ABSTRAK
Pendirian yayasan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan ruang lingkup gerak yayasan di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup
lama hanya didasarkan pada hukum kebiasaan ataupun jurisprudensi meskipun
mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian dengan kebutuhan. Dengan
tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang yayasan di Indonesia, maka
juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat-syarat pendirian yayasan,
juga tidak ada suatu ketentuan yang menjelaskan bahwa yayasan harus didirikan
dengan akta notaris.
Kata Kunci: Yayasan,
Badan Hukum dan Non Profit Oriented
A. Pendahuluan
Dalam
kehidupan sosial tentu sering terjadi perbedaan paham, perang opini, bentrok
fisik, perebutan hak, dan bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Nah, untuk
menengahi permasalahan atau mungkin pelanggaran-pelanggaran lain yang mayoritas
terjadi, itulah di antara alasan kenapa ada Hukum. Ketika manusia hidup
berdampingan satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu.
Pertemuan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak
jarang, menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang di
timbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sarana untuk mendamaikannya.
Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan
yang bergesekan tersebut. Tujuannya
adalah manusia yang saling bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama
memperoleh keadilan. Langkah awal ini di pahami sebagai sebuah proses untuk
menuju sebuah sistem (tatanan) hukum.
Dalam perkembangan kehidupan
yang lebih mutakhir, tatkala kehidupan bernegara bangsa menggantikan
kehidupan-kehidupan lokal yang berskala kecil dan eksklusif, apa yang disebut
hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis. Inilah yang disebut
hukum undang-undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak,
dibentuk atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan terstruktur atau
terlembagakan sebagai sarana kontrol yang nyata-nyata formal sifatnya, yang
oleh sebab itu akan ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berkewenangan
untuk mendayagunakan sanksi.
Hukum merupakan aturan
tentang bagaimana subjek hukum seharusnya berpola tingkah lak dalam masyarkat.
Hukum ibarat rel (instrumen) bagi setiap subjek hukum untuk melakukan kegiatan,
sehingga masing-masing subjek hukum tidak melanggar hak-hak subjek hukum yang
lain. Sehingga tidaklah salah apabila dikatakan hukum merupakan standar,
patokan, ukuran ataupun pedoman bagi setiap subjek hukum untuk berprikelakuan
atau berpola tingkah laku.[1]
Hukum merupakan rules of the game, aturan-aturan
permainan yang akan mencegah atau menghalangi penguasa dan manusia bisa berbuat
sewenang-wenang. Hukum merupakan batas-batas kebebasan individu dan penguasa
dalam setiap interaksi kemasyarakatan, shingga hukum akan merupakan
perlindungan atas ketenteraman umum dan keadilan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat manusia.[2]
Hukum yang dibentuk secara
formal oleh lembaga yang berwenang untuk itu yang biasa disebut dengan
Undang-undang, maupun secara material, yakni yang terbentuk dalam masyarakat
dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat bersangkutan, tentunya hanyalah untuk
mengatur subjek hukum. Hukum yang terbentuk tersebut dapat dipastikan akan
dijalankan oleh subjek hukum, baik subjek hukum sebagai naturlijk persoon maupun subjek hukum dalam bentuk recht persoon baik oleh manusia maupun
oleh badan hukum.
Badan hukum sebagai subjek
hukum privat memiliki berbagai bentuk diantaranya dalam bentuk yayasan. Menurut
Mr. Paul Scholten sebagai berikut:
“Yayasan adalah suatu
badan hukum yang dilahirkan oleh
suatu pernyataan sepihak. Pernyataan
itu harus berisikan
pemisahan suatu kekayaan
untuk tujuan tertentu
dengan menunjukkan bagaimanakah kekayaan itu diurus atau digunakan.[3] Sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan,
sebagai badan hukum (recht persoon) yayasan sudah sejak lama diakui dan
tidak diragukan. Leskipun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Dalam lalu
lintas hukum sehari-hari, Yayasan diperlakukan sebagai legal entity.[4]
Dari uraian singkat di atas, membicarakan tentang
keberadaan yayasan memiliki banyak permasalahan yang urgen dilakukan
penelitian, mulai dari sejarah, keberadaan maupun eksistensi aturan hukum yang
menjadi payung hukum pelindung yayasan tersebut. Adapun yang menjadi judul makalah ini adalah: PENGATURAN YAYASAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR. 16 TAHUN
2001 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN. (Yayasan Sebagai
Badan Hukum Non Profit Oriented)
B. Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah
Kedudukan Yayasan dalam Hukum Formal Sebelum dan Sesudah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan?
2.
Bagaimanakah
Pengaturan Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Non Profit Oriented?
C. Metode Penelitan
Penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif bersifat
eksplanatoris dengan pendekatan
Perundang-undangan, dan pendekatan kasus.
Bahan hukum yang telah dikumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Setelah diperoleh
gambaran yang jelas, maka akan disimpulkan dengan metode induksi dan metode
deduksi.
D. Pembahasan
D.1. Pengertian
Menurut Mochtar Kusumaatmaja dalam
Chaidir Ali mengartikan hukum dalam artian yang luas maka hukum itu
tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi lembaga-lembaga (institutions)
demi proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah
ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat lagi oleh Cicero yang mengatakan
dimana ada masyarakat disana ada hukum.[5]
Beranjak pada kedua pendapat
tersebut kita dapati bahwa hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat, dimana
hukum bukan hanya seperangkat aturan, namun termasuk juga didalamnya
lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses yang menyebabkan terjadinya
kaidah-kaidah tersebut.
Sebagai bagian dari masyarakat,
tiap-tiap orang adalah pembawa hal dalam artian bahwa ia memiliki hak dan
kewajiban, sehingga karena itu tiap-tiap orang itu disebut sebagai subyek hukum
(subjetcum juris). Adapun yang dimaksud sebagai subyek hukum menurut
Prof Drs. C.S.T. Karsil, SH Chfistine S.T. Kansil, SH, MH, subyek
hukum ialah: Siapa yang dapat
mempunyai hak dan cakap untuk bertindak adalah subjek hukum atau dengan kata
lain siapa yang cakap menurut hukum untuk bertindak.[6]
Namun perlu diketahui bahwa
pengertian siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum
disamping mengarah kepada orang sebagai subyek hukum juga dengan kondisi yang
berkembang di masyarakat dewasa ini tidak hanya terbatas pada orang saja,
tetapi ada hal lain yaitu yang disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon).
Untuk lebih jelasnya lagi Soenawir Soekowati dalam
Chaidir Ali memberikan batasan subyek hukum sebagai berikut: Subyek hukum adalah manusia yang
berkepribadian (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan
tuntutan kebutuhan. Masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban.[7]
Sehingga berdasarkan uraian di atas
dapat diketahui bahwa dewasa ini subyek hukum terdiri dari:
a. Manusia (nature life person) yang
disebut orang dalam bentuk manusia atau manusia pribadi.
b.
Rechts
Persoon yang disebut
orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi
atau persona ficta.
Badan
hukum ini oleh hukum diberi status sebagai “person” yang mempunyai hak
dan kewajiban badan hukum sebagai pembawa hak dapat melakukan/bertindak sebagai
pembawa hak manusia, yaitu badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan
memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggotanya.[8]
Badan
hukum tersebut terbagi dalam 2 bagian yaitu badan hukum publik (public
rechts person) dan badan hukum privat. Badan hukum publik (public rechts
person) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang
menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Badan
hukum ini merupakan badan-badan negara dan mempunyai kekuasaan wilayah atau
merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan
yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah atau badan
pengurus yang diberikan tugas untuk itu, misalnya negara, provinsi, kabupaten
dll.
Badan
hukum privat ialah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata, yang
menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam bentuk hukum itu. Badan hukum itu
merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu untuk tujuan
tertentu yaitu mencari keuntungan, sosial, politik, kebudayaan, kesenian, olah
raga, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah, misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi,
Yayasan dll.
Istilah Yayasan pada
mulanya digunakan dari sebagai terjemahan dari istilah “stichting” dalam Bahasa Belanda dan “foundation”
dalam Bahasa Inggris.[9] Sebagaimana istilah
Yayasan yang berasal dari penterjemahan bahasa Belanda, lembaga Yayasan pun
sebenarnya sejak zaman Hindia Belanda sudah dikenal dan banyak digunakan dalam
masyarakat. Hal ini berlaku terus sampai Indonesia menjadi negara yang merdeka
dan berdaulat.[10]
Karena bentuknya yang sudah melekat pada masyarakat luas di Indonesia maka
bentuk Yayasan tumbuh, hidup dan berkembang sehingga setiap kegiatan non profit
yang dilembagakan akan memakai lernbaga bentuk Yayasan.
Sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, yang mengatur tentang Yayasan,
selama ini perundang-undangan sama sekali tidak mengatur tentang badan hukum
yayasan. Hanya dalam beberapa undang-undang menyinggung adanya lembaga yayasan,
seperti Pasal 365 KUHPerdata rnenyebutkan :
Dalam
segala hal hakim harus mengangkat seorang wali, perwalian itu boleh
diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan
di Indonesia, kepada suatu yayasan atau lembaga amal yang bertempat kedudukan
disini pula, yang menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau
regelemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa pada waktu
yang lama.
Dalam
pasal tersebut cuma disinggung tentang yayasan dapat melakukan perbuatan hukum
seperti tersebut diatas tapi tidak menjelaskan tentang lembaga yayasan itu
sendiri. Dalam Pasal 900 dan Pasal 1680 KUHPerdata yang hanya menyinggung
tentang penerimaan wasiat dan hibah oleh lembaga atau badan yayasan harus oleh
orang atau pengurus yang berwenang untuk itu serta memerlukan penunjukan
Penguasa atau Pemerintah, kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 IR.
Dalam pasal-pasal tersebut sama sekali tidak memberi rumusan tentang yayasan.
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia istilah yayasan adalah badan atau organisasi yang
bergerak di bidang sosial, keagamaan dan pendidikan yang bertujuan tidak
mencari keuntungan. Bila dilihat dalam Black Law Dictionary
terdapat istilah foundation: Permanent fund established and maintened by
contributions ,for charitable, educated, religious or other benevolent purpose,
and Institution or associaton given to rendering financial aid to cooleges
schools and charities and generaly supported by gifts for such purpose.
(Yayasan adalah dana abadi yang telah ditetapkan dan pembiayaannya didanai
untuk amal sosial, pendidikan, keagamaan, atau kegiatan sosial, dan institusi
atau asosiasi memberikan bantuan keuangan kepada universitas dan lembaga amal
dan pada umumnya pemberian bantuan itu untuk suatu tujuan sosial).[11]
Prof. Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya
berjudul “Hukum Perdata Tentang
Persetujuan-Persetujuan Tertentu”, berpendapat bahwa Yayasan adalah
badan hukum. Dasar suatu Yayasan adalah suatu harta benda kekayaan yang dengan
kemauan memiliki ditetapkan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Pengurus
yayasan juga ditetapkan oleh pendiri Yayasan itu. Pendiri dapat mengadakan
peraturan untuk mengisi lowongan dalam pengurus. Sebagai badan hukum yang dapat
turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat, artinya dapat dijual-beli,
sewa-menyewa dan lain-lain dengan mempunyai kekayaan terpisah dari
barang-barang, kekayaan orang yang mengurus Yayasan itu.[12]
Yayasan merupakan suatu badan yang
melakukan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil.
Bahwa yayasan harus bertujuan sosial dan kemanusiaan sangat jelas dari
pandangan Hayati Soeroredjo. Menurutnya yayasan harus bersifat sosial dan
kemanusiaan serta idialistis dan pasti tidak diperbolehkan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan,ketertiban umum, dan atau kesusilaan.[13]
Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa yayasan
merupakan suatu badan usaha yang lazimnya bergerak di bidang sosial dan bukan
menjadi tujuannya untuk mencari keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk
melakukan usaha yang bersifat sosial.[14]
D.2. Kedudukan Yayasan dalam Hukum Formal Sebelum dan Sesudah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Masyarakat selalu berkembang dengan
dinamis dari waktu ke waktu dalam berbagai aktivitas. Interaksi sosial antara
anggota masyarakat telah menimbulkan hubungan hukum. Dalam konteks inilah
eksistensi hukum sangat signifikan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang
tercipta dalam masyarakat, walaupun terkadang hukum cenderung tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Fenomena ini dapat dilihat dalam pengaturan hukum tentang yayasan.
Dalam kurun waktu yang cukup lama
pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pendirian yayasan di Indonesia hanya
berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung,
karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Yayasan selama ini lebih
dipahami sebagai suatu organisasi sosial nirlaba atau tidak mencari keuntungan
dalam kegiatannya, bila seseorang atau beberapa orang akan melakukan kegiatan
yang penuh idealisme serta bertujuan sosial dan kemanusiaan, biasanya bentuk
organisasi yang dipilih adalah yayasan.
Kegiatan sosial yang dipilih
terutama menyangkut bidang kesehatan, pendidikan dan panti-panti sosial. Wadah
yayasan dipergunakan oleh para pendirinya untuk melakukan berbagai kegiatan
sosial untuk kepentingan umum.
Secara historis Yayasan sebagai
wadah kegiatan sosial sudah ada sejak awal sejarah. Para Pharaoh, lebih dari
1000 SM, telah memisahkan sebagian kekayaan untuk tujuan keagamaan, Xenophon
mendirikan Yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi
pemujaan Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan
hewan-hewan korban. Plato menjelang kematiannya pada tahun 347 SM, membagikan
hasil pertanian dari tanah-tanah yang dimilikinya, untuk selamalamanya
disumbangkan bagi akademia yang didirikannya. Ini mungkin Yayasan pendidikan
yang pertama tercatat dalam sejarah.[15]
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
kedudukan Yayasan sebagai Badan Hukum (rechtspersoon)
sudah diakui, dan diberlakukan sebagai badan hukum, namun status yayasan
sebagai Badan Hukum dipandang
masih lemah, karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan
dalam masyarakat atau yurisprudensi.
Pada saat itu masyarakat mendirikan
yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status Badan Hukum Yayasan, yang
tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan,
kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para
Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Pada hal peranan yayasan disektor sosial,
pendididkan, dan agama sangat menonjol, tetapi tidak ada satu Undang-undang pun
yang mengatur secara khusus tentang yayasan.
Dengan ketidakpastian hukum ini yayasan sering digunakan untuk
menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain, bahkan yayasan dijadikan
tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat
nirlaba, namun yayasan digunakan untuk usaha-usaha bisnis dan komersial dengan
segala aspek manifestasinya.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan
dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mulai berlaku tanggal 6
Agustus 2002. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 disahkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 perubahan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pendirian yayasan dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan ruang lingkup gerak yayasan di Indonesia dalam kurun
waktu yang cukup lama hanya didasarkan pada hukum kebiasaan ataupun
jurisprudensi meskipun mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian
dengan kebutuhan. Dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang
yayasan di Indonesia, maka juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
syarat-syarat pendirian yayasan, juga tidak ada suatu ketentuan yang
menjelaskan bahwa yayasan harus didirikan dengan akta notaris.
Dalam perkembangannya yurisprudensi
Indonesia ada pendapat dari Pengadilan Umum mengenai yayasan sebagai berikut,
yaitu:
a)
Yayasan
Sukapura dan Wakaf Sukapura adalah wakaf atau badan hukum. (Putusan Mahkamah Agung No. 152K/Sip/1969
tertanggal 26 November 1969);
b)
Pertimbangan
Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung tentang:
-
bahwa
yayasan Dana Pensiun HRM tersebut didirikan di Jakarta dengan nama "Stichting
Pensiunfounds H.B.M. Indonesie" dan bertujuan menjamin keuangan para
anggotanya.
-
bahwa
para anggotanya ialah pegawai-pegawai N.V.H.M.B;
-
bahwa
yayasan tersebut mempunyai pengurus sendiri terlepas dari N.V.H.M.B. dimana
ketua dan bendahara dipilih oleh direksi N.V.H.B;
-
bahwa
pengurus yayasan tersebut mewakili yayasan di dalam dan di luar
Pengadilan;
-
bahwa
yayasan rnempunyai harta sendiri, antara lain harta benda hibah dari N.V.H.M.B;
dan
-
bahwa
dengan demikian yayasan tersebut merupakan badan hukum.
c)
Putusan Mahkamah Agung tanggal
20 April 1977 No.601 K/Sip/1975.
Bahwa gugatan penggugat tidak dapat
diterima karena dalam surat gugatannya disebutkan tergugat sebagai pihak yang
menjual rumah milik yayasan seharusnya tergugat sebagai pengurus yayasan.
Berdasarkan
hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku umum di masyarakat, maka dapat
dikemukakan ciri-ciri yayasan sebagai suatu entitas hukum sebagai berikut:
1.
Eksistensi
yayasan sebagai entitas hukum di Indonesia belum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2.
Pengakuan
yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas berbeda halnya
dengan PT, Koperasi dan badan hukum yang lain;
3.
Yayasan
dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, untuk
tujuan religius sosial keagamaan, kemanusiaan dan tujuan-tujuan idiil yang lain;
4.
Yayasan
didirikan dengan akta notans atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan
dengan pendirian yayasan;
5.
Yayasan
tidak menuhi anggota dan tidak dimiliki oleh siapapun, namun mempunyai pengurus
atau organ untuk merealisasikan tujuan yayasan;
6.
Yayasan
mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat adanya kekayaan terpisah dan
kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiri beda
atau lepas dan tujuan pribadi pendiri atau pengurus;
7.
Yayasan
diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang, sebagai subyek hukum mandiri
yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan
didaftarkan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat; dan
8.
Yayasan
dapat dibubarkan oleh Pengadilan bila tujuan yayasan bertentangan dengan hukum,
dapat dilikuidasi dan dapat dinyatakan pailit.[16]
Setelah
disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang
yayasan barulah segala hal dan pengertian yayasan baru jelas.
Yayasan dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yaitu: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial keagamaan dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”. Berdasarkan pengertian
Yayasan ini, Yayasan diberikan batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat
dapat memahami bentuk dan tujuan pendirian Yayasan tersebut. Sehingga tidak terjadi kekeliruan persepsi
tentang Yayasan dan tujuan diberikannya Yayasan. Yang geraknya terbatas di
bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan sehingga tidak dipakai sebagai
kendaraan untuk mencari keuntungan.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan dengan Undang-undang Nomor. 28 Tahun 2004 dimaksudkan untuk
lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang
benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi
Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Selain itu, mengingat peranan Yayasan dalam
masyarakat dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka penyempurnaan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan pula agar Yayasan
tetap dapat berfungsi dalam usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas.
Cepatnya perubahan atas Undang-undang yang
mengatur tentang Yayasan ini menunjukkan bahwa masalah yayasan tidak sederhana
dan badan hukum ini memang diperlukan oleh masyarakat. Undang-undang Nomor 28
Tahun 2004 ini tidak mengganti Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan ini
hanya sekedar mengubah sebagian pasal-pasalnya saja. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai
yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi
yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaaan dan
akuntabilitas.
Undang-undang ini menegaskan bahwa yayasan adalah
suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan
dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang
ditentukan dalam undang-undang ini dan diharapkan akan menjadi dasar hukum yang
kuat dalam mengatur kehidupan yayasan.
Yayasan sebagai organisme dalam hukum, dalam
kegiatan rutin maupun tertentu yayasan dibina, diurus, dan diawasi oleh organ
yayasan. Adapun sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
menyebutkan: “Yayasan mempunyai organ
yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas”
1. Pembina
Pembina dalam yayasan memiliki
kedudukan tertinggi dimana pengawas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat
(1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 yang berbunyi: Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak
diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang ini atau anggaran dasar.
Kewenangan yang diberikan kepada
pembina adalah kewenangan yang benar, karena pada umumnya pembina adalah
pendiri yayasan tersebut.
Kewenangan yang besar tersebut sesuai ketentuan
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 berbunyi: Kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Kebutuhan mengenai
perubahan anggaran dasar.
b. Pengangkatan dan
pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas.
c. Penetapan kebijakan
umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan.
d. Penyelesaian program
kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan.
e. Penetapan keputusan mengenai
penggabungan atau pembubaran yayasan.
Dengan kewenangan tersebut di atas tampaknya
seperti segalanya ditentukan dan diatur oleh pembina. Namun jika dicermati
ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut di atas,
kewenangan tersebut hanya kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau
pengawas. Sesungguhnya pembina mengangkat pengurus dan pengawas, namun pembina
tidak boleh mencampuri urusan pengurus dan pengawas, hal ini dipertegas kembali
dalam ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 yang berbunyi: Anggota pembina tidak boleh merangkap
sebagai anggota pengurus dan atau anggota pengawas. Demikian juga ketentuan
Pasal 31 ayat 3 juncto Pasal 40 ayat (4).
2.
Pengurus
Pengurus adalah organ dalam
yayasan yang melaksanakan kegiatan/ pengurusan yayasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001. Adapun guna
menjalankan kegiatan pengurus, maka organ pengurus terbagi atas:
a. Ketua.
b. Sekretaris.
c. Bendahara.
Karena pengurus diberikan wewenang
untuk menjalankan kegiatan yayasan, maka pengurus bertanggung jawab untuk
kepentingan dan tujuan yayasan.
3.
Pengawas
Pengawas adalah organ dalam
yayasan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan serta memberi
nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan tentang pengertian
pengawas yayasan ini termuat dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001.
Pengawas di dalam menjalankan tugasnya wajib dengan itikad baik dengan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan seperti yang dimuat
dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001.
Yayasan sebagi badan hukum tentu
harus memiliki sifat mandiri, tidak tergantung kepada orang atau badan hukum
lainnya, melainkan hanya sebagai diri senditi yaitu yayasan tersebut, sehingga
ketika sudah didirikan oleh orang atau badan hukum, maka kekayaannya akan
menjadi kekayaan yayasan dan tidak dapat ditarik kembali, atau dibagi-bagikan
kepada pendiri atau organ yayasan.
Keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi
masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan
bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka
segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu diwujudkan di dalam
suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan disebutkan, yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau
lebih dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Yang
dimaksud dengan orang pada pasal ini adalah orang perseorangan dan badan hukum.
Berarti yayasan hanya bisa didirikan oleh orang perseorangan saja atau boleh
badan hukum saja. Makna dari memisahkan harta kekayaan pendirinya menunjukkan
bahwa pendiri bukanlah pemilik yayasan karena telah sejak awal semula
memisahkan sebagian dari kekayan pendirinya menjadi milik yayasan.
Disamping itu yayasan juga dapat
didirikan berdasarkan surat wasiat, Pasal 9 ayat (3). Penerima wasiat bertindak
mewakili pemberi wasiat. Pendirian yayasan berdasarkan wasiat wajib
dilaksanakan, karena apabila tidak dilaksanakan, maka pihak yang berkepentingan
dapat meminta pertanggungjawaban terhadap, ahli waris atau menerima wasiat yang
bersangkutan. (Pasal 10 ayat (3))
Pendirian yayasan dilakukan dengan
Akta Notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia, hal ini sudah ditentukan tegas
dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, sehingga pembuatan
akta secara notarial adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dengan memenuhi
segala ketentuan notaris dalam pembuatan akta, baik pembacaan, waktu, wilayah
kewenangan notaris maupun penandatanganan.
C.3. Pengaturan
Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Non
Profit Oriented
Keberadaan Yayasan di Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala,
yang pendiriannya dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin,
dan yurisprudensi. Seringkali badan hukum Yayasan, disamping untuk tujuan
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, juga
dipergunakan untuk tujuan-tujuan lain yang
menyimpang dari tujuan semula penciptaan badan hukum ini.
Yayasan telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bukan untuk
tujuan sosial dan kemanusiaan, seperti
untuk memperkaya diri sendiri atau pengurus yayasan, menghindari pajak yang
seharusnya dibayar, menguasai suatu lembaga pendidikan untuk selama-lamanya,
menembus birokrasi, memperoleh bergagai aktifitas dari Negara atau penguasa,
dan berbagai tujuan lainnya.
Berbagai macam bentuk anggaran dasarnya Yayasan dibuat dengan
semuanya para pendiri tanpa memperhatikan unsur-unsur sosial kemasyarakatan dan
mereka mengatur kehendak mereka di dalamnya sehingga jadilah Yayasan-yayasan
itu pengurus di balik wajah sosial. Hal ini terjadi karena hukum positif yang
khusus mengatur tentang Yayasan memang belum ada, kalaupun ada pengaturan atau
penyebutan yayasan hanyalah dalam beberapa pasal dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang tidak tegas mengatur tentang keberadaan Yayasan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun
2001 tentang Yayasan dan telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indoensia
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan di Indonesia. Yayasan mempunyai dasar hukum yang kuat serta
menjamin kepastian dan ketertiban hukum, dan dapat berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dengan tegas menyebutkan: Yayasan adalah badan hukum yang
terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota. Pasal ini dengan tegas menempatkan dan memberikan status
Yayasan sebagai suatu badan hukum serta tujuan adalah di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan dan juga mempertegas bahwa di dalam Yayasan tidak ada anggota.
Undang-Undang Yayasan menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan
hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan
kemanusiaan, yang didirikan dengan memperhatikan dan mematuhi keseluruhan
persyaratan normative yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tersebut. Ketentuan ini membawa konsekuenasi logis bahwa saat ini setiap
pendirian Yayasan harus mengacu kepada ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan,
sehingga akan menjadi jelas kedudukan dari Yayasan tersebut.
Esensi Yayasan sebagai badan hukum, berdasarkan pengaturannya dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yaitu :
-
yayasan pada esensinya adalah
kekayaan yang dipisahkan oleh Undang-Undang kemudian diberikan status badan
hukum (Pasal 11 ayat (1);
-
kekayaan adalah untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Melihat esensi dari Yayasan ini, maka dapat ditegaskan
bahwa Yayasan didirikan oleh seorang atau lebih dengan cara pendiri memisahkan
harta kekayaan secara pribadi. Hal ini berbeda dengan pendirian Perseroan
Terbatas yang terjadi karena perjanjian sedikitnya dua orang atau lebih yang
masing-masing persero membentuk suatu persekutuan modal.
Yang dimaksud dengan kekayaan Yayasan disini adalah yang lazim
disebut dengan kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi atau para pendiri
dan dijadikan asset Yayasan dalam rangka melakukan maksud dan tujuan Yayasan. Harta
kekayaan Yayasan dapat berbentuk uang atau benda. Yang dimaksud dengan benda
yang menjadi kekayaan awal tersebut adalah dapat berupa benda berwujud atau
benda tidak berwujud yang dapat diganti dengan uang.
Uang atau benda yang menjadi kekayaan awal Yayasan tersebut tidak
lagi mempunyai kaitan dengan pendiri, karena dalam undang-undang telah
ditentukan harus dipisahkan dari kekayaan pribadi atau para pendiri,
selanjutnya harta kekayaan atau asset
tersebut sepenuhnya beralih atau menjadi milik Yayasan. Hal penting dari
ketentuan Undang-Undang ini bahwa Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang
kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. Yayasan dapat melakukan
pernyataan dalam berbagai bentuk yang bersifat prospektif dengan ketentuan
bahwa seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (duapuluh lima persen) dari
seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Sejak diundangkannya kedua Undang-Undang Yayasan
tersebut maka sudah jelas dan pasti apa-apa sajakah organ-organ dari suatu
Yayasan, sehingga terjadi keseragaman mengenai apa dan siapakah organ dari
suatu Yayasan. Berbeda dengan sebelum diundangkannya kedua undang-undang
Yayasan tersebut, karena tidak ada aturan yang jelas mengenai apa dan siapakah
organ Yayasan itu, maka sering terjadi tumpang tindih atau dirangkapnya
beberapa organ pada orang yang sama, misalnya menjadi pengurus. Bahkan
kadangkala suatu Yayasan mempunyai Pelindung, Penasehat, Dewan Pertimbangan,
bahkan anggota.
Pokok ketentuan lainnya, dalam Kekayaan Yayasan baik
berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan
Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tudak
langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan atau pihak lain yang
mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.
Sebagai organ yayasan yang menjalankan kegiatan atau
beroperasinya Yayasan, Pembina, Pengurus, Pengawas, Yayasan sebagai lembaga
wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan
dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya. Dengan demikian yayasan
dijalankan bukanlah semata-mata untuk mencari keuntungan (non profit oriented).
Asas nirlaba
atau non profit adalah tidak mencari
laba atau keuntungan. Suatu keuntungan
dapat terjadi jika suatu modal jika diusahakan ternyata memperoleh hasil yang
melebihi modal tersebut. Untuk nirlaba atau non
profit, modal yang ada tidak diolah untuk memperoleh keuntungan, melainkan
untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.[17]
Pada dasarnya Undang-Undang Yayasan menganut asas nirlaba atau non profit. Undang-Undang dengan tegas mengatur mendirikan yayasan
bukan untuk bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 1 tentang pengertian yayasan, bahwa tujuan yayasan di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Asas tersebut juga terlihat pada Pasal 3 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada
Pembina, Pengurus, dan Pengawas ini artinya ketiga organ yayasan tersebut tidak
boleh mencari keuntungan dengan menggunakan lembaga yayasan. Sejalan dengan asas
nirlaba atau non profit tersebut, dapat diketahui bahwa yayasan bukan sebagai
perusahaan. Yayasan dalam menjalankan kegiatannya tidak mencari keuntungan,
sedang perusahaan secara nyata bertujuan mencari keuntungan. Dalam
yayasan tidak mengenal modal, tetapi istilahnya adalah kekayaan. Kekayaan tidak
digunakan untuk proses produksi atau perdagangan, melainkan digunakan untuk
kepentingan kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Selain itu
dalam yayasan tidak mengenal adanya laba dan tidak ada pembagian laba kepada
pengurus yayasan.
Yayasan boleh mendirikan badan usaha, dasar hukumnya
adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Yayasan yang menyebutkan, yayasan dapat
melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan
cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
Kemudian ketentuan tersebut tampak dipertegas dalam Pasal 7 ayat (1) yang
berbunyi, yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan
maksud dan tujuan yayasan.
Kiranya menjadi jelas bahwa yayasan dalam kegiatannya
boleh dan patut melaksanakan aktifitas komersial seperti halnya perusahaan
biasa, akan tetapi surplus atau keuntungan yang diperolehnya diperuntukkan bagi
pencapaian maksud dan tujuan di bidang sosial, keagamaan amupun kemanusiaan.
Dengan demikian, makna nirlaba atau non profit menjadi jelas bahwa surplus atau
keuntungan yayasan tidak boleh di distribusikan atau dibagikan kepada siapapun,
tetapi diperuntukkan untuk kepentingan yayasan sendiri dalam mencapai maksud
dan tujuannya.
Mendirikan badan usaha
artinya mendirikan perusahaan. Yayasan mendirikan perusahaan, dengan maksud
perusahaan itu yang mencari keuntungan. Yayasan mencari keuntungan melalui
perusahaan yang didirikan. Yayasan berkedudukan sebagai pendiri perusahaan.
Yayasan tidak mengurus atau mengelola langsung perusahaan. Perusahaan diurus
oleh pihak lain dalam menjalankan usahanya.
Perusahaan yang didirikan
dapat berbentuk perusahaan perorangan seperti membuka toko atau usha dagang,
firma, CV, atau perseroan terbatas (PT). sehubungan dengan itu, Pasal 8
Undang-Undang Yayasan menberikan batasan, bahwa kegiatan usaha perusahaan yang
didirikan harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan, serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, atau peraturan perundangan
yang berlaku.
Mendirikan perusahaan tidak
terlepas harus menyediakan modal. Oleh karena itu yayasan harus menyisihkan
dana yang berasal dari kekayaan yayasan, untuk kepentingan penyetoran modal
untuk perusahaan yang didirikan. Dari modal yang ditanamkan itu, nantinya jika
perusahaan tersebut memperoleh keuntungan, maka yayasan akan mendapat bagian
dari keuntungan itu.
Kemudian dalam Pasal 3 ayat
(1) diatas, selain mendirikan perusahaan, yayasan juga dapat ikut serta dalam
suatu badan usaha. Sehubungan dengan itu, Pasal 7 ayat (2) memberikan batasan
besarnya penyertaan modal usaha yang bersifat prospektif, dengan maksimal
seluruh penyertaan tersebut sebesar 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan.
Dengan pembatasan tersebut dimaksukan agar kekayaan yayasan jangan sampai
tesedot kepada kepentingan penyertaan modal usaha tersebut, sedangkan
pencapaian tujuan yayasan akan menjadi kurang diperhatikan.
Mengenai hasil usaha atau
keuntungan perusahaan yang diberikan kepada yayasan menjadi milik yayasan atau
kekayaan yayasan. Oleh karena menjadi milik yayasan, maka sejalan dengan itu
Pasal 3 ayat (2) melarang, bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan
usaha itu kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Ini untuk menghindari agar
jangan sampai anggota yayasan memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan
pribadi dari hasil keuntungan perusahaan.
Disamping itu terdapat
larangan pengalihan harta yayasan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu, bahwa kekayaan
yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan
berdasarkan Undang-Undang Yayasan, dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung, baik dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.
Dapat dilihat
Yayasan-yayasan yang didirikan oleh penguasa, orde baru misalnya, yang sampai saat ini sulit
untuk dimintakan pertanggungjawaban organ yayasan mengenai harta kekayaan
(asset) yayasan-yayasan tersebut. Belum lagi yayasan-yayasan yang didirikan
oleh orang-orang pandai yang melakukan kegiatan menghimpun dana-dana tertentu
dari masyarakat (misalnya sepak terjang Yayasan Amalilah,[18]
yang menjanjikan sejumlah uang bagi anggota yang telah menyetorkan iuran kepada
Yayasan, atau Yayasan yang berkedok mengumpulkan dana untuk olah raga, Yayasan
Dana Pensiun, Yayasan TMII). Yayasan-yayasan yang ada saat itu memiliki banyak
sekali kegiatan usaha, yang dalam prakteknya sama sekali jauh dari nilai-nilai
sosial. Kegiatan usaha yayasan dilakukan dengan dikemas seolah-olah merupakan
kegiatan sosial tetapi sesungguhnya hanyalah mesin pencetak uang bagi pendiri
dan pengurusnya.
Yayasan-yayasan tersebut
pada umumnya memobilisasi dana dari masyarakat, yang dilandasi oleh kepentingan
bangsa dan Negara. Akan tetapi mobilisasi dana tersebut dilakukan tanpa
dilandasi dengan dasar hukum yang cukup, sehingga dapat memiliki saldo yang
sangat besar namun pihak yayasan tidak mengumumkan dan mempertanggung jawabkan
kepada publik yang notabene merupakan sumber dana yayasan. Sehingga pada
akhirnya akan menguntungkan Pendiri dan Pengurus yayasan tesebut beserta
kroni-kroninya.
Dengan berlakunya
Undang-Undang tentang Yayasan jangankan untuk membagikan hasil usaha kepada
Pendiri dan Pengurus, kekayaan yang diperoleh yayasan secara langsung tidak
dapat dialihkan atau dibagikan baik dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium.
Tetapi tentu saja undang-undang memberikan jalan keluar atas ketentuan tersebut
karena tidak semata-mata orang yang bekerja untuk yayasan juga tidak diperkenankan
memperoleh imbalan, yaitu dimana pengurus yayasan dapat menerima upah, gaji
atau honorarium apabila pengurus itu bukan pendiri yayasan dan tidak
terafiliasi dengan pendiri, Pembina dan pengawas, dan melaksanakan kepengurusan
yayasan secara langsung dan penuh.
Dengan
diundangkannya Undang-Undnag Nomor 16 Tahun 2001 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, membawa perubahan yang
sangat signifikan bagi keberadaan Yayasan sebagai badan hukum di Indonesia.
Penegasan yayasan sebagai badan hukum dan prosedur untuk mendirikan dan
memperoleh status badan hukum dengan jelas diatur dalam Undang-Undang Yayasan
tersebut.
E. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tersebut di atas maka
disimpulkan bahwa:
1. Kedudukan yayasan dalam hukum formal sebelum dan
sesudah berlakunya undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan mengalami
perubahan yang sangat signifikan dimana sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
16 Tahun 2001 Pendirian yayasan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ruang lingkup
gerak yayasan di Indonesia hanya didasarkan pada “hukum kebiasaan” ataupun
jurisprudensi meskipun mungkin terdapat sedikit tambahan atau penyesuaian
dengan kebutuhan. Dengan tidak adanya peraturan khusus yang mengatur tentang
yayasan di Indonesia, maka tidak ada pedoman yang pasti tentang syarat-syarat
pendirian yayasan. Setelah berlakunya undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang
Yayasan, maka yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan serta tidak mempunyai anggota, serta dalam pendiriannya harus berdasarkan hukum
formal yang berlaku.
2. Pada dasarnya Undang-Undang Yayasan
menganut asas nirlaba atau non profit. Undang-Undang dengan tegas
mengatur mendirikan yayasan bukan untuk bertujuan mencari keuntungan, akan
tetapi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 tentang pengertian yayasan,
bahwa tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Asas
tersebut juga terlihat pada Pasal 3 ayat (2) yang menyebutkan bahwa yayasan
tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan
Pengawas ini artinya ketiga organ yayasan tersebut tidak boleh mencari
keuntungan dengan menggunakan lembaga yayasan.
DAFTAR PUSTAKA
Arie Kusumastuti dan Maria
Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16
Tahun 2001, Tentang Yayasan, Citra Umbara, Bandung, 2003
Budi Untung, Reformasi Yayasan dalam Perpekpektif
Manajemen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002
Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni,
Bandung, 1999
Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha
Bertujuan Laba, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2000
C.S.T. Karsil, dan JM. Christine Kansil, Pokok-pokok Bahan Hukum, Harapan, Jakarta, 2002
Gatot Suparmono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008
Hayati Soeroedjo, Status
Hakim Yayasan Dalam Kaitannya Dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, 1989
Hariyono, Iwan Nugroho,
dkk, Membangun Negara Hukum Yang
Bermartabat, Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, 2013
Henry Campbell, Black Law Dictionary, West
Publishing Co, St Paul Minn, 1990
Hisbllah Syawie, Aspek-aspek
Hukum Mengenai Yayasan di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Semarang, 1998
R. Ali Rido, Badan
Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan,
Wakaf, Alumni, Bandung, 2001
Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha,
Bina Ilmu, Jakarta, 1989
Setiawan, Tiga Aspek
Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55, Jakarta, 1995
Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Sokanto, Perihal Kaedah Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1989
Undang-undang Nomor 28
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor. 16 tahun 2001 Tentang
Yayasan
Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 Tentang Yayasan
[1] Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Sokanto, Perihal
Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Bandung, 1989, hal. 5-6
[2] Hariyono, Iwan Nugroho, dkk, Membangun
Negara Hukum Yang Bermartabat, Universitas Widyagama, Setara Press, Malang,
2013, hal. 2
[3] R. Ali Rido, Badan
Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan,
Wakaf, Alumni, Bandung, 2001, hal. 107
[4] Setiawan, Tiga Aspek Yayasan,
Varia Peradilan Tahun V, No. 55, Jakarta, 1995, hal. 112
[5] Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 1
[6] C.S.T. Karsil, dan JM. Christine Kansil, Pokok-pokok Bahan Hukum, Harapan, Jakarta, 2002, hal. 1
[7] Chaidir Ali, op cit, hal. 7
[8] C.S.T Kansil, op cit, hal. 9
[9] Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha
Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal. 5
[10] Ibid.,
[11] Henry Campbell, Black
Law Dictionary, West Publishing Co, St Paul Minn, 1990, hal. 88
[12] Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan,
Citra Umbara, Bandung, 2002, hal. 18
[13] Hayati Soeroredjo, Status Hukum dari Yayasan dalam Kaitannya dengan Penataan Badan-badan
Usaha di Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal. 7
[14] Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha,
Bina Ilmu, Jakarta, 1989, hal. 9
[15] Chatamarrasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha
Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 2
[16] Budi Untung, Reformasi Yayasan dalam Perpekpektif
Manajemen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002, hal. 4
[17] Gatot Suparmono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 110
[18] Berkedok Yayasan Amalilah, Koperasi Tipu Ratusan Orang. ttp://www.kapanlagi.com,
diakses 27 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar