Abstrak
Aspek pemerintahan daerah sebagai bagian integral dalam pemerintahan
negara, sampai kini masih tetap sebagai
salah satu masalah aktual untuk dibahas dinegara kesatuan Republik Indonesia . Sebab penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan sendi atau hal yang esensil dari
negara kesatuan dengan sistem seperti
yang dianut dalam politik di Indonesia
saat ini.
Sebagaimana diketahui, konsep negara kesatuan bila ditinjau dari
aspek hubungan antara pemerintah daerah
(lokal goverment) dan pemerintahan pusat (central government), di kenal
dua bentuk negara kesatuan, yaitu negara kesatuan desentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem sentralisasi.
Gagasan mengenai negara kesatuan dalam Undang-Undang Dasar 1945
dapat dipahami dari pembukaannya, antara lain menyatakan : “ … untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Kemudian gagasan itu dipertegas lagi dalam pasal 1 ayat (1) Undang_undang
Dasar 1945, yaitu : “… Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.
Jelaslah, bahwa bentuk dan susunan negara Indonesia adalah negara kesatuan bukan
negara serikat ( federal).
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah
dalam suatu negara kesatuan dan
sebagai sub-sistem dari pemerintahan di
daerah dan sebagai sub-sistem dari
pemerintahan pusat, dapat dilaksanakan berdasarkan azas desentralisasi dalam rangka
demokratisasi dan efektivitas serta
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
A. PENDAHULUAN
Prinsip pemerintahan yang baik (good govemance) adalah buah nyata yang dihasilkan
reformasi. Tidak dapat dipungkiri gerbong reformasi membawa dampak yang begitu
besar tefiadap pemerintahan di daerah. UU No. 5 Tahun 1974 yang dianggap
sebagai biang keladi ketidakmampuan atau ketidakberdayaan daerah daiam
menghadapi persoalan pembangunan di daerah diubah menjadi UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Secara eksplisit dari perubahan UU ini diharapkan
berbagai bidang penyetenggaraan pemerintahan dan kewenangan pemerintahan dapat
dikontribusikan kedaerah (loco seeara berkeadilan mefalui prinsip-prinsip
otonomi.
Begitu besar paradigma baru yang
ditawarkan UU No- 22 Tahun 1999 bagi pemberdayaan potensi daerah, senyatanya
tidaklah diikuti dengan sinergi berbagai bidang hukum. Produk perundang-undangan yang seyogianya memberikan kontribusi harmonisasi
tehadap suatu perubahan besar, nyatanya kurang memberikan andil. Kewenangan
yang diberikan kepada daerah, hanya terbatas pada hitungan deret angka dan
deret hitung. Daerah tidak
menerima kewenangan utuh di bawah payung UU No. 22 Tahun 1999.
Apabila bita cara penyelenggaraan
pemerintahan di masa Orde Baru kita katakan sungguh jauh dari praktik manajemen
yang efisien, efektif, dan berkualitas. Diikuti birokratisme kental dan caracara
represif, sehingga yang tampak adalah ciri-ciri birokrat yang menekankan pada
peraturan dan prosedur administratif yang begitu berlebihan. Sebaliknya saat
ini setelah UU No. 32 Tahun 2004 menggantikan posisi UU No. 22 Tahun 1999,
"pemerintah daerah" yang merupakan institusi publik paling dekat
dengan masyarakat, juga terjebak dalam birokratisme. Masyarakat bukannya mendapatkan
pelayanan yang cepat, tepat waktu, dan sekaligus bermutu dalam
menumbuhkembangkan aktivitas-aktivitasnya, malah pemerintah daerah sendiri yang
tampaknya meminta pelayanan.
Berbagai potensi perubahan sosial-ekonomi
vang ada dalam masyarakat yang seharusnya didorong pemerintah daerah, tapi
karena prosedur administrasi yang berbelit-belit dan kontrot yang ketat,
potensi itu tidak bisa termanifestasikan. kalaupun ada, perubahan
sosiai-ekonomi itu hanya manyangkut kaiangan yang terbatas. Karena itu birokrasi
di daerah menjadi kontraproduktif, lebih menunjukan kerja sebagai institusi
publik yang konsumtif, yang menggerogoti keuangan negara, bahkan menyedot
sumbersumber daya sosial-ekonomi yang ada pada masyarakat, bukannya
memfasilitasi dinamika masyarakat.
Di masa Orde Baru birokratisme pada
pemerintah di daerah sesungguhnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki otonomi karena tidak bisa
berbuat banyak dalam melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Sistem
mamajemen pemerintahan yang dirancang dan diimplementasikan lebih banyak
didasarkan pada kebijaksanaan dan instruksi dari pemerintah pusat.
Dalam konteks persoaian pengambiian
keputusan yang sentralistik itulah, mana mungkin pemerintah daerah di masa Orde
Baru bisa mandiri. Ia hanya sebagai subordinasi dan langsung di bawah kontrol
pemerintah pusat. Karakteristik birokratisme pemerintah daerah merupakan cermin
dari otoritarianis mebirokratik negara itu sendiri. Tetapi, kondisi yang
demikian irti menguntungkan pula pemerintah daerah karena bila ada yang
mempertanyakan atau mengkritik kinerjanya yang birokratis itu, ia bisa
berdalih, itu adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat!"
Dengan demikian, merebaknya praktik KKN pada pemerintah daerah serta
penyelenggaraan pemerintah yang tidak efisien dan cenderung reaktif disebabkan
karena pemerintah daerah itu sendiri tidak memiiiki otonomi daerah bagian dari
rezim negara Orde Baru yang otoriter-birokratik dan sentralistik.
Jika di simak perdebatan awal sebelum
keluarnya UU No. 5 Tahun 1974. Timbul perbedaan pendapat yang
panjang mengenai pencantuman kata "di" pada judu! "Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah" dalam pembahasan di DPR. Apakah kata
"di" perlu dicantumkan atau tidak? Pada akhimya, dengan Undangundang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kata "di"
dihilangkan untuk melekatkan kesan adanya "otonomi" daerah. Dengan
demikian, kata "di" sangat penting artinya karena kata tersebut
menunjukkan keotonomiannya. UU Nomor 5 Tahun 1974 mengatur mengenai
pemerintahan yang ada di daerah, bukan mengatur pemerintah daerah. Ada suatu
pesan normatif (gaya dan rasa bahasa) bahwa pemerintah daerah memang harus
tunduk pada pemerintah pusat atas aturan-aturan yang dibentuknya tersebut.
Kembali ke persoalan Good Governance. Dalam upaya mewujudkan
pemerintahan yang baik tersebut seperangkat elemen haruslah dipenuhi seperti
transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas. Tak pelak
prinsip-prinsip ini telah menjadi suatu kebutuhan dasar bagi suatu
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Prinsip penegakan hukum misalnya adalah
berfungsi untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak
manusia dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Dikaitkan dengan prinsip
keterbukaan dan akuntabilitas, kedua prinsip ini akan berinteraksi secara
langsung dengan aturan hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dimaksud
melaiui kepercayaan dan peran masyarakat.
Penegakan (handhaving) hukum adalah manifestasi
kewibawaan negara hukum yang bersaranakan kepada UU. Legitimasi bahwa UU
merupakan instrumen bekerjanya negara hukum selalu harus didefragment ulang
pada setiap pengaturan dan penetapan persoalan berbangsa dan bemegara di
Republik tercinta ini. Dengan kata lain kewenangan pengaturan seyogianya
dikembalikan kepada representasi rakyat yang dipegang oteh DPR. Pemerintah
"hanyalah" pelaku pelaksana (eksekutor) terhadap pengaturan yang
telah dibuat DPR, bukan untuk mengatur secara luas. Perlu dipikirkan kembali
praktek perundang-undangan di Indonesia dengan melihat pada aspek politik
perundang-undangan, sehingga kewenangan (bevoegheid) pemerintahan (meiiputi 3
cabang kekuasaan negara atau lebih) berjalan dalam koridor pembagian kekuasaan
yang bersumber pada keinginan rakyat.
II. Makna Pemerintahan yang Baik
Prinsip pemerintahan yang baik
adalah terjemahan dari istiiah good govemance yang berbeda dengan
istilah good
government (pemerintah yang baik). Konsep dasar good governance
adalah pada pengelolaan jalannya pemerintahan, pembangunan dan
peiayanan pubiik (the way of govenaance) pada
satu sisi; dan pada sisi lain adaiah berkaitan dengan berbagai upaya untuk
menangani apa yang harus diatur, dibangun atau diiayani (the matters of
govema6iiit)j. Dari dua konsep inilah lalu timbul pemikiran baru yang mengarah
pada perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan, yakni dari pola tradisional
menjadi po(a ko(aborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat sebagai
wujud interaksi sosial poiitik antara pemerintah dengan masyarakat dalam
menghadapi berbagai permasaiahan kontemporer yang demikian kompleks, dinamis
dan beranekaragam.
World Bank memberikan 6
indikator yang menunjuk pada good governance ini. Pertama, akuntabilitas
poiitik, dengan menguji tingkat penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan
eksekutif dengan menetapkan sistem pemilihan dan batas waktu menduduki jabatan;
kedua, beban untuk berkumpul dan berpartisipasi seperti di bidang keagamaan,
sosiai profesi, relawan, dan media; ketiga, jaminan hukum seperti keamanan,
periakuan hukum dan perlindungan dari campur tangan pihak luar; keempat,
akuntabiiitas birokrasi, yaitu menciptakan sistem untuk memonitor dan
mengontroi kinerja dalam kaitannya dengan kuatitas, inefisiensi, perusakan
sumber daya alam dan transparansi dalam manajemen keuangan, pengadaan akunting,
dan pengumpulan sumber dana; kelima, ketersediaan, vaiiditas dan anaiisis
informasi; dan keenam, manajemen sistem publik yang efektif dan efisien.
Secara lebih rind dan konkret yang
menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini adaiah:
menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam,
menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saiing
bersaing; menaptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat
bebas mengenai isyu-isyu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal
untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk keamanan dan
kesejahteraan kolektif, mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga
persaingan pasar ketika monopoli mengancam, menjaga keamanan sosial melalui
kontrol sarana kekerasan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui
sistem pendidikan, menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin
perselisihan ditangani secara adil atau tidak diskriminatif.
Selanjutnya, memainkan peran
ekonomis secara langsung, yaitu sebagai pemberi kerja daiam intervensi makro
maupun mikroekonomi, plus penyediaan infrastruktur "membudayakan"
masyarakat-pemerintah untuk mampu merefleksikan nilai dan norma yang beriaku
secara luas dalam kehidupan masyarakat, tapi juga bisa membantu dalam
pembentukan nilai dan norma tersebut melalui nilai pendidikan dan ragam media;
melaksanakan sistem administrasi yang efisien dan efektif, yaitu mempertahankan
pelayanan kepada warga negara kualitas yang tinggi, memproteksi lingkungan agar
tidak dieksploitasi secara sembarangan, dan mendorong aliansi regional dan
transnasional, serta meraih sasaran global.
Keseluruhan prinsip pemerintahan yang
baik (good governance) ini disarikan oleh UNDP ke dalam 8 karakter,
yaitu: participation,
rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness & effeciency, accountability, dan strategic vision.
IlI. Prasyarat Penerapan Pemerintahan yang Baik
Hal
yang paling penting untuk mendukung penerapan good govemance ini adalah
prasyarat. Ada dua
prasyarat yang harus dipenuhi untuk implementasi good govemance,
yaitu perubahan pada internal organisasi dan keterlibatan, baik langsung atau
tidak dari institusi kemasyarakatan.
Dalam konteks perubahan internal organisasi; pertama, struktur organisasi
pemerintah di daerah harus mengalami perubahan, ramping, dan lebih sedefiana.
IN dimaksud untuk memotong jalur birokrasi, memudahkan dan mempercepat
pengambilan keputusan, dan kedua, mengurangi biaya operasional, yaitu
mengurangi jumlah karyawan. Ini untuk mengurangi beban biaya bagi membayar
pegawai serta mengoptimalkan kemampuan kerja pegawai itu sendiri. Ketiga,
melakukan proses teknologisasi. Sarana kerja harus diubah tidak bertumpu pada
tekno[ogi yang manual, tapi harus muiai menggunakan teknologi informasi. Hal
ini untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan serta mengintegrasikan diri
pada jaringan informasi yang lebih luas, melewati batas regional nasional yang
sudah jadi tuntutan imperatif dalam sistem perekonomian dan kebudayaan global.
Kita sadarii mungkin prasyarat perubahan internal
organisasi itu untuk waktu dekat tidak bisa dilakukan secara mendariak. Karena
pemberlakuan otonomi daerah, daerah dibebani pelimpahan pegawai yang berasal
darf pusat, sementara keuangan pemerintah daerah masih terbatas. Tetapi,
se(angkah demi selangkah, perubahan organisasi dan teknologi itu harus tetap
diiaksanakan. Umpamanya pemerintah daerah tidak tagi menerima pegawai baru yang
bukan pelimpahan dari pusat untuk beberapa tahun mendatang. Struktur organisasi
bisa mulai dirampingkan, masing-masing bagian diperiuas tugas dan fungsinya.
Perluasan fungsi sekaligus menampung jumlah karyawan hasii dari
pelimpahan itu. Juga proses teknologi informasi sudah bisa mulai supaya daerah
segera bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai tempat di beiahan dunia
untuk kepentingan daerah sendiri.
Sementara itu, prasyarat kedua untuk
mendukung jalannya good governance bersangkut-paut dengan
peran institusi-institusi kemasyarakatan. Premis ilmu sosiotogi menyebutk4n
bahwasetiap institusi akan mengaiami kesukaran untuk bisa mengubah,
memperbaiki citra dan kinerjanya jika tidak memperoleh bantuan dan pengawasan dari
institusi di luar dirinya. Konsep good governance dilandasi oleh premis ilmu
sosiologi ini; bahkan mejadikan salah satu prasyarat utama bagi
implementasinya. Apabila kita dekati dari sudut pandang demokrasi, maka
prasyarat kedua ini berkait erat dengan prinsip keterbukaan yang-merupakan
syarat minimum demokrasi yang merupakan suatu conditfo sine quanon.
Harus diakui penerapan good govemance
itu tidak akan sekali jadi. Di sini masalahnya adalah menyangkut
pengalaman, bahwa organisasi pemerintah di daerah sekarang belum banyak
memiliki pengalaman dalam metaksanakan konsep good govemance: Imp(ementasi good
governance,
pertama, dengan belum dimilikinya pengalaman yang memadai, kelompok sipil
masyarakat harus membantu proses pembelajaran pemerintah daerah dalam upaya
menerapkan konsep goad govemance. Kedua,
di samping memberikan dukungan dan konsultasi, juga kefompok sipii masyarakat
harus berperan sebagai penekan dan pengontrol agar pemerintah daerah memiliki
kemauan politik untuk menerapkan atau mempraktikan good govemance tersebut.
Melalui prasyarat kedua inilah
otonomi daerah memiliki kegunaan langsung bagi masyarakat, bukan sekadar untuk
pemerintah daerah sendiri karena di situ ada keteriibatan masyarakat. Selama
ini otonomi daerah hanya menjadi wacana dan praktik untuk kemandirian
pemerintah daerah tanpa banyak membincangkan di mana posisi dan peran masyarakat
dalam otonomi tersebut.
Juga dengan adanya peran
institusi-institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah, haf itu
berarti menunjuk adanya demokratisasi yang partisipatif. Masyarakat yang terepresentasikan
dalam berbagai institusi kenegaraan terlibat dalam proses pengambilan keputusan
yang terkait dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Disinilah konsep good govemance befiubungan
dengan demokrasi karena di dalam konsep good govemance negara melalui institusi
pemerintahannya dituntut bermitra dengan masyarakat dan satu sama lain saling
mengontrol.
fmplementasi asas akuntabilitas pada
dasamya merupakan usaha dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good
govemance) dan dipercaya. Salah satu syaraf untuk dapat mengimplementasikan
azas akuntabilitas adalah sumberdaya manusia yang berkualitas, dalam arti bahwa
aparatur pemerintah haruslah professional, dengan ciri-ciri: memiliki wawasan
yang luas dan dapaf memandang masa depan,
memiliki kompetensi di bidangnya, memiliki jiwa berkompe&ilbersaing secara
jujur dan sportif, menjunjung tinggi etika profesi.
IV. Prinsip Pemerintahan
yang Baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 Dan Penerapanya Daiam Pemerintahan di
Daerah
Apakah UU No. 32 Tahun 2004 mengatur
prinsip pemerintahan yang baik? Mari kita lihat beberapa pasal terkait dalam UU
ini, yaitu:
Pasal 23
ayat (2):
Pengelolaan
keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien,
efektif, transparan, akuntabel, tertib, adii, patut, dan taat ,oada peraturan perundang-undangan
(cetak miring penuiis).
Pasal
139 ayat (1):
Masyarakat
berhak memberikan masukan secara fisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan 3 aricanyan Pe,,aa_
(hak
masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib
DPR)
Filosofi yang mendasari pengaturan
pengelvlaan keuangan daerah dalam Pasal 23 ayat (2) ini adalah prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik. Menjadi catatan untuk kita bahwa peiaksanaan otonomi
daerah masih tericenda(a oleh tersendatnya aturan main yang mengikatnya (lihat
frasa kata yang dicetak miring), baik dalam tingkatan peraturan hubungan pusat
dan daerah, maupun antara lembaga-tembaga di daerah, misalnya antara DPRD dan
Pemerintahan Daerah. Sekalipun sejumlah peraturan dikefuarkan, baik setingkat
undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Keputusan
Menteri, tetap saja terdapat kendala. Kita sadari bahwa UU No. 32 Tahun 2004
ini menggotong: pertama, spirit desentralisasi yang secara ekonomi menekankan
pada upaya efisiensi dan e€ektifitas pengelolaan Sumber daya daerah untuk
meningkatkan "peiayanan umum" dan "kesejahteraan
masyarakat" di daerah; kedua, spirit good govemance yang mengedepankan
"transparansi, akuntabilitas" dan mendekatkan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan; serta kefiga, spirit UU Pemerintahan Daerah ini membawa
konsekuensi pada penyerahan urusan dan pendanaan (money follows funcfians). Hanya
saja sejauh mana spirit tersebut sudah diadopsc dalam instrumen praktek
penge(o(aan keuangan daerah.
Pengaturan PP No. 108l2(300 dan PP
No. 105120Q0, misalnya, setidaknya mengandung sejumlah kekeliruan atau tabrakan
dengan UU yang lebih atas. Sejumlah peraturan yang dibuat, baik UU No. 32 dan
33 Tahun 2004 {Pasaf 69 ayat (4): "ketentuan mengenai pokok-pokok
penyusunan RKA SKPD (rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah
diatur dengan peraturan pemerintah belum terbit), masih mengandung muiti
interpretasi, bahkan penolakan dari daerah. Ada ketidak konsistenan antara satu
peraturan yang febih tinggi dan peraturan di bawahnya, yang lebih diwamai
intervensi kepentingan politik otoritas pusat dan daerah untuk kepentingan
sendiri-sendiri.
Sementara itu prinsip keterbukaan
pemerintahan melalui peran serta {Enspraak} masyarakat yang diatur dalam
Pasal 139 ayat (4) juga masih menyisakan problemab7ca hukum. Penjelasan pasal
mendelegasikan pengaturan peran serta ini ke dalam bentuk "Peraturan Tata
Tertib DPRD", padahal kita pahami bahwa tata tertib bukan(ah berisikan
pengaturan ke luar tetapi sebatas pengaturan internal DPRD, sehingga menjadi
pertanyaan terhadap keberiakuan norma peran serta tersebut.
Prinsip keterbukaan ini merupakan
condifio sini quanon dari asas demokrasi_ Keterbukaan memungkinkan
partisipasi masyarakat secara aktif daiam
penyeienggaraan pemerintahan. Dalam prosedur ranoangan perda, masyarakat
berkemungkinan untuk ikut mengetahui (meeweter~, ikut memikirkan (meedenken)
bermusyawarah (meespreken), ikut
memutuskan dalam rangka petaksanaan (meebeslissen) dan ikut mernutus (medebeslissingsrechtj. Seyogianya keterbukaan dalam hubungan antara
pemerintah dan rakyat dapat dibuat dalam suatu UU (norma) administrasi sendiri,
sehinga cita negara hukum dan asas kekuasaan berdasarkan hukum secara nyata
dapat diwujudkan.
Tidak
beriebihan menyatakan pengaturan prinsip pemerintahan yang baik belum mendapat
porsi real dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengaturan dalam
Peraturan Tata Tertib jauh untuk dapat dikatakan "telah mengadopsi spirit
good govemace dalam instrumen aturan hukum". Di Belanda, asas keterbukaan
yang mulanya disebut asas "fair play diadopsi da[am AUPB (asas-asas umum
pemerintahan yang baik) dan sejak tahun 1980 asas ini dimasukan ke dalam wet
(UU) dan asas ini kemudian dikenai dengan sebutan openbaarheid van bestum Bagaimana di Indonesia?
VI. Beberapa
Langkah yang Perlu Ditakukan Untuk Terciptanya Local Good Govemance
Pertama,
amandemen UUD 1945: Langkah ini sangat penting, karena mempengaruhi
peraturan-peraturan di bawahnya. Konflik poiitik yang terjadi sepanjang riwayat
negeri ini, bersumber dari mutu konstitusi. Rekomendasi Komisi Konstitusi patut
dijadikan acuan perbaikan, khususnya yang menyangkut substansi kemanusiaan
ataupun hubungan antar lembaga demokrasi. Apabila konstitusi belum diamandemen,
sulit berharap perjalanan goodgovemanceakan menemukan arah yang tepat.
Kedua,
penegakan hukum masalah korupsi dan pengawasan
yudisial: Kedua lembaga yang berwenang dalam hal ini harus powerful dan
difindungi hukum. Lembaga anti korupsi harus juga mampu masuk ke
wiiayah-wifayah rawan, seperti militer, dan jaringan pejabat tinggi negara.
Lembaga antikorupsi harus juga tertutup dari semangat partisan, apalagi
politisi. Kalau hanya sebatas pengumvman harta kekayaan yang ditulis sendiri,
seperti haru-biru politik dalam setahun ini, itu, merupakan tipuan atas
transparansi dan akuntabi(itas pejabat-pejabat negara, baik sipii maupun
militer. Pengumuman du tidak ada gunanya, apabila tidak diselidiki asai-usuf
dari kekayaan itu.
Untuk
fembaga pengawasan yudisia! juga diharapkan mampu mengawasi pelaksanaan
penerapan hukum yang compang camping, pengawasan preventif dan refresif {Komisi
Yudisiat ?} yang melibatkan hakim dafam mafia peradi(an periu menjadi perhatian
Komisi Yudisiat dan meletakkan lembaga yudisial sebagai lembaga independen;
Intervensi kekuatankekuatan politik atas lembaga seperti MA, masih menunjukkan
bahwa utang politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam tingkatan
paling tinggi, adalah menerapkan pr insip-prinsip pembagian kekuasaan (distribuffon of
power}, yang dilakukan di pusat dan daerah.
Otonomi daerah harus ditingkatkan menjadi otonomi kekuasaan yang berbasiskan
lokal. Apabila periu, dibuat berbagai perangkat demokrasi lokal, termasuk
fembaga-fembaga pengawasan kinerja parlemen dan pemerintahan lokal, oleh
kalangan perguruan tinggi dan civil society lainnya.
Ketiga,
debirokratisasi; Birokrasi Indonesia adalah sumber kemacetan dalam merespons
tuntutan publik, juga lamban dalam menja[ankan tugasnya. .tumEah Pegawai Negeri
Sipil yang banyak, menimbulkan inefisiensi, di samping penumpukan tugas di
salah satu level birokrasi. Kepaia Desa, misalnya adalah korban dari model
birokrasi semacam ini, karena menerima tugas nasional dan lokal dari jajaran
birokrasi di atasnya, nyaris bersamaan. Dalam skala yang lebih kecil, Posyandu
juga mengalami penumpukan tugas, karena bias datang dari Departemen Kesehatan,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan, belum lagi dari birokrat swasta semacam Dharma Wanita, Kadin, KNPI,
dan Lembaga-Lembaga Pusat dan daerah, yang ingin menunjukkan "belas kasih°
mereka dengan model sinterklas. Dengan kata lain banyaknya kebijakan pemerintah
yang bernuansa "top-down, sehingga
memperiihatkan dominasi Pemerintah Pusat yang sangat tinggi. Akibatnya antara
lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengarl aspirasi daerah,
tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah, dan tidak banyak
mempertimbang kan keungguian dan kebutuhan lokal. Lebih jauh dampaknya akan
menimbulkan perbedaan dan konflik-konflik sosial dan lingkungan yang menjadi
mahal untuk mengatasinya
Keempat, persebaran ilmu pengetahuan; Pemberdayaan daerah otonom, juga mesti
diimbangi dengan melakukan distribusi ilmu pengetahuan secara bersamaan dan
merata. Bukan hanya dalam arti "muatan lokal" dalam sistem pendidikan
nasionai, terutama sekali daiam soal divesifikasi atas sumber-sumber iimu
pengetahuan, seperfi tenaga pengajar, buku-buku, dan sarana-sarana pendidikan
iainnya. Jakarta jangan lagi menjadi kiblat bagi kaum akademis agar dapat hidup
layak, melainkan langsung bisa berkiprah di daerah. Bagi lembaga-lembaga donor
iuar negeri, kebijakan ini sedikit banyak sudah dikembangkan, dengan melakukan
"kontrak kerjaA dengan calon dari peraih beasiswa yang disponsorinya untuk
berkiprah di daerah. Pemerintahan daerah harus makin banyak mengeluackan ikatan
dinas bagi kaiangan mudanya untuk studi di manapun, lalu kenudian kembali ke
daerah, terutama untuk bidang manajemen, industri, kelautan, dan agribisnis.
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta bisa bersinergi rnenetapkan kebijakan ke
depan yang berorientasi pada mutu dan profesionalitas. Kurikulum PTN dan PTS
juga harus berbasi kinerja kompetensi dengan memperhatikan muatan lokal.
Kelima,
media massa independen; Media massa tidak semuanya harus bersifat profit, bisa
saja juga bersifat nonprofit. Media massa seperti ini yang dibutuhkan dengan
berorientasi kepada kepentingan fokal, dan fangsung menyalurkan berita-berita
yang bersifat botiom up, sembari melakukan
pendidikan daiam arti tuas. Sebagai perbandingan, kebanyakan media massa di
Jakarta sudah terkoaptasi oteh kepentingan politik atau modal, sehingga febih
bersifat misionaris, ketimbang public service. Dengan tumbuhnya media massa
independen dan lakal itu tentu saja harus diimbangi dengan kerja sama intensif dengan
kalangan masayarakat madani lainnya.
VII. Penutup
Prinsip-prinsip
good govemance sudah banyak ditata, baik secara etik, moral, juga kajian-kajian
akademis. Seperti disebutkan di muka, yang mendesak sebetuinya adalah
pelembagaan dari prinsip-prinsip dasar itu (institusionalisasi), termasuk
disini pelembagaan hukum melalui pengaturan dalam UU misalnya. Apabila memang
di tingkat pusat sulit mencapai kesepakatan, pelembagaan di tingkat daerah
(local good govemance) sangat memungkinkan. Pelembagaan hukum tingkat daerah
dapat dilakukan melalui Perda Prapinsi, Kota, Kabupaten ataupun melalui
pelembagaan Peraturan Desa.
Penegakan good govemance merupaksan salah satu syarat
mutlak dan minimum bagi tumbuh kembangnya demokrasi dalam tataran praktis.
Taruhan terbesar terhadap perjalanan demokrasi di negeri ini, juga taruhan
kalangan civil society (madani), terletak pada bagaimana menerapkan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Prinsip itu antara lain: akuntabiiitas,
transparansi, efisiensi dan efektifitas, juga berkembangnya sektor swasta
(private sector) dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Akhimya
harapan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan pada good govemance merupakan
suatu keharusan dalam era globalisasi. Tidak ada kata terlambat. Sinergi dalam
semua aspek pembangunan dengan menempatkan peruntukan yang selaras dengan bidangnya
masing-masing, sehingga tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh. Sistem Pemerintahan
Republik Indonesia., Bina Aksara.
Jakarta.
1989.
Amrah Muslimin., Aspek –
Aspek Otonomi Daerah. Alumni
Bandung.
1978
…….
Beberapa Azas Dan
Pengertian Pokok Tentang
Administrasi Dan
Hukum Administras. Alumni Bandung. 1985
Bayu Suriyanig\ngrat., Organisasi
Pemerintah Wilayah /
Daerah. Penerbit
Aksara Baru.
Kansil., Hukum Tata Pemerintahan
Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta 1984
Momon Sutisna., S dan Sjachron Basah.,
Pokok – Pokok
Pemerintahan Di
Daerah Dan Pemerintah Desa.,
Alumni Bandung. 1983
M.
Solly
Lubis., Serba -
Serbi Politik Dan
Hukum. CV. Bandar Maju.
0 komentar:
Posting Komentar