Kamis, 05 Februari 2015

PEMERINTAHAN YANG BAIK MENUJU TERCIPTANYA LOCAL GOOD GOVERNANCE

Abstrak
Aspek pemerintahan daerah sebagai bagian integral dalam pemerintahan negara,  sampai kini masih tetap sebagai salah satu  masalah aktual  untuk dibahas dinegara kesatuan Republik Indonesia.  Sebab penyelenggaraan  pemerintahan di daerah  merupakan sendi atau hal yang esensil dari negara kesatuan  dengan sistem seperti yang dianut  dalam politik di Indonesia saat ini.
Sebagaimana diketahui, konsep negara kesatuan bila ditinjau dari aspek hubungan antara pemerintah daerah  (lokal goverment) dan pemerintahan pusat (central government), di kenal dua bentuk negara kesatuan, yaitu negara kesatuan desentralisasi dan negara kesatuan  dengan sistem sentralisasi.
Gagasan mengenai negara kesatuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat dipahami  dari pembukaannya,  antara lain menyatakan : “ … untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia  dan seluruh tumpah darah Indonesia …”.      Kemudian gagasan itu dipertegas  lagi dalam pasal 1 ayat (1) Undang_undang Dasar 1945, yaitu : “… Negara Indonesia adalah  negara kesatuan  yang berbentuk Republik”. 
Jelaslah, bahwa bentuk dan susunan negara Indonesia adalah  negara kesatuan  bukan  negara serikat ( federal).  Penyelenggaraan pemerintahan di daerah  dalam suatu negara kesatuan  dan sebagai sub-sistem dari pemerintahan  di daerah dan sebagai sub-sistem  dari pemerintahan pusat, dapat dilaksanakan berdasarkan  azas desentralisasi dalam rangka demokratisasi  dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

A. PENDAHULUAN
         Prinsip pemerintahan yang baik (good govemance) adalah buah nyata yang dihasilkan reformasi. Tidak dapat dipungkiri gerbong reformasi membawa dampak yang begitu besar tefiadap pemerintahan di daerah. UU No. 5 Tahun 1974 yang dianggap sebagai biang keladi ketidakmampuan atau ketidakberdayaan daerah daiam menghadapi persoalan pembangunan di daerah diubah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Secara eksplisit dari perubahan UU ini diharapkan berbagai bidang penyetenggaraan pemerintahan dan kewenangan pemerintahan dapat dikontribusikan kedaerah (loco seeara berkeadilan mefalui prinsip-prinsip otonomi.
         Begitu besar paradigma baru yang ditawarkan UU No- 22 Tahun 1999 bagi pemberdayaan potensi daerah, senyatanya tidaklah diikuti dengan sinergi berbagai bidang hukum. Produk perundang-undangan yang seyogianya memberikan kontribusi harmonisasi tehadap suatu perubahan besar, nyatanya kurang memberikan andil. Kewenangan yang diberikan kepada daerah, hanya terbatas pada hitungan deret angka dan deret hitung. Daerah tidak menerima kewenangan utuh di bawah payung UU No. 22 Tahun 1999.
            Apabila bita cara penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru kita katakan sungguh jauh dari praktik manajemen yang efisien, efektif, dan berkualitas. Diikuti birokratisme kental dan cara­cara represif, sehingga yang tampak adalah ciri-ciri birokrat yang menekankan pada peraturan dan prosedur administratif yang begitu berlebihan. Sebaliknya saat ini setelah UU No. 32 Tahun 2004 menggantikan posisi UU No. 22 Tahun 1999, "pemerintah daerah" yang merupakan institusi publik paling dekat dengan masyarakat, juga terjebak dalam birokratisme. Masyarakat bukannya mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat waktu, dan sekaligus bermutu dalam menumbuhkembangkan aktivitas-aktivitasnya, malah pemerintah daerah sendiri yang tampaknya meminta pelayanan.
            Berbagai potensi perubahan sosial-ekonomi vang ada dalam masyarakat yang seharusnya didorong pemerintah daerah, tapi karena prosedur administrasi yang berbelit-belit dan kontrot yang ketat, potensi itu tidak bisa termanifestasikan. kalaupun ada, perubahan sosiai-ekonomi itu hanya manyangkut kaiangan yang terbatas. Karena itu birokrasi di daerah menjadi kontraproduktif, lebih menunjukan kerja sebagai institusi publik yang konsumtif, yang menggerogoti keuangan negara, bahkan menyedot sumber­sumber daya sosial-ekonomi yang ada pada masyarakat, bukannya memfasilitasi dinamika masyarakat.
            Di masa Orde Baru birokratisme pada pemerintah di daerah sesungguhnya dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki otonomi karena tidak bisa berbuat banyak dalam melayani kepentingan dan kebutuhan publik. Sistem mamajemen pemerintahan yang dirancang dan diimplementasikan lebih banyak didasarkan pada kebijaksanaan dan instruksi dari pemerintah pusat.
            Dalam konteks persoaian pengambiian keputusan yang sentralistik itulah, mana mungkin pemerintah daerah di masa Orde Baru bisa mandiri. Ia hanya sebagai subordinasi dan langsung di bawah kontrol pemerintah pusat. Karakteristik birokratisme pemerintah daerah merupakan cermin dari otoritarianis me­birokratik negara itu sendiri. Tetapi, kondisi yang demikian irti menguntungkan pula pemerintah daerah karena bila ada yang mempertanyakan atau mengkritik kinerjanya yang birokratis itu, ia bisa berdalih, itu adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat!" Dengan demikian, merebaknya praktik KKN pada pemerintah daerah serta penyelenggaraan pemerintah yang tidak efisien dan cenderung reaktif disebabkan karena pemerintah daerah itu sendiri tidak memiiiki otonomi daerah bagian dari rezim negara Orde Baru yang otoriter-birokratik dan sentralistik.
            Jika di simak perdebatan awal sebelum keluarnya UU No. 5 Tahun 1974. Timbul perbedaan pendapat yang panjang mengenai pencantuman kata "di" pada judu! "Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah" dalam pembahasan di DPR. Apakah kata "di" perlu dicantumkan atau tidak? Pada akhimya, dengan Undang­undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kata "di" dihilangkan untuk melekatkan kesan adanya "otonomi" daerah. Dengan demikian, kata "di" sangat penting artinya karena kata tersebut menunjukkan keotonomiannya. UU Nomor 5 Tahun 1974 mengatur mengenai pemerintahan yang ada di daerah, bukan mengatur pemerintah daerah. Ada suatu pesan normatif (gaya dan rasa bahasa) bahwa pemerintah daerah memang harus tunduk pada pemerintah pusat atas aturan-aturan yang dibentuknya tersebut.
Kembali ke persoalan Good Governance. Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik tersebut seperangkat elemen haruslah dipenuhi seperti transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas. Tak pelak prinsip-prinsip ini telah menjadi suatu kebutuhan dasar bagi suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Prinsip penegakan hukum misalnya adalah berfungsi untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Dikaitkan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, kedua prinsip ini akan berinteraksi secara langsung dengan aturan hukum dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dimaksud melaiui kepercayaan dan peran masyarakat.
            Penegakan (handhaving) hukum adalah manifestasi kewibawaan negara hukum yang bersaranakan kepada UU. Legitimasi bahwa UU merupakan instrumen bekerjanya negara hukum selalu harus didefragment ulang pada setiap pengaturan dan penetapan persoalan berbangsa dan bemegara di Republik tercinta ini. Dengan kata lain kewenangan pengaturan seyogianya dikembalikan kepada representasi rakyat yang dipegang oteh DPR. Pemerintah "hanyalah" pelaku pelaksana (eksekutor) terhadap pengaturan yang telah dibuat DPR, bukan untuk mengatur secara luas. Perlu dipikirkan kembali praktek perundang-undangan di Indonesia dengan melihat pada aspek politik perundang-undangan, sehingga kewenangan (bevoegheid) pemerintahan (meiiputi 3 cabang kekuasaan negara atau lebih) berjalan dalam koridor pembagian kekuasaan yang bersumber pada keinginan rakyat.

II. Makna Pemerintahan yang Baik
            Prinsip pemerintahan yang baik adalah terjemahan dari istiiah good govemance yang berbeda dengan istilah good government (pemerintah yang baik). Konsep dasar good governance adalah pada pengelolaan jalannya pemerintahan, pembangunan dan peiayanan pubiik (the way of govenaance) pada satu sisi; dan pada sisi lain adaiah berkaitan dengan berbagai upaya untuk menangani apa yang harus diatur, dibangun atau diiayani (the matters of govema6iiit)j. Dari dua konsep inilah lalu timbul pemikiran baru yang mengarah pada perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan, yakni dari pola tradisional menjadi po(a ko(aborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat sebagai wujud interaksi sosial poiitik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasaiahan kontemporer yang demikian kompleks, dinamis dan beranekaragam.
         World Bank memberikan 6 indikator yang menunjuk pada good governance ini. Pertama, akuntabilitas poiitik, dengan menguji tingkat penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan eksekutif dengan menetapkan sistem pemilihan dan batas waktu menduduki jabatan; kedua, beban untuk berkumpul dan berpartisipasi seperti di bidang keagamaan, sosiai profesi, relawan, dan media; ketiga, jaminan hukum seperti keamanan, periakuan hukum dan perlindungan dari campur tangan pihak luar; keempat, akuntabiiitas birokrasi, yaitu menciptakan sistem untuk memonitor dan mengontroi kinerja dalam kaitannya dengan kuatitas, inefisiensi, perusakan sumber daya alam dan transparansi dalam manajemen keuangan, pengadaan akunting, dan pengumpulan sumber dana; kelima, ketersediaan, vaiiditas dan anaiisis informasi; dan keenam, manajemen sistem publik yang efektif dan efisien.
            Secara lebih rind dan konkret yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini adaiah: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam, menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saiing bersaing; menaptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isyu-isyu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif, mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam, menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan, menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil atau tidak diskriminatif.
            Selanjutnya, memainkan peran ekonomis secara langsung, yaitu sebagai pemberi kerja daiam intervensi makro maupun mikroekonomi, plus penyediaan infrastruktur "membudayakan" masyarakat-pemerintah untuk mampu merefleksikan nilai dan norma yang beriaku secara luas dalam kehidupan masyarakat, tapi juga bisa membantu dalam pembentukan nilai dan norma tersebut melalui nilai pendidikan dan ragam media; melaksanakan sistem administrasi yang efisien dan efektif, yaitu mempertahankan pelayanan kepada warga negara kualitas yang tinggi, memproteksi lingkungan agar tidak dieksploitasi secara sembarangan, dan mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global.
            Keseluruhan prinsip pemerintahan yang baik (good governance) ini disarikan oleh UNDP ke dalam 8 karakter, yaitu: participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness & effeciency, accountability, dan strategic vision.



IlI. Prasyarat Penerapan Pemerintahan yang Baik
            Hal yang paling penting untuk mendukung penerapan good govemance ini adalah prasyarat. Ada dua prasyarat yang harus dipenuhi untuk implementasi good govemance, yaitu perubahan pada internal organisasi dan keterlibatan, baik langsung atau tidak dari institusi kemasyarakatan.
            Dalam konteks perubahan internal organisasi; pertama, struktur organisasi pemerintah di daerah harus mengalami perubahan, ramping, dan lebih sedefiana. IN dimaksud untuk memotong jalur birokrasi, memudahkan dan mempercepat pengambilan keputusan, dan kedua, mengurangi biaya operasional, yaitu mengurangi jumlah karyawan. Ini untuk mengurangi beban biaya bagi membayar pegawai serta mengoptimalkan kemampuan kerja pegawai itu sendiri. Ketiga, melakukan proses teknologisasi. Sarana kerja harus diubah tidak bertumpu pada tekno[ogi yang manual, tapi harus muiai menggunakan teknologi informasi. Hal ini untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan serta mengintegrasikan diri pada jaringan informasi yang lebih luas, melewati batas regional nasional yang sudah jadi tuntutan imperatif dalam sistem perekonomian dan kebudayaan global.
Kita sadarii mungkin prasyarat perubahan internal organisasi itu untuk waktu dekat tidak bisa dilakukan secara mendariak. Karena pemberlakuan otonomi daerah, daerah dibebani pelimpahan pegawai yang berasal darf pusat, sementara keuangan pemerintah daerah masih terbatas. Tetapi, se(angkah demi selangkah, perubahan organisasi dan teknologi itu harus tetap diiaksanakan. Umpamanya pemerintah daerah tidak tagi menerima pegawai baru yang bukan pelimpahan dari pusat untuk beberapa tahun mendatang. Struktur organisasi bisa mulai dirampingkan, masing-masing bagian diperiuas tugas dan fungsinya. Perluasan fungsi sekaligus menampung jumlah karyawan hasii dari pelimpahan itu. Juga proses teknologi informasi sudah bisa mulai supaya daerah segera bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai tempat di beiahan dunia untuk kepentingan daerah sendiri.
            Sementara itu, prasyarat kedua untuk mendukung jalannya good governance bersangkut-paut dengan peran institusi-institusi kemasyarakatan. Premis ilmu sosiotogi menyebutk4n bahwasetiap institusi akan mengaiami kesukaran untuk bisa mengubah, memperbaiki citra dan kinerjanya jika tidak memperoleh bantuan dan pengawasan dari institusi di luar dirinya. Konsep good governance dilandasi oleh premis ilmu sosiologi ini; bahkan mejadikan salah satu prasyarat utama bagi implementasinya. Apabila kita dekati dari sudut pandang demokrasi, maka prasyarat kedua ini berkait erat dengan prinsip keterbukaan yang-merupakan syarat minimum demokrasi yang merupakan suatu conditfo sine quanon.
            Harus diakui penerapan good govemance itu tidak akan sekali jadi. Di sini masalahnya adalah menyangkut pengalaman, bahwa organisasi pemerintah di daerah sekarang belum banyak memiliki pengalaman dalam metaksanakan konsep good govemance: Imp(ementasi good governance, pertama, dengan belum dimilikinya pengalaman yang memadai, kelompok sipil masyarakat harus membantu proses pembelajaran pemerintah daerah dalam upaya menerapkan konsep goad govemance. Kedua, di samping memberikan dukungan dan konsultasi, juga kefompok sipii masyarakat harus berperan sebagai penekan dan pengontrol agar pemerintah daerah memiliki kemauan politik untuk menerapkan atau mempraktikan good govemance tersebut.
            Melalui prasyarat kedua inilah otonomi daerah memiliki kegunaan langsung bagi masyarakat, bukan sekadar untuk pemerintah daerah sendiri karena di situ ada keteriibatan masyarakat. Selama ini otonomi daerah hanya menjadi wacana dan praktik untuk kemandirian pemerintah daerah tanpa banyak membincangkan di mana posisi dan peran masyarakat dalam otonomi tersebut.
            Juga dengan adanya peran institusi-institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah, haf itu berarti menunjuk adanya demokratisasi yang partisipatif. Masyarakat yang terepresentasikan dalam berbagai institusi kenegaraan terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Disinilah konsep good govemance befiubungan dengan demokrasi karena di dalam konsep good govemance negara melalui institusi pemerintahannya dituntut bermitra dengan masyarakat dan satu sama lain saling mengontrol.
            fmplementasi asas akuntabilitas pada dasamya merupakan usaha dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good govemance) dan dipercaya. Salah satu syaraf untuk dapat mengimplementasikan azas akuntabilitas adalah sumberdaya manusia yang berkualitas, dalam arti bahwa aparatur pemerintah haruslah professional, dengan ciri-ciri: memiliki wawasan yang luas dan dapaf memandang masa depan, memiliki kompetensi di bidangnya, memiliki jiwa berkompe&ilbersaing secara jujur dan sportif, menjunjung tinggi etika profesi.

IV. Prinsip Pemerintahan yang Baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 Dan Penerapanya Daiam Pemerintahan di Daerah
            Apakah UU No. 32 Tahun 2004 mengatur prinsip pemerintahan yang baik? Mari kita lihat beberapa pasal terkait dalam UU ini, yaitu:
Pasal 23 ayat (2):
Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adii, patut, dan taat ,oada peraturan perundang-undangan (cetak miring penuiis).
Pasal 139 ayat (1):
Masyarakat berhak memberikan masukan secara fisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan 3 aricanyan Pe,,aa_
(hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR)
            Filosofi yang mendasari pengaturan pengelvlaan keuangan daerah dalam Pasal 23 ayat (2) ini adalah prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Menjadi catatan untuk kita bahwa peiaksanaan otonomi daerah masih tericenda(a oleh tersendatnya aturan main yang mengikatnya (lihat frasa kata yang dicetak miring), baik dalam tingkatan peraturan hubungan pusat dan daerah, maupun antara lembaga-tembaga di daerah, misalnya antara DPRD dan Pemerintahan Daerah. Sekalipun sejumlah peraturan dikefuarkan, baik setingkat undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, maupun Keputusan Menteri, tetap saja terdapat kendala. Kita sadari bahwa UU No. 32 Tahun 2004 ini menggotong: pertama, spirit desentralisasi yang secara ekonomi menekankan pada upaya efisiensi dan e€ektifitas pengelolaan Sumber daya daerah untuk meningkatkan "peiayanan umum" dan "kesejahteraan masyarakat" di daerah; kedua, spirit good govemance yang mengedepankan "transparansi, akuntabilitas" dan mendekatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; serta kefiga, spirit UU Pemerintahan Daerah ini membawa konsekuensi pada penyerahan urusan dan pendanaan (money follows funcfians). Hanya saja sejauh mana spirit tersebut sudah diadopsc dalam instrumen praktek penge(o(aan keuangan daerah.
            Pengaturan PP No. 108l2(300 dan PP No. 105120Q0, misalnya, setidaknya mengandung sejumlah kekeliruan atau tabrakan dengan UU yang lebih atas. Sejumlah peraturan yang dibuat, baik UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 {Pasaf 69 ayat (4): "ketentuan mengenai pokok-pokok penyusunan RKA SKPD (rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah diatur dengan peraturan pemerintah belum terbit), masih mengandung muiti interpretasi, bahkan penolakan dari daerah. Ada ketidak konsistenan antara satu peraturan yang febih tinggi dan peraturan di bawahnya, yang lebih diwamai intervensi kepentingan politik otoritas pusat dan daerah untuk kepentingan sendiri-sendiri.
            Sementara itu prinsip keterbukaan pemerintahan melalui peran serta {Enspraak} masyarakat yang diatur dalam Pasal 139 ayat (4) juga masih menyisakan problemab7ca hukum. Penjelasan pasal mendelegasikan pengaturan peran serta ini ke dalam bentuk "Peraturan Tata Tertib DPRD", padahal kita pahami bahwa tata tertib bukan(ah berisikan pengaturan ke luar tetapi sebatas pengaturan internal DPRD, sehingga menjadi pertanyaan terhadap keberiakuan norma peran serta tersebut.
            Prinsip keterbukaan ini merupakan condifio sini quanon dari asas demokrasi_ Keterbukaan memungkinkan partisipasi masyarakat secara aktif daiam penyeienggaraan pemerintahan. Dalam prosedur ranoangan perda, masyarakat berkemungkinan untuk ikut mengetahui (meeweter~, ikut memikirkan (meedenken) bermusyawarah (meespreken), ikut memutuskan dalam rangka petaksanaan (meebeslissen) dan ikut mernutus (medebeslissingsrechtj. Seyogianya keterbukaan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat dapat dibuat dalam suatu UU (norma) administrasi sendiri, sehinga cita negara hukum dan asas kekuasaan berdasarkan hukum secara nyata dapat diwujudkan.
         Tidak beriebihan menyatakan pengaturan prinsip pemerintahan yang baik belum mendapat porsi real dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengaturan dalam Peraturan Tata Tertib jauh untuk dapat dikatakan "telah mengadopsi spirit good govemace dalam instrumen aturan hukum". Di Belanda, asas keterbukaan yang mulanya disebut asas "fair play diadopsi da[am AUPB (asas-asas umum pemerintahan yang baik) dan sejak tahun 1980 asas ini dimasukan ke dalam wet (UU) dan asas ini kemudian dikenai dengan sebutan openbaarheid van bestum Bagaimana di Indonesia?

VI. Beberapa Langkah yang Perlu Ditakukan Untuk Terciptanya Local Good Govemance
         Pertama, amandemen UUD 1945: Langkah ini sangat penting, karena mempengaruhi peraturan-peraturan di bawahnya. Konflik poiitik yang terjadi sepanjang riwayat negeri ini, bersumber dari mutu konstitusi. Rekomendasi Komisi Konstitusi patut dijadikan acuan perbaikan, khususnya yang menyangkut substansi kemanusiaan ataupun hubungan antar lembaga demokrasi. Apabila konstitusi belum diamandemen, sulit berharap perjalanan goodgovemanceakan menemukan arah yang tepat.
            Kedua, penegakan hukum masalah korupsi dan pengawasan yudisial: Kedua lembaga yang berwenang dalam hal ini harus powerful dan difindungi hukum. Lembaga anti korupsi harus juga mampu masuk ke wiiayah-wifayah rawan, seperti militer, dan jaringan pejabat tinggi negara. Lembaga antikorupsi harus juga tertutup dari semangat partisan, apalagi politisi. Kalau hanya sebatas pengumvman harta kekayaan yang ditulis sendiri, seperti haru-biru politik dalam setahun ini, itu, merupakan tipuan atas transparansi dan akuntabi(itas pejabat-pejabat negara, baik sipii maupun militer. Pengumuman du tidak ada gunanya, apabila tidak diselidiki asai-usuf dari kekayaan itu.
         Untuk fembaga pengawasan yudisia! juga diharapkan mampu mengawasi pelaksanaan penerapan hukum yang compang camping, pengawasan preventif dan refresif {Komisi Yudisiat ?} yang melibatkan hakim dafam mafia peradi(an periu menjadi perhatian Komisi Yudisiat dan meletakkan lembaga yudisial sebagai lembaga independen; Intervensi kekuatan­kekuatan politik atas lembaga seperti MA, masih menunjukkan bahwa utang politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam tingkatan paling tinggi, adalah menerapkan pr insip-prinsip pembagian kekuasaan (distribuffon of power}, yang dilakukan di pusat dan daerah. Otonomi daerah harus ditingkatkan menjadi otonomi kekuasaan yang berbasiskan lokal. Apabila periu, dibuat berbagai perangkat demokrasi lokal, termasuk fembaga-fembaga pengawasan kinerja parlemen dan pemerintahan lokal, oleh kalangan perguruan tinggi dan civil society lainnya.
         Ketiga, debirokratisasi; Birokrasi Indonesia adalah sumber kemacetan dalam merespons tuntutan publik, juga lamban dalam menja[ankan tugasnya. .tumEah Pegawai Negeri Sipil yang banyak, menimbulkan inefisiensi, di samping penumpukan tugas di salah satu level birokrasi. Kepaia Desa, misalnya adalah korban dari model birokrasi semacam ini, karena menerima tugas nasional dan lokal dari jajaran birokrasi di atasnya, nyaris bersamaan. Dalam skala yang lebih kecil, Posyandu juga mengalami penumpukan tugas, karena bias datang dari Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan, belum lagi dari birokrat swasta semacam Dharma Wanita, Kadin, KNPI, dan Lembaga-Lembaga Pusat dan daerah, yang ingin menunjukkan "belas kasih° mereka dengan model sinterklas. Dengan kata lain banyaknya kebijakan pemerintah yang bernuansa "top-down, sehingga memperiihatkan dominasi Pemerintah Pusat yang sangat tinggi. Akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengarl aspirasi daerah, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan daerah, dan tidak banyak mempertimbang kan keungguian dan kebutuhan lokal. Lebih jauh dampaknya akan menimbulkan perbedaan dan konflik-konflik sosial dan lingkungan yang menjadi mahal untuk mengatasinya
         Keempat, persebaran ilmu pengetahuan; Pemberdayaan daerah otonom, juga mesti diimbangi dengan melakukan distribusi ilmu pengetahuan secara bersamaan dan merata. Bukan hanya dalam arti "muatan lokal" dalam sistem pendidikan nasionai, terutama sekali daiam soal divesifikasi atas sumber-sumber iimu pengetahuan, seperfi tenaga pengajar, buku-buku, dan sarana-sarana pendidikan iainnya. Jakarta jangan lagi menjadi kiblat bagi kaum akademis agar dapat hidup layak, melainkan langsung bisa berkiprah di daerah. Bagi lembaga-lembaga donor iuar negeri, kebijakan ini sedikit banyak sudah dikembangkan, dengan melakukan "kontrak kerjaA dengan calon dari peraih beasiswa yang disponsorinya untuk berkiprah di daerah. Pemerintahan daerah harus makin banyak mengeluackan ikatan dinas bagi kaiangan mudanya untuk studi di manapun, lalu kenudian kembali ke daerah, terutama untuk bidang manajemen, industri, kelautan, dan agribisnis. Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta bisa bersinergi rnenetapkan kebijakan ke depan yang berorientasi pada mutu dan profesionalitas. Kurikulum PTN dan PTS juga harus berbasi kinerja kompetensi dengan memperhatikan muatan lokal.
            Kelima, media massa independen; Media massa tidak semuanya harus bersifat profit, bisa saja juga bersifat nonprofit. Media massa seperti ini yang dibutuhkan dengan berorientasi kepada kepentingan fokal, dan fangsung menyalurkan berita-berita yang bersifat botiom up, sembari melakukan pendidikan daiam arti tuas. Sebagai perbandingan, kebanyakan media massa di Jakarta sudah terkoaptasi oteh kepentingan politik atau modal, sehingga febih bersifat misionaris, ketimbang public service. Dengan tumbuhnya media massa independen dan lakal itu tentu saja harus diimbangi dengan kerja sama intensif dengan kalangan masayarakat madani lainnya.

VII. Penutup
            Prinsip-prinsip good govemance sudah banyak ditata, baik secara etik, moral, juga kajian-kajian akademis. Seperti disebutkan di muka, yang mendesak sebetuinya adalah pelembagaan dari prinsip-prinsip dasar itu (institusionalisasi), termasuk disini pelembagaan hukum melalui pengaturan dalam UU misalnya. Apabila memang di tingkat pusat sulit mencapai kesepakatan, pelembagaan di tingkat daerah (local good govemance) sangat memungkinkan. Pelembagaan hukum tingkat daerah dapat dilakukan melalui Perda Prapinsi, Kota, Kabupaten ataupun melalui pelembagaan Peraturan Desa.
Penegakan good govemance merupaksan salah satu syarat mutlak dan minimum bagi tumbuh kembangnya demokrasi dalam tataran praktis. Taruhan terbesar terhadap perjalanan demokrasi di negeri ini, juga taruhan kalangan civil society (madani), terletak pada bagaimana menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Prinsip itu antara lain: akuntabiiitas, transparansi, efisiensi dan efektifitas, juga berkembangnya sektor swasta (private sector) dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
            Akhimya harapan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah  berdasarkan pada good govemance merupakan suatu keharusan dalam era globalisasi. Tidak ada kata terlambat. Sinergi dalam semua aspek pembangunan dengan menempatkan peruntukan yang selaras dengan bidangnya masing-masing, sehingga tujuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat tercapai dengan baik.

  

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busroh.  Sistem   Pemerintahan  Republik  Indonesia.,   Bina Aksara. 
Jakarta.  1989.

Amrah Muslimin.,  Aspek  –  Aspek   Otonomi  Daerah.      Alumni
Bandung.  1978

 …….  Beberapa  Azas  Dan   Pengertian   Pokok   Tentang   Administrasi  Dan
Hukum Administras. Alumni Bandung.  1985

Bayu Suriyanig\ngrat.,  Organisasi   Pemerintah   Wilayah  /  Daerah.    Penerbit
Aksara Baru.

Kansil.,  Hukum Tata Pemerintahan Indonesia.   Ghalia Indonesia. Jakarta 1984

Momon Sutisna., S dan Sjachron Basah.,  Pokok  –  Pokok    Pemerintahan    Di
Daerah Dan Pemerintah Desa.,  Alumni Bandung. 1983

M.    Solly Lubis.,   Serba  -   Serbi   Politik   Dan    Hukum.   CV. Bandar  Maju. 
Bandung 1989.

           





0 komentar:

Posting Komentar