari ketentuan Undang-Undang ini bahwa Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. Yayasan dapat melakukan pernyataan dalam berbagai bentuk yang bersifat prospektif dengan ketentuan bahwa seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (duapuluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Sejak diundangkannya kedua Undang-Undang Yayasan tersebut maka sudah jelas dan pasti apa-apa sajakah organ-organ dari suatu Yayasan, sehingga terjadi keseragaman mengenai apa dan siapakah organ dari suatu Yayasan. Berbeda dengan sebelum diundangkannya kedua undang-undang Yayasan tersebut, karena tidak ada aturan yang jelas mengenai apa dan siapakah organ Yayasan itu, maka sering terjadi tumpang tindih atau dirangkapnya beberapa organ pada orang yang sama, misalnya menjadi pengurus. Bahkan kadangkala suatu Yayasan mempunyai Pelindung, Penasehat, Dewan Pertimbangan, bahkan anggota.
Pokok ketentuan lainnya, dalam Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tudak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.
Sebagai organ yayasan yang menjalankan kegiatan atau beroperasinya Yayasan, Pembina, Pengurus, Pengawas, Yayasan sebagai lembaga wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya. Dengan demikian yayasan dijalankan bukanlah semata-mata untuk mencari keuntungan (non profit oriented).
Asas nirlaba atau non profit adalah tidak mencari laba atau keuntungan.   Suatu keuntungan dapat terjadi jika suatu modal jika diusahakan ternyata memperoleh hasil yang melebihi modal tersebut. Untuk nirlaba  atau non profit, modal yang ada tidak diolah untuk memperoleh keuntungan, melainkan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.[17]
Pada dasarnya Undang-Undang Yayasan menganut asas nirlaba atau non profit. Undang-Undang dengan tegas mengatur mendirikan yayasan bukan untuk bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tentang pengertian yayasan, bahwa tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Asas tersebut juga terlihat pada Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas ini artinya ketiga organ yayasan tersebut tidak boleh mencari keuntungan dengan menggunakan lembaga yayasan. Sejalan dengan asas nirlaba atau non profit tersebut, dapat diketahui bahwa yayasan bukan sebagai perusahaan. Yayasan dalam menjalankan kegiatannya tidak mencari keuntungan, sedang perusahaan secara nyata bertujuan mencari keuntungan.           Dalam yayasan tidak mengenal modal, tetapi istilahnya adalah kekayaan. Kekayaan tidak digunakan untuk proses produksi atau perdagangan, melainkan digunakan untuk kepentingan kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Selain itu dalam yayasan tidak mengenal adanya laba dan tidak ada pembagian laba kepada pengurus yayasan.   
Yayasan boleh mendirikan badan usaha, dasar hukumnya adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Yayasan yang menyebutkan, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Kemudian ketentuan tersebut tampak dipertegas dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.
Kiranya menjadi jelas bahwa yayasan dalam kegiatannya boleh dan patut melaksanakan aktifitas komersial seperti halnya perusahaan biasa, akan tetapi surplus atau keuntungan yang diperolehnya diperuntukkan bagi pencapaian maksud dan tujuan di bidang sosial, keagamaan amupun kemanusiaan. Dengan demikian, makna nirlaba atau non profit menjadi jelas bahwa surplus atau keuntungan yayasan tidak boleh di distribusikan atau dibagikan kepada siapapun, tetapi diperuntukkan untuk kepentingan yayasan sendiri dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Mendirikan badan usaha artinya mendirikan perusahaan. Yayasan mendirikan perusahaan, dengan maksud perusahaan itu yang mencari keuntungan. Yayasan mencari keuntungan melalui perusahaan yang didirikan. Yayasan berkedudukan sebagai pendiri perusahaan. Yayasan tidak mengurus atau mengelola langsung perusahaan. Perusahaan diurus oleh pihak lain dalam menjalankan usahanya.
Perusahaan yang didirikan dapat berbentuk perusahaan perorangan seperti membuka toko atau usha dagang, firma, CV, atau perseroan terbatas (PT). sehubungan dengan itu, Pasal 8 Undang-Undang Yayasan menberikan batasan, bahwa kegiatan usaha perusahaan yang didirikan harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan, serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, atau peraturan perundangan yang berlaku.
Mendirikan perusahaan tidak terlepas harus menyediakan modal. Oleh karena itu yayasan harus menyisihkan dana yang berasal dari kekayaan yayasan, untuk kepentingan penyetoran modal untuk perusahaan yang didirikan. Dari modal yang ditanamkan itu, nantinya jika perusahaan tersebut memperoleh keuntungan, maka yayasan akan mendapat bagian dari keuntungan itu.
Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) diatas, selain mendirikan perusahaan, yayasan juga dapat ikut serta dalam suatu badan usaha. Sehubungan dengan itu, Pasal 7 ayat (2) memberikan batasan besarnya penyertaan modal usaha yang bersifat prospektif, dengan maksimal seluruh penyertaan tersebut sebesar 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Dengan pembatasan tersebut dimaksukan agar kekayaan yayasan jangan sampai tesedot kepada kepentingan penyertaan modal usaha tersebut, sedangkan pencapaian tujuan yayasan akan menjadi kurang diperhatikan.
Mengenai hasil usaha atau keuntungan perusahaan yang diberikan kepada yayasan menjadi milik yayasan atau kekayaan yayasan. Oleh karena menjadi milik yayasan, maka sejalan dengan itu Pasal 3 ayat (2) melarang, bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha itu kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Ini untuk menghindari agar jangan sampai anggota yayasan memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi dari hasil keuntungan perusahaan.
Disamping itu terdapat larangan pengalihan harta yayasan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu, bahwa kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang-Undang Yayasan, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung, baik dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
Dapat dilihat Yayasan-yayasan yang didirikan oleh penguasa, orde  baru misalnya, yang sampai saat ini sulit untuk dimintakan pertanggungjawaban organ yayasan mengenai harta kekayaan (asset) yayasan-yayasan tersebut. Belum lagi yayasan-yayasan yang didirikan oleh orang-orang pandai yang melakukan kegiatan menghimpun dana-dana tertentu dari masyarakat (misalnya sepak terjang Yayasan Amalilah,[18] yang menjanjikan sejumlah uang bagi anggota yang telah menyetorkan iuran kepada Yayasan, atau Yayasan yang berkedok mengumpulkan dana untuk olah raga, Yayasan Dana Pensiun, Yayasan TMII). Yayasan-yayasan yang ada saat itu memiliki banyak sekali kegiatan usaha, yang dalam prakteknya sama sekali jauh dari nilai-nilai sosial. Kegiatan usaha yayasan dilakukan dengan dikemas seolah-olah merupakan kegiatan sosial tetapi sesungguhnya hanyalah mesin pencetak uang bagi pendiri dan pengurusnya.
Yayasan-yayasan tersebut pada umumnya memobilisasi dana dari masyarakat, yang dilandasi oleh kepentingan bangsa dan Negara. Akan tetapi mobilisasi dana tersebut dilakukan tanpa dilandasi dengan dasar hukum yang cukup, sehingga dapat memiliki saldo yang sangat besar namun pihak yayasan tidak mengumumkan dan mempertanggung jawabkan kepada publik yang notabene merupakan sumber dana yayasan. Sehingga pada akhirnya akan menguntungkan Pendiri dan Pengurus yayasan tesebut beserta kroni-kroninya.
Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Yayasan jangankan untuk membagikan hasil usaha kepada Pendiri dan Pengurus, kekayaan yang diperoleh yayasan secara langsung tidak dapat dialihkan atau dibagikan baik dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium. Tetapi tentu saja undang-undang memberikan jalan keluar atas ketentuan tersebut karena tidak semata-mata orang yang bekerja untuk yayasan juga tidak diperkenankan memperoleh imbalan, yaitu dimana pengurus yayasan dapat menerima upah, gaji atau honorarium apabila pengurus itu bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, Pembina dan pengawas, dan melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.
Dengan diundangkannya Undang-Undnag Nomor 16 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, membawa perubahan yang sangat signifikan bagi keberadaan Yayasan sebagai badan hukum di Indonesia. Penegasan yayasan sebagai badan hukum dan prosedur untuk mendirikan dan memperoleh status badan hukum dengan jelas diatur dalam Undang-Undang Yayasan tersebut.


E.     Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tersebut di atas maka disimpulkan bahwa:
1.  Kedudukan yayasan dalam hukum formal sebelum dan sesudah berlakunya undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan mengalami perubahan yang sangat signifikan dimana sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Pendirian yayasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang lingkup gerak yayasan di Indonesia hanya didasarkan pada “hukum kebiasaan” ataupun jurisprudensi meskipun mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian dengan kebutuhan. Dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang yayasan di Indonesia, maka tidak ada pedoman yang pasti tentang syarat-syarat pendirian yayasan. Setelah berlakunya undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan serta tidak mempunyai anggota, serta dalam pendiriannya harus berdasarkan hukum formal yang berlaku.
2.  Pada dasarnya Undang-Undang Yayasan menganut asas nirlaba atau non profit. Undang-Undang dengan tegas mengatur mendirikan yayasan bukan untuk bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tentang pengertian yayasan, bahwa tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Asas tersebut juga terlihat pada Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas ini artinya ketiga organ yayasan tersebut tidak boleh mencari keuntungan dengan menggunakan lembaga yayasan.


DAFTAR PUSTAKA
Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, Tentang Yayasan, Citra Umbara, Bandung, 2003
Budi Untung, Reformasi Yayasan dalam Perpekpektif Manajemen, Sinar Grafika,  Jakarta, 2002
Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999
Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000
C.S.T. Karsil, dan JM. Christine Kansil, Pokok-pokok Bahan Hukum,  Harapan, Jakarta, 2002
Gatot Suparmono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Hayati Soeroedjo, Status Hakim Yayasan Dalam Kaitannya Dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1989
Hariyono, Iwan Nugroho, dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, 2013
Henry Campbell, Black Law Dictionary, West Publishing Co, St Paul Minn, 1990
Hisbllah Syawie, Aspek-aspek Hukum Mengenai Yayasan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Semarang, 1998
R. Ali  Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2001
Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha, Bina Ilmu, Jakarta, 1989
Setiawan, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55, Jakarta, 1995
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Sokanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1989
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan





[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Sokanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1989, hal. 5-6
[2] Hariyono, Iwan Nugroho, dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, 2013, hal. 2
[3] R. Ali  Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2001, hal. 107
[4] Setiawan, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55, Jakarta, 1995, hal. 112
[5] Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 1
[6] C.S.T. Karsil, dan JM. Christine Kansil, Pokok-pokok Bahan Hukum,  Harapan, Jakarta, 2002, hal. 1
[7] Chaidir Ali, op cit, hal. 7
[8] C.S.T Kansil, op cit, hal. 9
[9] Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal. 5
[10] Ibid.,
[11] Henry Campbell, Black Law Dictionary, West Publishing Co, St Paul Minn, 1990, hal. 88
[12] Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan, Citra Umbara, Bandung, 2002, hal. 18
[13] Hayati Soeroredjo, Status Hukum dari Yayasan dalam Kaitannya dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal. 7
[14] Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha, Bina Ilmu, Jakarta, 1989, hal. 9
[15] Chatamarrasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 2
[16] Budi Untung, Reformasi Yayasan dalam Perpekpektif Manajemen, Sinar Grafika,  Jakarta, 2002, hal. 4
[17] Gatot Suparmono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 110
[18] Berkedok Yayasan Amalilah, Koperasi Tipu Ratusan Orang. ttp://www.kapanlagi.com, diakses 27 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar